Sunday, September 21, 2014

Doping Pasukan Wehrmacht dalam Perang Dunia II



Nazi mengajarkan puasa guna mempromosikan kesehatan nasional. Tetapi, begitu tiba masa perang, tanpa ragu Nazi memompa tentara-tentara Jerman dengan obat-obatan dan alkohol. Amfetamin dan metamfetamin menjadi obat pilihan, tetapi banyak pula yang kecanduan morfin dan alkohol.

Dalam suratnya tertanggal 9 November 1939, seorang prajurit muda yang ditempatkan di wilayah pendudukan Polandia menulis kepada orangtua dan saudaranya: "Sulit di sini, dan saya harap kalian akan mengerti jika saya hanya mampu untuk menulis kepada kalian sekali setiap dua sampai empat hari segera Hari ini aku menulis terutama untuk meminta beberapa Pervitin ....."

Surat tersebut menggambarkan betapa Pervitin manjadi salah satu kebutuhan utama tentara Jerman. Pervitin adalah stimulan yang saat ini dikenal sebagai speed (istilah untuk menyebut amfetamin dan metamfetamin). Banyak tentara Jerman yang mabuk Pervitin ketika mereka pergi ke medan perang, terutama saat melawan Polandia dan Perancis dalam Blitzkrieg. Militer Jerman menyediakan jutaan tablet metamfetamin selama paruh pertama tahun 1940. Obat-obatan semacam itu adalah bagian dari rencana untuk membantu pilot, pasukan angkatan laut dan pasukan infantri agar mampu bekerja sekelas manusia super. Pimpinan militer bebas membagikan stimulant, alkohol dan opiat dengan catatan bahwa membius dan memabukkan tentara bisa membantu mencapai kemenangan atas Sekutu. Namun, Nazi kurang memantau efek sampingnya, seperti kecanduan obat dan penurunan standar moral.

Setelah pertama kali diperkenalkan ke pasaran pada tahun 1938, Pervitin, metamfetamin yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi,yang berbasis di Berlin, Temmler, dengan cepat menjadi top seller di kalangan penduduk sipil Jerman. Menurut sebuah laporan di Wochenschrift Klinische (Mingguan Klinis), telah menarik perhatian Otto Ranke, seorang dokter militer dan direktur Institute Fisiologi Pertahanan dan Umum di Akademi Kedokteran Militer Berlin. Efek Pervitin mirip dengan adrenalin yang diproduksi oleh tubuh: memicu kewaspadaan. Pada kebanyakan orang, zat tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri, konsentrasi dan kemauan untuk mengambil risiko, sementara pada saat yang sama dapat mengurangi kepekaan terhadap rasa sakit, lapar dan haus serta mengurangi kebutuhan untuk tidur. Pada bulan September 1939, Ranke menguji Pervitin pada 90 mahasiswa dan menyimpulkan bahwa Pervitin bisa membantu Jerman memenangkan perang. Awal perang, Pervitin diuji pada driver militer yang terlibat dalam invasi Polandia. Kemudian, menurut kriminolog Wolf Kemper, Pervitin dibagikan kepada tentara untuk berperang di garis depan secara serampangan.

Sebuah cerita tentang kehebatan Pervitin datang dari front timur. Pada bulan Januari 1942, 500 tentara Jerman, yang dikepung oleh Tentara Merah, sedang berusaha melarikan diri. Saat itu, suhu minus 30 derajat Celcius. Seorang dokter militer yang ditugaskan di unit tersebut menulis dalam laporannya bahwa pada sekitar tengah malam, enam jam dalam pelarian mereka melalui salju sedalam pinggang, "Semakin banyak tentara yang begitu lelah mulai berbaring di salju." Sang komandan kemudian memutuskan untuk memberikan Pervitin kepada pasukannya. "Setelah setengah jam," tulis dokter itu, "orang-orang itu secara spontan melaporkan bahwa mereka merasa lebih baik Mereka mulai berbaris secara berurutan kembali, semangat mereka meningkat dan mereka menjadi lebih waspada."

