Tuesday, June 28, 2011

Kisah Jagoan Udara Hans-Joachim Marseille Di Gurun Afrika!


Oleh : Alif Rafik Khan

Kisah ini saya dapatkan di buku “German Fighter Ace Hans-Joachim Marseille: The Life Story of the Star of Africa” karya Franz Kurowski, dan begitu menariknya sehingga sayang kalau tidak dicantumkan dalam blog ini. Inilah dia:

Tanggal 21 April 1941 Gruppenkomandeur dari I./Jagdgeschwader 27, Hauptmann Eduard “Edu” Neumann tiba di Gazala, Libya, setelah ditugaskan untuk membantu pasukan Afrikakorps-nya Rommel dalam melawan Sekutu. Tak lama setelah dia, tiba pula 2/JG 27. Tapi dimanakah Staffel 3 pimpinan Oberleutnant Gerhard Homuth?

Unit ini telah melakukan pendaratan sementara di pangkalan 7/JG 26 pimpinan Oberleutnant Joachim Müncheberg di Gela, Sisilia. Dari sana mereka melanjutkan penerbangannya melintasi lautan Mediterania dengan tujuan Castel Benito. Mereka akhirnya mencapai landasan yang dituju, tapi sesaat sebelum pesawat-pesawat 3/JG 27 menyentuh daratan di “Landasan Kalajengking” (dimana seharusnya mereka telah ditunggu oleh tim pengisi bensin yang akan mengisi bahan-bakar untuk pesawat mereka), mereka menyadari bahwa tempat itu tampaknya tidak ditinggali oleh siapapun. Bahkan tembakan senapan mesin yang ditembakkan pesawat ke tanah di dekat beberapa tenda yang terdapat disana tidak juga “mengundang” orang-orang untuk keluar! Karena bahan-bakar sudah menipis, mau tidak mau staffel Homuth mendarat juga, dan memang landasan itu sudah kosong melompong tanpa ada jejak awak darat satu pun. Seorang pilot harus dikirim balik ke Sirte untuk meminta pertolongan!

Oberleutnant Homuth memilih Oberfähnrich Hans-Joachim Marseille (yang saat itu belum terkenal dan masih menjadi pilot tempur ‘biasa’). Sementara tujuh pilot lainnya beristirahat sambil menunggu di tenda-tenda yang sama sekali tidak nyaman untuk ditinggali, Marseille pun pergi.

Ketika sampai fajar keesokan harinya masih tidak terdapat tanda-tanda kehidupan, tujuh Messerschmitt Bf 109 dari 3/JG 27 memutuskan untuk kembali ke En Nofilia yang letaknya di arah barat sejauh 35 kilometer dari situ. Dari sini Oberfeldwebel Kowalski dikirimkan ke Sirte dengan membawa sedikit cadangan bahan-bakar yang masih tersisa.

Tak lama selepas siang, sebuah pesawat bermesin ganda tiba dan menjatuhkan sebuah kapsul pesan. Kapsul ini langsung dibawa ke Oberleutnant Homuth. Di dalamnya berisi berita bahwa Oberfeldwebel Kowalski telah melakukan pendaratan darurat sesaat sebelum tiba di Sirte karena pesawatnya sudah kehabisan bahan-bakar. Catatan ini juga menyebutkan bahwa Marseille dan pesawatnya sama-sama mendarat darurat di jalan yang menuju kesana karena masalah pada mesin.

Beberapa jam kemudian Marseille tiba dengan menumpang sebuah truk kargo yang membawa kontainer berisi air dan persediaan suplai lainnya. Dia melapor kepada sang Staffelkapitän bahwa sebentar lagi truk bahan bakar akan menyusul tiba.

Ketika truk yang dinanti-nanti akhirnya tiba, semua pesawat diisi bahan-bakar dari container truk dengan menggunakan pompa tangan. Tak lama kemudian semua pesawat berangkat menuju ke tempat tujuan mereka yang terakhir. Tapi tanpa Marseille. Ketika dia bertanya apa yang harus dia lakukan, Homuth menjawabnya:

“Kamu telah merusakkan pesawatmu, sekarang cari cara sendiri agar bisa menuju ke front.”

Staffel 3 tiba di Gazala pada tengah hari tanggal 22 April 1941. Tapi apa yang terjadi pada tokoh kita Marseille?

