Ist's dennoch ein gar altes, wackeres Geschlecht;
Christallhell, ungetrilbt blieb seines Namens Ruhm,
Hoch hielt es stets die Wahrheit, Ehre und das Recht.
Treu seiner Viiter Brauch, fromm, tapfer, brav und schlicht,
Hat Gottes gniid'ge Huld vor Schaden es bewahrt.
O wank auch filrder nicht vom Pfad der Christenpflicht,
Filhr deinen Namen stolz nach echter Ritterart!
Es blilhe miichtig dies Geschlecht, der Ehre Bild,
Nie fall' ein Schatten auf sein Wappenschild!
Untuk artinya silakan cari di primbon-primbon terdekat...
Manfred von Richthofen sebagai Fähnrich (calon perwira) di Ulanen-Regiment Nr.1 tahun 1912. Pada saat Perang Dunia I pecah Manfred sudah berpangkat Leutnant kavaleri yang ditempatkan di perbatasan Jerman-Polandia (yang saat itu dikuasai Rusia). Jiwa mudanya memberontak menerima kenyataan bahwa tempat tugasnya tidak dipenuhi oleh pertempuran seperti di front lain dan dia begitu gembira ketika menerima kabar bahwa resimennya dipindahkan ke Front Barat yang berdarah-darah! Cubluknya, disini sang Baron malah diserahi tugas menjadi perwira yang mengatur keluar-masuk makanan serta perlengkapan perang dan bukannya bertempur! Marah, dia tulis surat ke pimpinannya: "Yang Mulia, saya tidak pergi berperang hanya untuk mengumpulkan telur dan keju tapi untuk tujuan lainnya". Pada awalnya atasannya merasa tersinggung atas suratnya yang terang-terangan tersebut, tapi kemudian mereka mengalah dan dia dipindahkan ke Fliegertruppe (Pasukan Udara) bulan Mei 1915
Manfred von Richthofen (kanan) dengan komandannya di Kasta 8, Hauptmann Victor Carganico yang merupakan seorang penerbang militer dari sejak sebelum perang dan juga veteran BAO (Brieftauben-Abteilung Ostend) yang merupakan grup penyerang udara mobil saat itu. Terlihat mood Richthofen tidak terlalu baik, kemungkinan karena beberapa hari sebelumnya, 16 April 1916, dia mengklaim kemenangan udara atas sebuah pesawat Nieuport Prancis tapi kemudian malah diberikan pada pilot lain! Carganico sendiri kemudian meneruskan karir di Luftwaffe dalam Perang Dunia II sebagai Generalmajor. Hebatnya, anaknya Horst Carganico menjadi pilot jagoan pula dengan mengemas 60 fliegerabschüsse (kemenangan udara)
Manfred von Richthofen saat bertugas di Kampfgeschwader 2 (KG 2) bulan Juni 1916. Ekspresinya tampak cemas dan wajar saja dia begitu: di bulan itu beberapa top leader Luftstreitkräfte (Unit Udara AD Kekaisaran Jerman) kehilangan nyawanya dalam pertempuran. Tanggal 18 Juni Max Immelmann (jagoan udara Jerman pertama) tewas setelah pesawatnya mencium daratan dengan sebab tidak diketahui; Keesokan harinya Hauptmann Ernst Freiherr von Gersdorff (komandan wing yang sangat berbakat) terbunuh ketika pesawat Fokker-nya diberondong tembakan pesawat-pesawat Prancis; dua hari kemudian, Oberleutnant Hans Bailer (komandan unit udara dimana saudara Manfred, Lothar, ditempatkan) tewas pula oleh pesawat Prancis yang lain
KG 2 menerima kunjungan Prinz Leopold von Bayern (A) yang merupakan panglima 9.Armee dimana KG 2 ditempatkan, periode 15-23 Juli 1916. Leutnant Manfred von Richthofen (B) dan Leutnant Alfred Gerstenberg tampak sedang bercakap-cakap dengan sang Pangeran sementara di belakangnya berderet pesawat Albatros C.III. Prinz Leopold tampak sangat tertarik dengan dunia penerbangan dan berkali-kali minta diterbangkan ke front depan, tapi karena hujan yang datang terus-menerus di periode itu sehingga permintaannya hanya bisa terlaksana dua kali saja!
Manfred von Richthofen bersama rekan-rekannya dari KG 2 saat masa tugas mereka di Rusia awal tahun 1917. Dari kiri ke kanan: Tidak diketahui, Hauptmann Victor Carganico, Manfred, dan Leutnant Alfred Gerstenberg. Selama bertempur di Rusia, Manfred lebih memilih untuk tinggal di tenda daripada di kabin kereta api yang disediakan karena panas menyengat cuacanya membuat dia tidak tahan! Ikut menemaninya sesama pilot Alfred Gerstenberg dan Franz Christian von Scheele
Manfred von Richthofen bersantai di lapangan udara Lagnicourt (Prancis) dengan memakai sweater dan celana berkuda di depan sebuah mesin ‘tunggangan’ baru, Albatros D.II, dan rekan-rekannya sesama pilot Jagdstaffel 2, dari kiri ke kanan: Oberleutnant Stephan Kirmaier, Leutnant Hans Imelmann, Manfred, dan Leutnant Hans Wortmann. Prestasinya di KG 2 membuatnya dilirik oleh Oberleutnant Oswald Boelcke, pilot paling mentereng saat itu, untuk bergabung dengannya dalam sebuah unit udara baru yang murni berisi pilot-pilot pemburu, Jagdstaffel 2 (Jasta 2)
Foto ini memperlihatkan dua orang awak darat Jerman sedang meneliti sisa-sisa pesawat dari korban keempat Leutnant Manfred von Richthofen, sebuah ‘Rumpfdoppeidecker’ (sayap ganda) Inggris berkursi tunggal dengan nomor seri B.E.12 6618 yang dipiloti oleh 2nd Lieutenant William C. Fenwick. Pesawat ini ditembak jatuh oleh Manfred tanggal 7 Oktober 1916 jam 09.10 pagi. Sang pilot malang tewas dalam peristiwa tersebut, dan sampai saat ini tak diketahui kuburannya dimana...
Pada hari Sabtu tanggal 28 Oktober 1916 atasan, mentor sekaligus idola Manfred von Richthofen, Hauptmann Oswald Boelcke, menemui ajal setelah pesawatnya secara tidak sengaja bertabrakan dengan sesama pilot Jerman, Leutnant Erwin Böhme. Sebuah sayap kemudian terlepas sehingga Boelcke dan pesawatnya menghunjam bumi. Jerman telah kehilangan pilot terbesarnya, dan pemakaman sang pahlawan di Cambrai diadakan secara besar-besaran dengan Leutnant Manfred von Richthofen (tanda panah) mendapat kehormatan sebagai pembawa Ordenskissen (bantal medali) yang berisi dekorasi militer yang diperoleh oleh mendiang semasa hidup. Tepat 80 minggu dan satu hari kemudian, Manfred akan menyusul idolanya dijemput oleh maut...