Selama periode singkat antara bulan April dan Juli 1940, lebih dari 35 juta tablet Pervitin dan Isophan (versi modifikasi yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Knoll) dikirim kepada tentara dan angkatan udara Jerman. Beberapa tablet, yang masing-masing mengandung tiga miligram zat aktif, dikirim ke divisi medis Jerman dengan nama kode OBM, lalu didistribusikan langsung kepada pasukan. Setiap paket obat-obatan tersebut diberi label "Stimulan" dan petunjuk yang merekomendasikan dosis satu sampai dua tablet "hanya jika diperlukan, untuk mempertahankan sulit tidur." Tetapi kemudian, dokter merasa khawatir terhadap fakta bahwa fase regenerasi setelah minum obat-obatan itu menjadi semakin panjang dan efek obat-obatan itu secara bertahap menurun di kalangan pengguna. Pengguna dapat mengalami masalah kesehatan, seperti keringat berlebih, gangguan peredaran darah, bahkan kematian. Leonardo Conti, menteri kesehatan Jerman, lantas berusaha untuk membatasi penggunaan obat-obatan itu, tetapi tidak begitu berhasil. Meskipun Pervitin diklasifikasikan sebagai zat terbatas pada tanggal 1 Juli 1941, berdasarkan UU Opium, sepuluh juta tablet tetap dikirimkan kepada pasukan Jerman pada tahun yang sama.

Komando medis militer Jerman pun tidak terlalu memusingkan atas efek merugikan Pervitin. Mereka hanya mengeluarkan pedoman dan petunjuk baru penggunaan Pervitin, termasuk informasi tentang risiko yang nyaris tidak berbeda dari instruksi sebelumnya. "Pedoman Pendeteksian dan Pemberantasan Kelelahan" yang diterbitkan 18 Juni 1942 masih sama: "Dua tablet dikonsumsi sekali untuk menghilangkan kebutuhan akan tidur selama tiga sampai delapan jam dan dua tablet efektif selama 24 jam."

Menjelang akhir perang, Nazi memberikan sebuah pil ajaib kepada pasukan mereka. Di pelabuhan Jerman utara, Kiel, pada tanggal 16 Maret 1944, Wakil Laksamana Hellmuth Heye, meminta obat yang dapat membuat siap tempur ketika mereka diminta untuk terus berjuang melampaui periode yang dianggap normal, sementara pada saat yang sama meningkatkan harga diri mereka sebagai tentara. Beberapa waktu kemudian, farmakolog Gerhard Orzechowski, memberi Heye pil yang diberi nama kode D-IX. Isinya lima miligram kokain, tiga miligram Pervitin dan lima miligram Eukodal (obat penghilang rasa sakit berbasis morfin).

Selain obat-obatan, alcohol juga menjadi zat yang populer. Tentang alkohol, Walter Kittel, seorang jenderal di korps medis, menulis bahwa hanya seorang fanatik yang akan menolak untuk memberikan sesuatu kepada prajurit yang dapat membantu mereka santai dan menikmati hidup setelah menghadapi kengerian perang. Alkohol dapat dikatakan sebagai hadiah dan kesenangan yang secara rutin dijual di komisaris militer, sebuah kebijakan yang secara samar menarik kembali gaji tentara ke kas militer.

Namun, pada bulan Juli 1940, setelah Perancis dikalahkan, Hitler mengeluarkan perintah: "Saya berharap bahwa para anggota Wehrmacht yang membiarkan diri mereka tergoda untuk terlibat dalam tindak pidana sebagai akibat dari penyalahgunaan alkohol akan dihukum berat." Boleh saja Hitler berkata seperti itu, tapi minuman keras tampaknya lebih menggoda. Setahun kemudian, Jenderal Walther von Brauchitsch, menyimpulkan bahwa pasukannya sedang melakukan pelanggaran moralitas dan disiplin. Hal itu terjadi akibat penyalahgunaan alkohol. Di antara dampak buruk penyalahgunaan alkohol, ia menyebutkan perkelahian, kecelakaan, penganiayaan terhadap bawahan, kekerasan terhadap atasan dan kejahatan yang melibatkan tindakan seksual yang tidak wajar.