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Oberfähnrich Marseille telah ditugaskan untuk menuju Sirte. Dia menerbangkan sebuah pesawat Messerschmitt Bf 109 dengan nomor “13” dalam warna kuning dicat di pinggirannya – nomor yang tidak menjadi masalah bagi Marseille… setidaknya pada awalnya.

Tiba-tiba dia menyadari bahwa tekanan oli pesawatnya menurun dengan drastis. Jarum RPM jatuh dan BF 109 pun mulai kehilangan ketinggian. Pesawat ini tampaknya semacam “pemakan mesin” yang mendatangkan masalah tak henti-hentinya. Mesinnya batuk-batuk dan ‘meludah’, sementara asap kini memenuhi kokpit. Marseille mendorong joystick ke bawah dan merapatkan ikatan parasutnya. Daratan pasir yang gersang mulai datang menyambutnya. Beberapa belas meter dari tanah dan Marseille memotong katup penutup sambil mematikan tombol starter. Ini adalah cara yang diketahui semua pilot demi memperbesar peluang selamat dari situasi semacam ini. Mesin pun mati.

Sepuluh meter sebelum pesawat menyentuh tanah. Daratannya sendiri tidak cocok untuk dijadikan tempat mendarat, tapi kemudian Marseille melihat di sebelahnya terdapat tanah datar yang sempit. Tak cukup untuk pendaratan yang normal sebenarnya. Lima meter lagi, dan kemudian terjadi getaran hebat. Lapisan besi yang menempel di pesawat seakan mengerang dan berderak dengan kuat saat bertemu dengan batu-batu dan kerikil.

Hidung Bf 109 seakan membentuk gelombang saat pesawat meloncat-loncat kecil sebelum akhirnya melambat, berguncang sekali lagi, dan diam. Pesawat Marseille kini terselibungi debu tebal.

Jochen Marseille membuka kanopi dan melepaskan sabuknya. Dia merangkak keluar dari pesawatnya, berhenti untuk beberapa saat di bagian sayap, dan kemudian loncat ke darat. Kakinya tenggelam dalam tanah lunak yang berpasir.

Dia kini telah mendarat di daratan Afrika… walaupun secara darurat. Dia lalu berjalan ke salah satu kelompok rerumputan tinggi yang banyak bertebaran secara sporadis di sekitar jalan.

Mesin pesawatnya masih batuk-batuk. Marseille tidak mempedulikannya. Ia duduk di balik bayangan rerumputan, mengeluarkan rokoknya dan menyalakannya. Meskipun ini bukanlah sesuatu yang diinginkannya, tapi yang jelas satu pesawat lagi telah dirusakkannya. Setelah “prestasi” empat pendaratan darurat di masa sebelumnya, maka ini adalah yang keempat! Kali ini dia merasa bahwa dia tidak akan lolos begitu saja, terutama sejak dia tahu bahwa sang Staffelkapitän akan melihatnya murni sebagai kesalahan Marseille. Setelah dia menyelesaikan sebatang rokok, Marseille kembali ke pesawatnya, melepaskan parasut, mengambil barang-barang yang paling berharga (termasuk logbook), dan kemudian melangkah menyusuri jalan.

Beruntung bagi dia, karena tak lama datang sebuah truk kargo Italia dengan tujuan Sirte yang kemudian berhenti di depannya. Sang supir menyeringai ramah lalu memberi isyarat dengan tangan untuk duduk di sebelahnya. Ketika Marseille masuk, ia langsung ‘disergap’ oleh suhu panas yang menyiksa. Setelah tiba di Sirte, Marseille menerangkan dengan bahasa Tarzan bahwa dia harus pergi ke Kommandeur yang berkepentingan dan minta diantar kesana. Beberapa menit kemudian dia telah berdiri di depan markas korps intendan dan melapor bahwa Staffelnya sedang dalam perjalanan ke Benghazi ketika mereka mendarat di lapangan terbang Kalajengking tanpa mendapati tim bahan-bakar yang seharusnya ada disana. Sekarang mereka sangat membutuhkan bensin untuk pesawat-pesawat mereka.

“Anda dapat mendapatkan bahan-bakar tersebut, hanya saja truk tangkinya sekarang sedang diisi dulu. Tunggu saja sebentar,” jawab sang intendan.