“Hanya” 14 medali yang diraih oleh Boelcke, dibandingkan dengan 24 yang nantinya diraih Richthofen. Ke-14 medali tersebut (yang semuanya terpasang di Ordenskissen) adalah sbb: Pour le Mérite nongkrong paling atas. Di baris pertama dari kiri: Army Pilot's Badge; Iron Cross 2nd Class; Kingdom of Prussia's Knight's Cross of the Royal Order of the House of Hohenzollern with Swords; Prussia's Life-Saving Medal; Duchy of Anhalt's House Order of Albert the Bear Knight's Crosses 1st and 2nd Class with Swords; Duchy of Anhalt's Friedrich Cross; Kingdom of Bavaria's Merit Order 4th Class with Swords; Ottoman Empire's Pilot's Badge. Baris kedua dari kiri: Kingdom of Bulgaria's Bravery Order 2nd Degree; Kingdom of Württemberg's Knight's Cross of the Military Merit Order; Iron Cross 1st Class; dan Ottoman Empire's Imtiaz Medal in Silver
Setelah Oswald Boelcke gugur, komando Jasta 2 diberikan kepada Oberleutnant Stephan Kirmaier. Tak lama dia pun kemudian menyusul terbunuh dalam pertempuran udara melawan pesawat-pesawat No.24 Squadron, RFC, tanggal 22 November 1916. Keesokan harinya Manfred von Richthofen membalas dengan menewaskan komandan No.24 Squadron, Major Lanoe G. Hawker (pilot pemburu Inggris pertama yang dianugerahi Victoria Cross!), dalam dogfight sengit yang berlangsung lama. Manfred lalu diangkat sebagai komandan de facto Jasta 2 (lalu Jasta 11) sekaligus dianugerahi medali keberanian paling bergengsi Kekaisaran Jerman, Pour le Mérite, yang tampak jelas dalam gambar kartupos Willi Sanke #503 hasil karya fotografer Johann von Dühren (1867-1931) yang beredar luas zaman itu. Rittmeister sendiri merupakan pangkat perwira Kavaleri yang merupakan unit lama Manfred sebelum menjadi pilot
Kalau yang ini kartupos Sanke juga dengan nomor 533 yang keluar media 1917/1918. Seperti terlihat di bagian kiri bawah, sebagai fotografernya adalah Nicola Perscheid (1864-1930) yang terkenal lewat foto-foto artistiknya serta merupakan pengembang apa yang dinamakan sebagai "Lensa Perscheid", lensa berfokus lembut untuk potret fotografi format besar
Gambaran ‘Red Baron’ tercipta saat Manfred von Richthofen mencat pesawat Albatros D.III-nya seluruhnya dengan warna merah (termasuk lambang Iron Cross!) bulan Januari 1917. Dari sejak saat itu semua orang tahu siapa pilot yang berada di balik kemudi pesawatnya, termasuk pilot-pilot Sekutu yang menjulukinya sebagai ‘le petit rouge’
Seperti saat sebelumnya dimana Boelcke telah menarik minat para pilot-pilot terbaik Jerman, reputasi Jagdstaffel 11 di bawah pimpinan Manfred von Richthofen yang makin mencorong membuat unitnya kebanjiran permintaan pilot lain untuk bergabung. Foto bertanggal 10 Maret 1917 ini memperlihatkan para pilot baru yang baru saja masuk, dari kiri ke kanan: Leutnant der Reserve Hans Weiss (yang nantinya menjadi jagoan udara), Leutnant Lothar Freiherr von Richthofen (adik Red Baron), Leutnant Eberhard Mohnike, Hauptmann Wilhelm Haehnelt (perwira urusan aviasi untuk 2.Armee), dan Manfred. Tak lama Lothar telah membuktikan bahwa kepindahannya dari Kampfgeschwader 4 bukanlah semata karena ia saudaranya Red Baron melainkan karena kemampuannya yang memang mumpuni: Dia mencatat kemenangan udara pertamanya hanya dua minggu setelah lulus tes uji yang ketiga, dan empat minggu kemudian telah menembak jatuh 20 pesawat musuh!
Manfred von Richthofen sebagai Oberleutnant. Promosi ini diperolehnya tanggal 23 Maret 1917 setelah dia mencetak kemenangan udara ke-29, dan merupakan sebuah prestasi yang membanggakan karena lebih maju satu tingkat dibandingkan dengan rekan-rekan seangkatannya! Hanya berselang 18 hari kemudian, dia sudah naik pangkat lagi menjadi Rittmeister (Kapten Kavaleri) dalam usia yang baru 24 tahun!
Menikmati ‘happy time’, Manfred von Richthofen tersenyum sambil berjalan dengan tongkatnya. Dia sedang mengunjungi unit pesawat pengintai dua kursi Flieger-Abteilung (A) 258 yang dikomandani oleh Prince Friedrich Karl of Prussia (ketiga dari kanan). Manfred dan sang pangeran sudah berteman dari sejak menjadi kadet tentara; mereka berdua sama-sama memulai karir dari resimen Hussar untuk kemudian beralih ke dunia penerbangan. Prince Friedrich Karl sendiri merupakan sepupu Kaiser Wilhelm II dan, menuruti tradisi dinasti Hohenzollern, masuk dalam ketentaraan. Jiwa mudanya membuat sang pangeran tidak cukup menerbangkan pesawat dua kursi dalam misi-misi pengintaian, melainkan juga ikut serta melakukan patroli pesawat pemburu bersama Jagdstaffel 2 menggunakan Albatros D.I (latar belakang, sebelah kanan) yang dihiasi dengan lambang tengkorak khas Hussar
Bulan April 1917 merupakan bulan terbaik bagi Manfred von Richthofen. Dia menembak jatuh korban ke-32-nya tanggal 2, dan tanggal 29 dia sudah membungkus kemenangan ke-49 sampai 52 hanya dalam waktu delapan jam! Di foto ini Red Baron duduk di atas kokpit pesawat Albatros D.III bersama para kameraden-nya dari Jagdstaffel 11. Berdiri dari kiri ke kanan: Leutnant Carl Allmenröder (6 s/d 9); Leutnant der Reserve Hans Hintsch; Vizefeldwebel Sebastian Festner (3 s/d 12, terbunuh tanggal 23 April 1917); Leutnant Karl-Emil Schäfer (9 s/d 23); Leutnant Kurt Wolff (6 s/d 27); Leutnant Georg Simon; dan Leutnant der Reserve Otto Brauneck. Duduk dari kiri ke kanan: Leutnant Karl Esser; Leutnant der Reserve Konstantin Krefft; dan Leutnant Lothar von Richthofen (2 s/d 16). Angka dalam kurung adalah jumlah kemenangan yang dicetak bulan April 1917. Sebenarnya ada satu orang lagi dalam foto ini yang sampai muncrut tak berhasil saya dapat identifikasinya, dan dia adalah Landser berkumis ala tokay yang mojok di sebelah kiri!