Menurut statistik internal yang disusun oleh kepala korps medis, 705 kematian militer antara September 1939 dan April 1944 terkait dengan alkohol. Angka tidak resmi mungkin jauh lebih tinggi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan yang melibatkan senjata dan bunuh diri sering disebabkan oleh penggunaan alkohol. Petugas-petugas medis diminta untuk memasukkan para pecandu alkohol dan obat-oabatan ke fasilitas pengolahan. Menurut perintah yang dikeluarkan oleh pelayanan medis, solusi ini memiliki keuntungan yang bisa diperpanjang tanpa batas. Setelah dipenjara di fasilitas pengobatan, pecandu kemudian dievaluasi berdasarkan hukum pencegahana penyakit keturunan, disterilisasi secara paksa ataupun di-euthanasia.

Jumlah kasus di mana tentara menjadi buta atau bahkan meninggal setelah mengkonsumsi alkohol metil mulai meningkat. Mulai tahun 1939, Institut Obat-obatan dan Forensik di Universitas Berlin mendaftar alkohol metil sebagai faktor utama penyebab kematian. Oleh karena itu, penyelundup minuman keras mesti berhadapan dengan hukum. Misalnya, seorang perwira 36 tahun dieksekusi di Norwegia pada musim gugur tahun 1942 setelah kedapatan menjual lima liter alkohol metil dan mengakibatkan beberapa prajurit jatuh sakit dan dua prajurit meninggal. Menurut harian yang diterbitkan pada tanggal 2 Oktober 1942 hukuman tersebut diumumkan kepada pasukan dan unit tambahan untuk digunakan sebagai teguran.

Tetapi, tentara rupanya merasa bahwa apa pun yang bisa membantu mereka melarikan diri dari kengerian perang dapat dibenarkan. Kecanduan morfin meluas di kalangan personil yang terluka selama perang. Bahkan, dokter-dokter yag mengalami kecanduan morfin meningkat empat kali lipat selama tahun 1945 dibandingkan pada awal perang. Franz Wertheim, seorang petugas medis yang dikirim ke sebuah desa kecil di dekat Tembok Barat pada tanggal 10 Mei 1940, menulis kisah berikut: "Untuk membantu melewatkan waktu, kami, para dokter bereksperimen pada diri kami sendiri. Kami akan memulai hari dengan minum segelas cognac dan mengambil dua suntikan morfin. Kami menemukan jika kokain sangat berguna pada tengah hari dan di malam hari kami kadang-kadang mengambil Hyoskin, alkaloid yang berasal dari beberapa varietas tanaman yang digunakan sebagai obat. Sebagai hasilnya, kami tidak selalu sepenuhnya mengendalikan indera kami."

Untuk mencegah wabah morfinisme, seperti yang terjadi setelah perang terakhir, Profesor Otto Wuth, seorang sersan dan psikiater komando medis militer, mengajukan sebuah proposal untuk memerangi morfinisme pada bulan Februari 1941. Dalam proposal tersebut dikatakan bahwa semua yang terluka dan kecanduan akibat pengobatan harus dicatat dan dilaporkan kepada "Dewan Medis Distrik" di mana mereka akan disediakan morfin secara legal atau diperiksa dan dikirim ke pusat-pusat perawatan rehabilitasi narkoba. Dengan cara ini Wuth menyimpulkan bahwa para pecandu morfin dapat dimonitor dan mereka dapat dicegah untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal. Pemimpin Nazi sendiri lebih toleran terhadap mereka yang kecanduan obat sebagai hasil dari perang dibandingkan dengan pecandu alkohol.


Sumber :



No comments:

Post a Comment