Sebelum truknya berangkat, Oberfeldwebel Kowalski tiba di Sirte dan melaporkan bahwa Staffel 3 telah melanjutkan perjalanan ke En Nofilia sehingga semua perbekalan harus dibawa kesana. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Kowalski pun harus melakukan pendaratan darurat seperti halnya Marseille.

Marseille akhirnya berangkat dengan truk pertama yang membawa air minum serta perbekalan, sementara Kowalski mengikuti di belakangnya dengan truk kedua yang membawa bahan-bakar.

Kini setelah Homuth memerintahkan Marseille untuk berangkat tanpa pesawat, dia terpaksa ditinggalkan di En Nofilia, sementara staffel-nya berangkat ke Gazala – yang akhirnya mereka capai tanggal 22 April 1941 setelah sebelumnya sekali lagi melakukan pendaratan sementara. Sementara itu, Marseille mendapat kabar bahwa sebuah konvoy transport Italia akan melintasi jalan di hadapannya dalam waktu satu jam. Dia langsung mengemasi barang bawaannya, berangkat menuju jalan sambil bersiap diri terhadap apa pun yang akan terjadi. Ketika akhirnya debu mulai Nampak dan konvoy itu tiba, Marseille mendapati bahwa itu memang orang-orang Italia.

Kendaraan pertama menepi ke pinggir dan berhenti. Sebelum Marseille ngoceh kembali dengan bahasa Tarzannya, sang supir yang berbadan kecil turun dari belakang kemudi, mengambil tas Marseille dan melemparkannya ke truk. Marseille pun akhirnya naik dan mendapati dengan gembira bahwa sang supir adalah seorang Letnan muda Italia yang sedikit-sedikit bisa berbahasa Jerman, walaupun acak-acakan. Tapi ini setidaknya cukup untuk mereka berdua agar bisa mengerti satu sama lain.

Ketika Marseille bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke Gazala karena dia diharapkan kedatangannya besok siang, si Italia langsung tertawa terbahak-bahak!

“Doppo domani – satu hari setelah besok (lusa),” katanya. “Paling cepat.”

“Tapi aku harus ada di Gazala besok!”

Pada titik ini bahkan si supir menggerakkan lengannya dengan ragu-ragu, yang memberi pesan kepada Marseille bahwa si pilot Jerman dengan Eisernes Kreuz di jaketnya itu meminta sesuatu yang mustahil.

Setelah waktu maghrib tiba, Marseille melihat sebuah pemandangan yang luar biasa, yang semakin jelas seiring dengan lajunya kendaraan. Dia menoleh kepada teman seperjalanannya, dengan mimik yang meminta penjelasan. Si supir mengerti. Dia berkata:

“Arco Philaenorum – Gerbang Kemenangan!”

“Ora ngerti wadon bae, maksudnya? Tanya si Jerman, yang terkejut bahwa di tengah padang pasir tandus yang jauh dari mana-mana seperti disini, terdapat sebuah bangunan monumen yang fenomenal seperti yang tampak di hadapannya! Marseille kemudian sedikit demi sedikit mengerti apa yang dikatakan si supir Italia:

“Kami menyebutnya Arco dei Fileni, yang merupakan peringatan bagi Fileni bersaudara, yang gambarnya bisa anda lihat di bagian atap monumen persis di atas lengkungan. Monumen ini didirikan untuk mengenang mereka. Orang-orang Kartago telah membangun sebuah pelabuhan di dekat kota masa Yunani klasik bernama Antomala – sekarang dinamakan Mugtáa el Chebrit. Perang yang panjang dan berdarah-darah antara Yunani dan Kartago kemudian terjadi karena kedua pihak memperebutkan pelabuhan yang strategis ini. Hanya di sekitar tahun 350 sebelum masehi, Yunani dan Kartago mencapai suatu persetujuan.”

“Kartago dan Cirene diharuskan mengirim dua orang pelari masing-masing. Perbatasan antara kedua negara adalah tempat dimana kedua pasang pelari tersebut bertemu.”

“Sebagai pelari dari pihaknya, Kartago memilih Fileni bersaudara, yang terkenal sebagai olahragawan terpandang di masa itu. Tapi Cirene juga telah memilih pelarinya yang terbaik. Sayangnya, pelari dari Cirene terhadang oleh badai dan hujan di tengah perjalanan, sehingga pelari Kartago mampu melewati perbatasan lama dan akhirnya bertemu dengan pelari Cirene di tempat ini, yang kemudian menjadi perbatasan baru.”