Foto yang diambil tanggal 4 April 1917 dan memperlihatkan para jagoan Jagdstaffel 11, dari kiri ke kanan: Sebastian Festner (gugur April 1917), Karl-Emil Schäfer (gugur Juni 1917), Manfred von Richthofen (gugur April 1918), Lothar von Richthofen (tewas tahun 1922) dan Kurt Wolff (gugur September 1917). Seperti yang bisa anda baca dari keterangan ini, semua orang yang ada dalam foto di atas mengalami nasib mati muda!
Manfred von Richthofen (kanan) dan Leutnant Werner Voss, pilot pemburu dari Jagdstaffel 2 yang sama-sama peraih Pour le Mérite. Voss berusia hamper lima tahun lebih muda dari Manfred, tapi mempunyai determinasi yang tinggi sebagai seorang pilot tempur. Dia tidak terlalu aktif sewaktu berlangsungnya ‘Bloody April’ - dikasih julukan seperti itu oleh pihak Inggris karena begitu banyaknya pesawat mereka yang ditembak jatuh di bulan April 1917 tersebut – dan hanya mencetak dua fliegerabschüsse (kemenangan udara). Voss dianugerahi Pour le Mérite setelah menembak jatuh 23 pesawat musuh
Dari kiri ke kanan: Oberst Hermann von der Lieth-Thomsen (Kepala Staff Udara), Manfred von Richthofen, dan Generalleutnant Ernst von Hoeppner (Komandan-Jenderal Unit Udara) berpose di Markas Besar Komando Tertinggi Jerman di Bad Kreuznach tanggal 1 Mei 1917, beberapa minggu setelah Lieth-Thomsen dan Von Hoeppner dianugerahi Orden Pour le Mérite. Kaiser Wilhelm II menganugerahi mereka medali bergengsi tersebut di minggu Paskah tahun 1917 karena kepemimpinan dan pengorganisasian kembali Luftstreitkräfte yang sempat sempoyongan di akhir tahun 1916
Kawan lama bertemu kembali saat Manfred von Richthofen (kanan) mengunjungi mantan pilot Brieftauben-Abteilung-nya, Hauptmann Paul Henning von Osterroht, tanggal 15 April 1917. Osterroht adalah perwira karir AD dan tukang terbang amatir di masa sebelum perang, dan kini dia telah menjadi komandan Jagdstaffel 12. Pada saat foto ini diambil, Richthofen sudah mengemas 44 fliegerabschüsse sementara Osterroht lima
Ayah Manfred dan Lothar, Major Albrecht Freiherr von Richthofen, tercatat sering mengunjungi kedua putra pilotnya yang sama-sama menjadi pahlawan nasional Jerman di markas Jagdstaffel 11 mereka yang mengambil tempat di sebuah château elegan di Roucourt, sebelah tenggara Douai. Foto di atas diambil di anak tangga selatan château tersebut dan memperlihatkan, baris atas dari kiri ke kanan: Leutnant Carl Allmenröder (KIA 27 Juni 1917); Leutnant Lothar von Richthofen; Leutnant Wolfgang Plüschow (DoW 5 Juli 1918); dan Leutnant von Hartmann. Baris bawah, dari kiri ke kanan: Leutnant Georg Simon (PoW 4 Juni 1917); Leutnant Kurt Wolff (KIA 15 September 1917); Manfred von Richthofen (KIA 21 April 1918); Major von Richthofen; Leutnant der Reserve Konstantin Krefft; dan Leutnant der Reserve Hans Hintsch (KIA 25 Mei 1917). Major Albrecht yang sudah berusia 57 tahun dijuluki sebagai ‘der Fliegervater’ (ayah para penerbang) karena anak-anaknya yang menjadi pilot mentereng (dengan skor gabungan 120 buah!), dan dia pun sering kali mengunjungi kedua anaknya tercinta dengan menggunakan pesawat terbang. Karena dia setengah tuli, maka dia tidak lagi bertugas di front melainkan menjadi komandan sebuah garnisun
Barisan pesawat Albatros D.III yang merupakan gabungan dari Jagdstaffel 11 dan 4 di lapangan udara Roucourt. Foto ini terpublikasikan secara luas dan, sebagai contoh seperti di atas, nongol dalam sampul suplemen bergambar mingguan untuk Tages-Post Austria di Linz. Albatros di latar depan kemungkinan milik perwira teknis Manfred, Leutnant der Reserve Konstantin Krefft, sementara di belakangnya adalah ‘burung merah’ Manfred von Richthofen disusul oleh pesawat berwarna gelap dengan garis merah di belakang kokpit milik adik Manfred, Lothar von Richthofen. Pesawat keempat tampaknya milik Karl-Emil Schäfer
Manfred von Richthofen (kiri) menerima kunjungan Hauptmann Erich von Salzmann (tengah) di Roucourt bulan April 1917. Salzmann begitu terkesan akan pertemuannya dengan Manfred, dan berkata mengenai ‘Red Baron’: “Richthofen memiliki kepercayaan diri dan kewaspadaan yang mengagumkan, sesuatu yang merupakan hasil dari begitu banyak pertempuran yang telah dilaluinya dan bukan berasal dari pembelajaran di ruang kelas. Di wajahnya terlihat ketenangan, kekuatan, dan juga sikap bersahabat. Uniknya, tak terdapat ketegangan dan sikap terburu-buru seperti yang biasa terlihat dalam diri pahlawan-pahlawan muda lainnya.”
Manfred von Richthofen terlihat kaku dan gelisah saat dia menjabat tangan Generalleutnant Ernst von Hoeppner, Kommandierender General Luftstreitkräfte, dalam foto kartu pos yang diambil di Roucourt di akhir bulan April 1917. Red Baron baru saja melampaui jumlah kemenangan mentornya Oswald Boelcke sehingga dia kini menjadi pahlawan nasional yang segala gerak-geriknya mendapat perhatian khalayak ramai, suatu hal yang belum biasa dia hadapi. Dari periode 23 Januari s/d 22 April 1917 tersebut, Jagdstaffel 11 pimpinan Richthofen mencetak 100 fliegerabschüsse terkonfirmasi, dan menjadi unit pesawat pemburu terbaik yang dimiliki Jerman!
Manfred von Richthofen memperkenalkan pilot-pilot terbaiknya kepada Generalleutnant Ernst von Hoeppner, dari kiri ke kanan: Hauptmann Maximilian Sorg (perwira 6.Armee yang menangani penerbangan), Manfred von Richthofen, Ernst von Hoeppner, Leutnant von Hartmann, Leutnant der Reserve Konstantin Krefft, Leutnant der Reserve Otto Brauneck, Leutnant Karl-Emil Schäfer, Leutnant Lothar Freiherr von Richthofen, dan Leutnant der Reserve Hans Hintsch. Schäfer (berjabatan tangan dengan Von Hoeppner) tercatat sebagai anakbuah Manfred pertama yang dianugerahi medali super bergengsi Pour le Mérite sekaligus diserahi komando staffelnya sendiri, Jagdstaffel 28
Pada tanggal 29 April 1917 Manfred von Richthofen menerima telegram dari Wilhelm II, suatu hal yang sangat langka dilakukan oleh sang Kaiser terhadap seorang perwira yunior! Telegram tersebut berisi ucapan selamat yang lengkapnya begini: “Aku telah menerima laporan bahwa kau telah keluar sebagai pemenang dalam pertarungan udara untuk yang ke-50 kalinya. Aku ingin menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Tanah air melihat penerbangnya yang berani dengan perasaan kagum dan penuh terimakasih. Semoga Tuhan selalu bersamamu. Wilhelm I. R.”
Manfred von Richthofen berdiri di depan sebuah pesawat latih Albatros tanggal 1 Mei 1917. Keesokan harinya, jagoan udara dengan 52 kemenangan ini (saat itu) memenuhi undangan untuk makan-makan dengan Kaiser Wilhelm II, sebuah kehormatan yang tak terhingga! Hari tersebut (2 Mei) bertepatan pula dengan ultah Manfred ke-25, yang ditakdirkan sebagai ultah terakhirnya. Manfred diizinkan pulang oleh atasannya ke Schweidnitz untuk mengerjakan memoarnya. BTW, sang jagoan udara Jerman ini memulai karir terbangnya sebagai pilot pengintai yang menggunakan pesawat-pesawat dengan jenis seperti Albatros dalam foto di atas
Kebanyakan unit udara biasanya mempunyai pesawat tambahan untuk keperluan penerbangan domestik di luar wilayah perang. Untuk Jagdstaffel 11 sendiri pesawat semacam ini yang digunakan berjenis Albatros C.IX dua kursi seperti yang terlihat disini. Seperti halnya pesawat pemburu Manfred von Richthofen dan sebagian besar anggota staffel lainnya, pesawat ini pun dicat merah sehingga tetap memunculkan kesan ‘Red Baron’. Dalam foto bertanggal 1 Mei 1917 ini, terlihat Manfred sedang dibantu memakaikan jaket penerbang oleh seorang awak darat sementara seorang lagi memegang topi pilot serta kacamata debu. Dia akan berangkat ke Jerman untuk cuti pertamanya setelah memegang komando Jasta 11. selain itu, dia juga dijadwalkan untuk beraudiensi dengan Kaiser Wilhelm II tanggal 2 Mei keesokan harinya
Manfred von Richthofen saat baru tiba di Cologne setelah tiga jam terbang menggunakan Albatros C.IX dalam perjalanan cutinya dari front depan di Roucourt, tanggal 1 Mei 1917. Dia disambut dengan antusias oleh para perwira muda Jerman yang berebutan ingin berfoto bareng sang legenda hidup. Perjalanan ini begitu buru-buru sehingga tak ada yang Manfred bawa selain sikat giginya, padahal keesokan harinya dia harus bertemu dengan “top notch” Jerman: Kaiser Wilhelm, Paul von Hindenburg dan Erich Ludendorff! Untuk menggantikan Manfred sebagai komandan Jasta 11 selama dia absen adalah adiknya Lothar von Richthofen. BTW, dalam foto pertama (atas), yang di sebelah kiri mirip banget dengan Gerd von Rundstedt (Generalfeldmarschall Nazi Jerman) di waktu muda!
Manfred von Richthofen dan Kaiserin Auguste Viktoria (tengah), istri dari Kaiser Wilhelm II, tanggal 3 Mei 1917. Sehari setelah pertemuan dengan sang Kaiser, Manfred diterbangkan dengan menggunakan pesawat Aviatik C.II (terlihat dalam foto) oleh Oberleutnant Fritz von Falkenhayn ke Bad Homburg von der Höhe untuk bertemu dengan Kaiserin yang telah menunggu di lapangan udara. Ketika melihat Manfred, dalam acara formil ini, mengenakan jaket kulit yang sudah lusuh, Kaiserin bertanya tentang alasannya. Manfred menjawab bahwa jaket tua inilah yang selalu dia kenakan saat mencetak ke-52 buah kemenangan udaranya. Kaiserin langsung terkesima dan menyentuh jaket tersebut sambil berkata, “Jaket ini telah menemanimu dalam 52 kemenangan...”
Manfred von Richthofen (kiri) dan Fritz von Falkenhayn. Manfred mengenakan seragam tradisional Uhlan di balik jaket kulit yang dia pakai saat bertemu dengan Kaiserin Auguste Viktoria (lihat foto sebelumnya), dan disini dia berfoto dengan kawan lamanya Fritz. Manfred memakai medali Pour le Mérite di lehernya, pita medali Eisernes Kreuz II klasse di kancing, dan medali Eisernes Kreuz I klasse serta Military Pilot’s Badge di seragam kanan. Falkenhayn mengenakan baris pita yang terdiri dari tujuh medali serta Eisernes Kreuz I klasse, Duchy of Oldenburg's Friedrich August Cross 1st Class dan Military Pilot's Badge yang disematkan ke seragamnya. Falkenhayn sendiri berasal dari keluarga bangsawan militer terkemuka Jerman yang sudah diakui dari sejak abad ke-16. Dia memulai karirnya di resimen Grenadier Penjaga elité tapi kemudian beralih ke dunia penerbangan sebagai pengamat di tahun 1913 dan pilot tahun selanjutnya. Tanggal 27 November 1914 dia ditunjuk sebagai ajudan Fliegerkorps Komando Tertinggi Jerman, dan dalam tugasnya tersebut dia selalu membantu idola sekaligus sahabatnya, Manfred, sebisa mungkin
Setelah bertemu dengan Kaiserin, Manfred von Richthofen mencoba mengenang masa lalu dengan duduk di kursi belakang dan terbang menggunakan pesawat Albatros C.III di Flieger-Ersatz-Abteilung 7 di Cologne. Karena sudah menjadi pahlawan nasional lagi ngetop, dia disarankan untuk menggunakan transportasi darat selama kedatangannya di Jerman, tapi di Bad Kreuznach dia malah merasa terganggu dengan penjagaan berlebihan terhadap seorang “pahlawan” sepertinya sehingga lebih memilih untuk bepergian menggunakan pesawat terbang. Sebenarnya dari sejak kemenangannya yang ke-30 dia sudah diwanti-wanti oleh Kaiser untuk tidak terbang lagi (karena sudah menjadi ‘aset’ nasional), tapi kemudian beberapa waktu kemudian Richthofen datang kembali menghadap Kaiser dengan membawa 50 kemenangan! Bahkan seorang Kaiser tidak bisa mematahkan semangat menggebu-gebu Red Baron untuk bertempur, dan karenanya dia hanya berpesan, “Selalu berhati-hatilah dan jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadapmu.”