“Sebagai pihak yang kalah, Cirene mengatakan kepada Kartago bahwa mereka akan mengakui perbatasan baru hanya bila kedua Fileni bersaudara bersedia untuk dikuburkan hidup-hidup! Ini tentu saja membuat berang pihak Kartago. Tapi dahsyatnya, Fileni bersaudara mengatakan bahwa mereka bersedia untuk melakukannya. Mereka akhirnya dikorbankan demi mempertahankan perbatasan baru ini, dan disinilah mereka dikuburkan, di tempat dimana sekarang berdiri Arco Philaenorum – atau Arco dei Fileni untuk orang-orang Italia. Tempat ini akhirnya menjadi perbatasan abadi antara Kartago dan Cirene yang bertahan sepanjang masa.”

Jochen Marseille mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah sang Tenente menyelesaikan ceritanya, Marseille nyeletuk:

“Tapi gerbang ini tampak seperti baru dibuat!”

“Kamu benar,” jawab si Letnan. “Marsekal Udara (Italo) Balbo telah memerintahkan pembangunan gerbang ini, tepat di tempat dimana Fileni bersaudara dikuburkan. Gerbang ini sekarang memisahkan antara Tripolitania dengan Cyrenaica.”

Ketika mereka mencapai salah satu lapangan udara di sepanjang Via Balbia, hari telah beranjak malam. Marseille mengucapkan selamat tinggal kepada kamerad Italianya, lalu membawa barang bawaan sambil berjalan ke tempat operasi udara. Disana dia tahu dari Feldwebel yang sedang bertugas bahwa dia tidak bisa terbang ke Derna esok hari.

“Aku tidak mendapat perintah untuk terbang kesana. Aku khawatir anda bisa nyungseb disini berhari-hari, temanku. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan nebeng di truk kargo.”

“Bila aku melakukannya, aku baru bisa tiba di Gazala lusa. Aku harus berada disana esok siang.”

“Mungkin anda bisa mendapatkan mobil untuk keperluan anda,” tawar sang Feldwebel. “Coba cari di tempat perbekalan dan tanyakan kepada perwira yang sedang bertugas.” Marseille langsung mengambil tasnya dan berjalan melintasi rerongsokan yang terdapat di sekitar landasan kearah yang ditunjukkan oleh si Feldwebel.

Keadaan telah begitu gelapnya, tapi seorang penjaga menunjukkan tenda yang dia tuju. Marseille masuk, dan setelah basa-basi sebentar sambil memperlihatkan kartu identitasnya, dia meminta sebuah mobil yang akan digunakannya untuk melakukan perjalanan ke Derna.

“Saya adalah pemimpin Schwarm dan besok saya harus tinggal landas dari Gazala,” dia berkata dengan terburu-buru.

“Saya mengerti,” kata si Hauptmann yang sedang bertugas jaga. Dia adalah orang tua baik hati yang tampaknya adalah seorang veteran Perang Dunia I, yang tampak dari kedua Eisernes Kreuz Spange yang menempel di seragamnya. “Tapi saya tak dapat menolongmu dalam masalah ini. Mungkin jenderal akan berbaik hati meminjamkan mobilnya.”

Seringai lebar yang tampak dari wajah si Hauptmann menyiratkan bahwa dia Cuma bercanda. Tapi Marseille kemudian memintanya untuk mempertemukannya dengan jenderal dimaksud!

10 menit kemudian Oberfähnrich Marseille melaporkan diri pada jenderal Hellmann dan menceritakan tentang kesialannya. Sebagai penutup, dia mengatakan, “Saya harus pulang kembali ke Staffel saya besok. Bila saya tidak kembali maka Schwarm saya tak bisa tinggal landas.” Schwarm yang dia pimpin terdiri dari dua Rotten dengan dua pesawat masing-masing.

Disinilah terjadi sesuatu yang tidak biasa, seperti yang kadang terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain. Bukannya kemudian memperlihatkan kepada sang Oberfähnrich yang congkak dan tidak sabaran ini letak pintu keluar, Jenderal Hellmann malah tampaknya terpesona dan gembira bisa bertemu dengan seorang perwira rendah muda yang berani seperti Marseille. Matanya tidak luput dari melihat medali Eisernes Kreuz I klasse yang menempel di saku Marseille, yang membuktikan bahwa pilot satu ini mempunyai skill yang cukup bisa diandalkan.