Bebas dari tugas resmi selama kunjungannya ke Jerman, Manfred von Richthofen menghabiskan waktu selama berjam-jam terbang menggunakan pesawat-pesawat ‘gaek’ semacam Rumpler C.I buatan tahun 1915 seperti terlihat dalam foto ini. Bila kita melihat dari dekat model kontrol roda kemudi di kursi depan, maka dia merupakan ciri paling jelas dari pesawat-pesawat model awal
Selama masa singgahnya di Cologne, Manfred von Richthofen menjalin hubungan dengan teman-teman baru termasuk Hauptmann Otto Zimmer-Vorhaus, seorang penerbang dari masa sebelum perang yang membentuk Jagdstaffel pertama tanggal 25 September 1916. Disini Zimmer-Vorhaus sudah menjadi perwira staff 6.Armee yang mengurusi penerbangan dan sebelumnya telah membentuk Feldflieger-Abteilung 28 menjadi sebuah unit yang begitu kuatnya sehingga Manfred dan komandan-komandan Jasta lainnya sering meminta pilot-pilotnya yang paling agresif untuk ditempatkan di unit mereka sendiri!
Manfred von Richthofen dan Konstantin Krefft (kedua dari kanan) bersiap-siap untuk melakukan perburuan di Black Forest tanggal 4 Mei 1917. Di hari itu pula muncul pemberitaan dari koran-koran Jerman tentang pembentukan sebuah formasi udara khusus Inggris yang tugas utamanya adalah menangkap atau menembak jatuh Red Baron lalu mengabadikannya dalam film! Artikel tersebut, yang akurasinya tak pernah dikonfirmasi, mengatakan bahwa pilot Inggris yang berjasa melakukan hal itu akan langsung diganjar dengan Victoria Cross (medali keberanian tertinggi Inggris), langsung naik pangkat, dan juga dikasih hadiah 5.000 poundsterling! Apa reaksi Manfred? Dengan santai dia berkata, “Bagaimana bila situasinya dibalikkan? Bagaimana bila aku yang menembak jatuh skuadron Inggris? Apakah aku akan menerima Victoria Cross, naik pangkat, pesawat baru sebagai hadiah, 5.000 poundsterling, dan penghargaan khusus untuk pabrikan pesawat yang aku gunakan? Sebenarnya aku orang yang gampang terpuaskan. Cukuplah seorang kameraman yang memfilmkan saat-saat aku tertembak jatuh, karena itu yang benar-benar aku inginkan!”
Manfred von Richthofen mencoba sebuah pesawat LFG Roland D.III di fasilitas penguji Adlershof, pinggiran berlin, tanggal 16 Mei 1917 sebelum pulang ke rumah orangtuanya di akhir masa cutinya. Pengujian ini diperlukan karena banyaknya masalah yang menimpa pesawat Albatros D.III yang selama ini digunakan oleh pilot-pilot pemburu Jerman. Pesawat licin berbadan kayu ini hampir sama bentuknya dengan Albatros D.III, hanya saja ternyata kemampuan keseluruhannya masih mengecewakan
Seperti dulu Manfred von Richthofen pernah meminta nasihat tentang pertempuran udara pada Oswald Boelcke, kini hal yang sama berulang. Pada pertengahan Mei 1917 dia terlihat sedang berbincang-bincang dengan calon pilot yang menjanjikan, Oberleutnant Hans Bethge (kanan). Dia setahun lebih tua dari Manfred dan menembak jatuh pesawat pertamanya sebelum sang Red Baron, tapi dalam foto ini ternyata dia baru mencetak lima fliegerabschüsse dibandingkan dengan Manfred yang 52! Bethke merupakan veteran Brieftauben-Abteilung Ostende sehingga mendapat kesempatan menimba ilmu dari sang legenda hidup, dan pada saat itu dia telah menjadi komandan Jagdstaffel 30 yang baru dibentuk bulan Januari 1917. Tak diragukan lagi bahwa Bethke mendapat banyak pelajaran setelah pertemuan ini, dan tak lama dia langsung meroketkan skor kemenangannya menjadi 20 sebelum gugur dalam pertempuran, hanya sehari sebelum dianugerahi Pour le Mérite!
Akhirnya dalam cutinya Manfred von Richthofen mendapat kesempatan untuk pulang kampung ke Schweidnitz. Dia menyangka bahwa dengan menggunakan kereta api dan tiba di sabtu pagi maka dia dapat mencapai kampung halamannya tanpa terdeteksi. Tapi dia salah besar! Dia bukan lagi seorang Manfred yang biasa tapi sudah menjadi Manfred “Red Baron” Richthofen yang menjadi idola jutaan warga Jerman! Di setiap tempat singgah, seperti yang terlihat dalam foto ini, kerumunan manusia sudah menyambutnya dengan gegap gempita. Dia tiba di stasiun kereta Schweidnitz tanggal 19 Mei 1917 jam 7 pagi, dan saudarinya Ilse yang menyambutnya. Mereka menuju ke rumah dengan berjalan kaki, dan di sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya orang-orang memberi berbagai macam hadiah dan bunga. Manfred sebenarnya seorang pemalu dan dia tidak terlalu menyukai kedaan ini, tapi harus bagaimana lagi! Tidak ketinggalan, Wandervogel (Perlintasan Burung, organisasi anak muda Jerman terkemuka saat itu) menyambut Manfred dengan nyanyian yang diiringi alat musik semacam kecapi, serta anak-anak dari sekolah perawat mendatangi Manfred dengan topi kertas dan rumbai-rumbai mereka
Penerimaan yang meriah ini tidak berhenti sampai keesokan harinya (20 Mei 1917), dan cuaca cerah di hari minggu itu membuat lebih banyak lagi orang datang ke kediaman keluarga Manfred von Richthofen untuk melihat dari dekat seperti apa sang legenda hidup tersebut. Anak-anak dengan wajah antusias mendengarkan langsung Manfred berbicara tentang pengalamannya selama bertempur di front depan. Begitu banyaknya orang berkumpul sehingga Manfred tak bisa kemana-mana! Beberapa hari kemudian ibu dan saudari Manfred ‘menculiknya’ untuk menikmati ketenangan di daerah pedesaan
Setelah masa istirahatnya dirasa cukup, pada akhir bulan Mei 1917 Manfred von Richthofen ditugaskan untuk melakukan ‘tour of duty’ ke fasilitas-fasilitas penerbangan sekutu Jerman yaitu Austria (seperti yang terlihat dalam foto yang diambil di pangkalan penguji Austria di Aspern ini). Tur ini dimaksudkan untuk menjauhkan Manfred dari pertempuran di front depan. Adiknya Lothar yang menggantikan perannya untuk sementara sebagai komandan Jasta 11 telah terluka dalam pertempuran dan dirawat di rumah sakit sehingga komando tinggi Jerman tidak mau mengambil resiko mengembalikan sang pemburu handal pada ‘habitatnya’. Tanggal 5 Juni 1917 Manfred menerima kabar bahwa mantan anakbuahnya yang kini menjadi komandan Jasta 28, Leutnant Karl-Emil Schäfer, telah terbunuh dalam sebuah pertempuran udara. Dia langsung membatalkan sisa turnya dan buru-buru kembali ke Jerman untuk menghadiri upacara pemakaman bawahan sekaligus sahabatnya tersebut. Schäfer tewas di usia 25 tahun dan telah menembak jatuh 30 pesawat musuh sehingga dianugerahi Pour le Mérite. Dalam perjalanan pulang, kembali Manfred menerima berita duka: sepupunya Leutnant Oskar von Schickfuss und Neudorff yang menjadi pilot di Jasta 3 dan baru berusia 23 tahun ikut terbunuh dalam dogfight, hanya beberapa jam setelah kematian Schäfer! Keduanya sama-sama menerbangkan pesawat Albatros D.III, dan hal ini menimbulkan keraguan banyak orang akan kemampuan pesawat tersebut
Untuk keberangkatannya ke upacara pemakaman Leutnant Karl-Emil Schäfer yang diselenggarakan di kampung halaman mendiang, Manfred von Richthofen menggunakan pesawat dua kursi yang dia terbangkan sendiri dari Berlin ke Krefeld selama dua jam (sementara kalau pakai kereta api bisa makan waktu delapan jam). Manfred membawa serta Erich von Salzmann bersamanya, seorang mantan perwira militer yang menjadi jurnalis perang. Sudah dapat kita bayangkan, tentunya perjalanan ini kemudian membekas seumur hidup Salzmann!
Sebelum balik lagi ke front, untuk kedua kalinya Manfred von Richthofen diundang ke Markas Besar awal bulan Juni 1917 dimana dia disambut langsung oleh Generalfeldmarschall Paul von Hindenburg (tengah). Selain itu, Manfred juga bertemu dengan Raja Bulgaria, yang menganugerahinya Cross of Bravery 1st class (dikenakan seperti halnya Eisernes Kreuz I klasse), dan juga Reichskanzler Jerman serta menteri-menteri lainnya
Pada tanggal 10 Juni 1917 Jagdstaffel 11 pindah pangkalan dari Roucourt di Prancis (front 6.Armee) ke Bavichove di Belgia yang berada di timurlaut Courtrai (front 4.Armee). disini tampak sang jagoan udara sedang mengecek lapisan tanah lunak di lapangan udara barunya dengan tongkatnya (terlihat sedikit di kiri bawah) sambil mengenakan mantel tebal yang terbuat dari bulu kingkong. Pada tanggal 23 Juni 1917 Rittmeister Manfred von Richthofen ditunjuk sebagai komandan dari wing tempur pertama Jerman dalam sejarah, Jagdgeschwader 1, yang beranggotakan Jagdstaffeln 4, 6, 10 dan 11. untuk menggantikannya sebagai komandan Jasta 11 ditunjuk salah seorang anakbuahnya yang paling sukses, Leutnant Kurt Wolff, yang telah meraih 31 fliegerabschüsse dan dianugerahi Pour le Mérite
Manfred von Richthofen berfoto bersama adik kesayangan sekaligus anakbuahnya di JG 1, Lothar von Richthofen, di Schloss Markebeeke bulan Juni 1917. Keduanya adalah peraih Pour le Mérite. Manfred meraihnya tanggal 12 Januari 1917 sementara Lothar tanggal 14 Mei 1917
Foto lain kakak-beradik Manfred dan Lothar von Richthofen. Lothar-Siegfried Freiherr von Richthofen dilahirkan pada tanggal 27 September 1894 dan menjalani karir terbangnya setelah sempat "terdampar" di kavaleri, sama seperti kakaknya. Dia ternyata sama pula berbakatnya dalam hal pertempuran udara dan mencatat tidak kurang dari 40 kemenangan. Dahsyatnya, bila dilihat dari masa aktif di front dan perawatan di rumah sakit, maka tak diragukan lagi bahwa Lothar adalah pilot paling efisien dan mematikan dalam Perang Dunia I, lebih dari kakaknya! Dari 40 kemenangan, 33 di antaranya dikumpulkan hanya dalam waktu 3 bulan: 15 di April 1917, 8 di Mei 1917, dan 10 di Agustus 1918! Seusai perang dia menjalani karir sebagai pilot komersial dan biasa mengangkut penumpang serta surat antara Berlin-Hamburg. Pada tanggal 4 Juli 1922 Lothar tewas dalam kecelakaan udara di Fuhlsbüttel saat pesawat LVG C VI yang dipilotinya mengalami kegagalan mesin
Manfred von Richthofen terlibat pembicaraan serius dengan seorang pilot Angkatan Darat sementara mekanik udara Angkatan Laut sedang memeriksa kokpit pesawat Albatros D.V no.4693/17 di belakangnya. Unit-unit udara Angkatan Laut Kekaisaran Jerman yang berpangkalan di darat di wilayah Flanders beroperasi dekat batas laut front 4.Armee sehingga Manfred sering mengunjungi fasilitas mereka dan begitu juga sebaliknya. Perwira Angkatan Laut kedua dari kanan tampaknya sedang memperhatikan sayap ekor yang sepenuhnya dicat merah dengan lambang nasional yang digambar lebih besar dari biasanya, suatu kebiasaan yang terus dilakukan oleh Manfred dan anakbuahnya dari sejak zaman Albatros tipe awal. Pesawat ini kemungkinan merupakan pesawat yang sama yang digunakan oleh Red Baron saat mendarat darurat dan menderita luka dalam peristiwa tanggal 6 Juli 1917 seperti yang nanti akan diceritakan
Manfred von Richthofen dalam salah satu kunjungan persahabatannya ke II.Marine-Feldflieger-Abteilung yang merupakan salah satu unit udara Angkatan Laut. Dia terbang dengan menggunakan Albatros D.V dengan bagian badan depan dicat merah sampai ke windscreen. Dia sangat memberi perhatian agar pesawat yang digunakannya selalu mempunyai ciri khusus yang ‘terang-benderang’ sehingga gampang dikenali oleh pilot-pilotnya serta unit yang berdekatan. Bahkan di masa-masa awal ini telah digalang kerjasama antara unit udara AD dan AL yang kemudian dikenal dengan nama Unternehmen Strandfest (Operasi Pesta Pantai) yang dilaksanakan tanggal 12 Juli 1917 saat hujan sedang turun dengan derasnya. Operasi ini berjalan dengan sukses!
Pada tanggal 2 juli 1917, Manfred von Richthofen menempati sebuah markas baru di Château de Béthune yang terletak di Marcke (sekarang bernama Marke), baratdaya Courtrai, Belgia. Kastil keren ini dibangun tahun 1802 oleh sebuah keluarga yang menonjol dalam Perang Napoleon. Manfred biasa mengundang keempat pimpinan Staffel-nya dalam pertemuan di kamarnya yang berada di lantai dua. Pengurus rumah tidak terlalu bersahabat karena dia tidak menyukai tempatnya dijadikan tempat kongkow pilot-pilot muda yang selengekan. Selama beberapa hari pertama Manfred dengan sabar membiarkan dia dengan segala ketidakramahannya, tapi kemudian Red Baron mengubahnya!