“Kalau begitu, terlebih dahulu ceritakan sebentar pengalamanmu selama di Channel,” sang jenderal meminta Oberfähnrich Marseille untuk duduk.

Dengan senang hati Marseille menuruti permintaan sang jenderal. Dia menceritakan tentang kemenangan-kemenangan udara yang telah dibukukannya, juga tentang bagaimana tiga kali pesawatnya hampir nyuksruk ke laut, dan satu kali benar-benar melakukannya. Ketika ceritanya berakhir, sang jenderal mengangguk. “Kamu akan mendapat mobil yang kamu minta. Tapi pertama-tama kamu harus ikut makan malam denganku.” Dia lalu memanggil si Hauptmann yang tadi dan menanyakan mobil yang mana yang siap dikendarai. Dua buah Volkswagen dan mobil pribadi si jenderal sendiri yang dinamakan “Admiral” tersedia saat itu.

Jenderal Hellmann kembali mengarahkan omongannya pada Marseille. “Besok subuh saat matahari mulai nampak kau dapat pergi menggunakan mobilku. Atau mungkin kau ingin berangkat sekarang? Saat ini bulan sedang bersinar penuh, dan setelah pukul 11 malam maka keadaan akan cukup terang, hampir-hampir seperti siang.”

“Bila mungkin, saya ingin berangkat saat ini juga, Herr Jenderal,” jawab Marseille.

“Baiklah kalau begitu! Bawa mobilnya kesini, dan lihat apakah bensinnya sudah diisi,” perintah Hellmann kepada si Hauptmann.

“Dan kau, Marseille. Aku tidak meminjamkan mobil ini secara cuma-Cuma. Sekarang kamu harus membukukan 50 kemenangan lagi untuk membalas kebaikan yang kuberikan kepadamu. Aku harap dapat mendengar kabar darimu dalam masalah ini, semoga dalam waktu yang tidak lama lagi.”

“Jawohl, Herr General!” Jawab Marseille dengan lega.

Tak lama setelah menaiki mobil lux kepunyaan sang jenderal, Marseille dan supir pribadi Hellmann langsung melesat melintasi jalan beraspal Via Balbia kearah tujuan mereka. Si supir adalah Unteroffizier Schultze yang juga berasal dari Berlin seperti halnya Marseille, dan tak lama suatu ikatan timbul di antara kedua orang muda ini.

Sepanjang perjalanan, Schultze ngoceh tentang bagaimana dinginnya cuaca di Afrika saat minggu-minggu pertama dia tiba disini, tentang Rommel dan Major Irnfried von Wechmar, yang memimpin sebuah Aufklärungsabteilung (AA 3) dan sekarang dipanggil semua orang dengan julukan “Lord of the Tarmac”. Dia bercerita tentang pengalaman mengalami serangan badai pasir pertama, tentang lalat yang minta ampun banyaknya, tentang kopi asin dan hal-hal lainnya. Sebagai penutup, dia mengatakan:

“Kamu dan teman-temanmu yang terbang di angkasa tampaknya bernasib lebih baik dibandingkan dengan kami. Selalu bernafas di tengah udara yang segar dan jauh dari debu dan kotoran.”

“Ya, memang benar. Tapi seringkali udara dipenuhi dengan lapisan timah,” jawab Jochen.

“Hahahaha… benul eh betul! Makanya aku lebih senang disini, nempel di atas tanah dengan mobilku.”

Agedabia telah terlewati lama sebelumnya. Beberapa rumah terlintasi, baik di kiri maupun di kanan. Sekali mereka sempat tersesat setelah mengikuti jejak sebuah konvoy yang kemudian menghilang. Untungnya Schultze kemudian menyadari kesalahannya dan kembali ke jalur yang benar. Mereka berbalik dan tiba di Benghazi tanggal 22 April 1941 jam 2 pagi. Jalan yang ada di kota ini bagaikan jalan-jalan indah di Eropa, dengan pohon berjajar di sepanjang boulevard. Tapi sang Unteroffizier tidak dapat menikmati keindahan ini karena sekarang dia tertidur pulas, dan Jochen Marseille yang gantian berada di belakang kemudi.