Foto udara wilayah Marck yang memperlihatkan Château milik Baron Jean de Béthune (A) di ujung Kasteeldreef (jalan kecil kastil) dengan halaman rumput luasnya yang telah menjadi ‘rumah’ bagi setengah anggota Jagdgeschwader 1. Wilayah datar luas antara Kasteeldreef dan Bissegemstraat (jalan ke Bissegem) menjadi lapangan udara Jasta 11 (B) dan kamar pesuruh (C) yang bertempat di sebuah rumah tinggal di pinggir jalan menuju Courtrai, Kortrijkstraat No.74, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Château. Lapangan udara Jasta 4 terletak di baratlaut Château (D) dan Jasta 6 beroperasi di seberang sungai Lys (E). Pada awalnya Jasta 10 bermarkas di lapangan udara Heule, di utara Jasta 4, tapi kemudian dia ikut boyongan ke Marcke demi lebih dekat dengan staffel-staffel anggota Jagdgeschwader 1 lainnya
Selama operasi ekstensif JG 1 tanggal 6 Juli 1917, Manfred von Richthofen menerbangkan pesawat Albatros D.V 4693/17 yang hanya bagian ekor, penutup roda dan hidungnya saja yang dicat merah. Pesawat tersebut terlihat di atas tak lama setelah mendarat darurat dalam sebuah peristiwa yang hampir merenggut nyawa sang legenda. Di hari itu, Manfred ber-dogfight dengan pesawat dua kursi F.E.2d. Dia tenang saja ketika gunner di kursi belakang menembakinya dalam jarak 300 meter karena dia tahu sangat kecil kemungkinannya tembakan yang dilepaskan dalam jarak seperti itu dapat mengenai dirinya, tapi ternyata dia salah!
Salah satu peluru menyambar kepalanya sampai melubangi penutup kepala pilotnya (seperti terlihat di atas). Manfred von Richthofen sempat mengalami kebutaan sementara sebelum dia mampu melihat kembali. Dua orang anakbuahnya, yang melihat komandan mereka terkena masalah, segera mengawalnya pulang demi menghindari kemungkinan mendapat penyerangan oleh musuh. Akhirnya Manfred mendarat dengan selamat di lapangan udara Wervicq, Belgia, dan dia langsung dibawa ke rumah sakit St. Nicholas di Courtrai. Pada awalnya, para sejarawan menduga bahwa Manfred menjadi korban dari lawannya, gunner/observer Second Lieutenant Albert E. Woodbridge dari No.20 Squadron. Penelitian dari catatan medis kemudian menyimpulkan bahwa luka yang terdapat sedikit di atas telinga kirinya berasal dari belakang, dan itu berarti merupakan hasil dari tembakan tidak sengaja temannya sendiri!
Rittmeister Manfred von Richthofen dengan perban di kepalanya saat menjadi pasien rumah sakit. Dokter yang mengobatinya adalah Obergeneralarzt (Mayor Jenderal di Korps Medis) Prof.Dr. Kraske dan perawat yang merawatnya adalah Käte Otersdorf. Luka di kepalanya mempunyai panjang 10cm dan bisa dijahit kembali, hanya saja dari sejak itu ada sedikit bagian kecil di rambutnya dimana secuil tengkorak kepalanya mencuat tanpa tertutup kulit! Untuk sementara komandan Geschwader diserahkan kepada Oberleutnant Kurt-Bertram von Döring. Berita tentang terluka parahnya Manfred ini dirahasiakan begitu rupa sehingga pihak Sekutu dan, bahkan, rakyat Jerman pun tidak mengetahuinya!
Lima hari setelah peristiwa yang menimpa Manfred von Richthofen, tanggal 11 Juli 1917 dia ‘ditemani’ oleh Leutnant Kurt Wolff, komandan Jagdstaffel 11 (baris depan di tengah dengan tangan kiri diperban) yang juga sama-sama terluka dalam dogfight. Foto ini memperlihatkan saat dua orang penerbang yang terluka ini mengunjungi unitnya di Château de Béthune. Baris atas dari kiri ke kanan: Leutnant Eberhard Mohnike; Oberleutnant Wilhelm Reinhard; Perawat Käte Weinstroth; Manfred von Richthofen; Major Albrecht von Richthofen (ayah tercinta); dan Oberleutnant Kurt Scheffer. Baris tengah: Leutnant Franz Müller; Oberleutnant Karl-Heinrich Bodenschatz; Leutnant Hans Joachim Wolff; dan Leutnant der Reserve Alfred Niederhoff. Baris depan: Leutnant der Reserve Konstantin Krefft; Leutnant der Reserve Otto Brauneck; Leutnant der Reserve Wilhelm Bockelmann; Kurt Wolff; Profesor Arnold Busch (seniman yang ikut berkunjung); Leutnant der Reserve Karl Meyer; dan Leutnant Carl August von Schönebeck
Major Albrecht Freiherr von Richthofen bersama anak tercinta Manfred yang baru saja keluar dari rumah sakit, 11 Juli 1917. Albrecht mengenakan pita medali Eisernes Kreuz II klasse di kancing bajunya sementara di bagian bawah seragamnya tertempel salib Johanniterorden (Ordo Johanniter) yang bukan merupakan medali keberanian melainkan medali keanggotaan untuk ksatria Jerman yang menjadi anggota organisasi keagamaan St. Johann yang berhaluan Katolik
Gambar/sketsa yang dibuat oleh Profesor Arnold Busch saat berkunjung ke Manfred von Richthofen bulan Juli 1917. Seperti biasa, dalam gambar ini Manfred mengenakan seragam resimen Uhlan favoritnya serta, tentu saja, Pour le Mérite!
Manfred von Richthofen begitu frustasi akan masa penyembuhannya dan sudah gatal ingin bertempur kembali. Berkali-kali dia meminta untuk diizinkan keluar dari rumah sakit, dan akhirnya izin tersebut datang juga tanggal 25 Juli 1917. Dalam foto ini Red Baron masih terlihat lemah dengan perban di kepalanya saat dia menikmati sinar matahari bersama para perwira Geschwader di anak tangga Château de Béthune. Baris atas dari kiri ke kanan: Leutnant der Reserve Kurt Küppers dari Jasta 6; Leutnant Carl August von Schönebeck, Jasta 11; Oberleutnant Karl Scheffer, Jasta 11; Leutnant Wilhelm Bockelmann, Jasta 11; Oberleutnant Hans-Helmuth von Boddien, Jasta 11; Leutnant der Reserve Alfred Niederhoff, Jasta 11; dan Leutnant Justus Grassmann, Jasta 10. Baris depan: Leutnant der Reserve Konstantin Krefft, JG I; Richthofen; Leutnant Eberhard Mohnike, Jasta 11; dan Leutnant der Reserve Erwin Böhme (yang menggantikan Kurt Wolff sebagai komandan Jasta 29). Di depan para pilot ini nongkrong baling-baling yang merupakan ‘suvenir’ dari sebuah pesawat pengintai R.E.8 Inggris... Sebuah ironi karena kelak penanda kuburan pertama Manfred adalah juga baling-baling dari pesawat R.E.8!