Di wilayah Tocra, Littoranea (bahasa Italia untuk menyebut jalanan pinggir pantai) mulai menanjak dan mengarahkan mereka ke bagian pinggiran Djebel Achcar. Unteroffizier Schultze kembali menjadi supir karena dia sudah biasa dengan jalanan sulit seperti ini. Bagaimana dengan Marseille? Kini bagian dia yang molor!

Ketika si Oberfähnrich terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Jalan pinggir pantai kini menembus bukit-bukit kapur. Mereka melintasi pemandangan yang menawarkan keindahan liar yang romantis, melintasi desa-desa yang dihuni oleh pemukim-pemukim Italia dengan rumah mereka yang dihiasi pohon-pohon tropis dan tanaman lainnya. Disinilah tempat perkebunan Cyrenaica – yang berkembang melalui proyek-proyek irigasi Italia: Gasr el Elua, Sidi Agd el Uahed, Zauia el Beda dan Beda Littoria. Dekat Luigi Raza mereka melintasi sebuah hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon ek. Kebanyakan pemukiman disini sudah ditinggalkan oleh penghuninya, orang-orang Italia yang mengungsi bersama dengan keluarganya saat Inggris mendesak pasukan Mussolini bulan Desember 1940, hampir satu tahun sebelumnya.

Ketika mereka mencapai lapangan udara Derna, hari telah beranjak siang. Disini mereka berhenti sebentar untuk mengisi bahan baker. Marseille juga menggunakan waktunya untuk mengambil gajinya dari petugas pembayaran di landasan.

Ketika si petugas bersiap untuk menambahkan catatan baru di buku pembayaran Marseille, dia membukanya di halaman yang terdapat catatan penganugerahan Eisernes Kreuz. “Tolong, jangan di halaman itu,” pinta sang Oberfähnrich kepada petugas pembayaran.

“Apakah kamu pikir kamu dapat mendapat lebih dari Eisernes Kreuz yang ada disini?” dia bertanya.

“Tentu saja,” Marseille menjawab. Si petugas pembayaran nurut dan menuliskan catatan pembayaran di halaman lainnya.

Mereka kini berangkat menuju dataran tinggi Cyrenaica, yang ditandai dengan jalan berkelok-kelok bagaikan ular yang seakan tidak berakhir dan dipenuhi oleh debu tebal, yang mengarah ke Celah Halfaya. Di kiri kanan jalan, mereka menjumpai sisa-sisa kendaraan perang, tank dan truk, yang teronggok dan merupakan sisa dari pertempuran yang terjadi tak lama sebelumnya. Beberapa di antaranya telah dijatuhkan ke jurang atau selokan oleh petugas pembersihan demi menjaga jalan tetap bisa dilintasi.

Petugas yang sama kini terlihat sedang memperbaiki jalan, dan menambal lubang-lubang bekas ledakan. Ketika mereka mencapai salah satu belokan dan dapat melayangkan pandangan ke Derna, mereka melihat 12 buah Junkers Ju 87 dari StG 3 baru saja tinggal landas untuk melaksanakan misi tempur. Dengan meninggalkan 12 buah kabut berwarna kuning kemerah-merahan di belakangnya, mereka terbang ke udara dan menghilang dari pandangan Marseille.

“Mereka berangkat ke Tobruk. Rommel menginginkan benteng kokoh ini bagaimanapun caranya, karena dia merupakan titik penting seluruh front,” jelas Unteroffizier Schultze.

Jam telah menunjukkan pukul 17.00 ketika Marseille akhirnya tiba di lapangan udara Gazala dan memarkirkan mobil “Admiral” kepunyaan jenderal Hellmann di depan markas Staffelnya. Dia meninggalkan Unteroffizier Schultze dan melapor kepada Oberleutnant Homuth.

Yang mengagumkan adalah, Marseille tiba disini hanya dua jam setelah Staffelnya datang! Homuth tampak gembira melihat pencapaian sang Oberfähnrich, meskipun tak ada kata-kata pujian yang keluar dari mulutnya. Marseille mendapat keterangan dari para kameradnya bahwa Staffel 2 telah tiba sehari sebelumnya, dan bersama dengan Staffel 3 yang baru saja datang, kini seluruh komponen Gruppe I dari Jagdgeschwader 27 telah sampai di lapangan udara Gazala.

No comments:

Post a Comment