Pada tanggal 30 Juli 1917 Manfred von Richthofen menyambut kedatangan mantan kamerad-nya di Jasta 2, Leutnant Werner Voss (kiri), yang bergabung dengan Jagdgeschwader 1. Pada saat itu Voss baru berusia 20 tahun tapi dia sudah mengemas 34 kemenangan dan juga merupakan peraih Pour le Mérite seperti halnya Manfred. Voss menggantikan Oberleutnant Ernst Freiherr von Althaus (pilot pemburu kedelapan peraih Pour le Mérite) yang menderita gejala kebutaan sehingga harus ditarik dari front depan dan menjalani tugas baru sebagai instruktur. Voss adalah pilot Jerman dengan jumlah kemenangan tertinggi kedua setelah Manfred sehingga kini JG 1 boleh lah mentahbiskan diri sebagai unitnya pilot-pilot pemburu terbaik Kaiser!
Pada tanggal 7 Agustus 1917 Leutnant Kurt Wolff menyusul komandan Geschwader-nya keluar dari rumah sakit. Dia sangat ingin terjun kembali dalam peperangan, hanya saja dilarang keras untuk bertempur sebelum lukanya pulih total. Dengan jumlah kemenangan 33, Wolff menjadi pilot ketiga dengan pencapaian tertinggi sesudah Manfred von Richthofen dan Werner Voss sehingga wajar saja dia ingin buru-buru mengejar ketertinggalannya, apalagi posisinya sebagai komandan Jasta 11 digantikan oleh Oberleutnant Wilhelm Reinhard sembari menunggu penyembuhannya. Foto di atas memperlihatkan Wolff (kedua dari kanan) yang setengah tersenyum seakan menggambarkan perasaannya saat itu. Dari kiri ke kanan: Konstantin Krefft (perwira teknis JG 1), Anthony Fokker (perancang pesawat terkenal), Kurt Wolff, dan Manfred von Richthofen (kommandeur Geschwader)
Foto koleksi pribadi Daniel Kosinski dari Amerika Serikat ini kemungkinan besar diambil pada waktu yang sama dengan foto sebelumnya, yang terlihat dari kesamaan pakaian yang dikenakan oleh Manfred von Richthofen (kiri) dan Anthony Fokker (belakang setir). Mobil sport super keren yang mereka gunakan berjenis Mercedes 38/90 atau bisa juga dari jenis Austro-Daimler besar
Saat terbit pengumuman bahwa Oberleutnant Eduard Dostler (Staffelkapitän Jasta 6 yang baru berusia 21 tahun) dianugerahi Pour le Mérite, Manfred von Richthofen mengunjungi markasnya dan memasangkan medali Pour le Mérite punya dia sendiri di leher Dostler seperti tampak dalam foto! Kemungkinan besar Dostler mendapat kehormatan untuk memakai medali “pinjaman” tersebut sampai medali punya dia datang dari bagian kearsipan medali Kekaisaran di Berlin. Biasanya peristiwa seperti ini selalu diikuti oleh acara minum-minum tuak cap Tikus, tapi tidak saat Manfred hadir! Dia menekankan kesiapsiagaan penuh pada seluruh anakbuahnya sehingga jarang berlangsung pesta-pesta teler seperti yang terjadi di unit-unit lainnya
Pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1917 Manfred von Richthofen kembali bertugas dan langsung menembak jatuh sebuah pesawat Nieuport Inggris yang dipiloti oleh 2/Lt H.T. Williams pukul 07:55. Kemenangan tersebut dicatat sebagai kemenangannya yang ke-58. Sayangnya, luka di kepalanya yang berbalut perban (seperti tampak dalam foto di atas yang bertanda-panah) masih terasa dan menimbulkan sakit kepala hebat sehingga Manfred langsung meringkuk di kamar tidur sepanjang hari itu. Wajar saja, karena Manfred memakai helm pilotnya di luar perbannya sehingga si luka mendapat tekanan saat dia terbang! Keesokan harinya (17 Agustus 1917), Jasta 11 mencatatkan kemenangan udara ke-200 (dari sejak tanggal 12 Oktober 1916) saat Leutnant Hans-Georg von der Osten mencetak fliegerabschüsse pertamanya. Jasta 11 adalah mantan unit Manfred yang kini dikomandani oleh Kurt Wolff
General der Infanterie Erich von Ludendorff (tanda-panah) ditemani oleh Manfred von Richthofen (sebelahnya) melakukan inspeksi pada Jagdstaffel 11 pada hari minggu tanggal 19 Agustus 1917. Di latar belakang adalah pesawat Albatros terakhir yang digunakan oleh Manfred sebelum dia beralih pada Fokker: Albatros D.V 2059/17. Tangga di sebelahnya adalah untuk memberi kesempatan pada jenderal dan staffnya apabila mereka berniat untuk melihat ‘kantor’ yang sebenarnya dari sang Red Baron!
Keesokan harinya, Senin tanggal 20 Agustus 1917, JG 1 memberikan perlindungan udara dalam acara kunjungan Kaiser Wilhelm II ke 4.Armee. Disini Manfred von Ricthofen (ketiga dari kiri) berpose santai saat menunggu kedatangan sang Kaisar. Dia memakai pita medali lebar yang memajang semua medali yang telah didapatnya sampai saat itu, bersama dengan Pour le Mérite yang selalu terpasang di lehernya. Topinya sedikit lebih besar demi ‘mengakomodasi’ perban yang masih membalut kepalanya. Hauptmann Paul Freiherr von Pechmann (tengah) adalah veteran dengan 400 feindflug (misi tempur) dan menjadi pengamat udara pertama Jerman yang dianugerahi Pour le Mérite. Di sebelahnya dengan rokok menempel di bibir adalah Oberleutnant Eduard Dostler, komandan Jasta 6 sekaligus jagoan udara dengan 26 kemenangan. Kemungkinan besar ini adalah foto terakhir Dostler, karena keesokan harinya (21 Agustus 1917) dia gugur saat terlibat pertempuran udara melawan pesawat-pesawat Inggris!
Manfred von Richthofen maju ke depan dan memberi hormat kepada Kaiser Wilhelm II yang baru datang untuk menginspeksi para anggota udara 4.Armee di Courtrai, 20 Agustus 1917. Di sebelah kanan adalah General der Infanterie Friedrich Sixt von Armin, komandan 4.Armee yang berusia 65 tahun. Sang jenderal mempunyai motto yang cocok benar dengan filosofi Manfred: “Dia yang tidak berani mengambil langkah selanjutnya adalah dia yang telah melakukan perjalanan dengan sia-sia”
Masih dalam upacara yang sama untuk menyambut kedatangan Kaiser Wilhelm II tanggal 20 Agustus 1917. Manfred von Richthofen memimpin anakbuahnya memberi hormat pada sang pemimpin Jerman. Tiga orang yang berdiri di baris depan bagian kiri semuanya adalah peraih Pour le Mérite, dari kiri ke kanan: Oberleutnant Paul Freiherr von Pechmann (31 Juli 1917), Oberleutnant Eduard Dostler (6 Agustus 1917) dan Oberleutnant Rudolf Berthold (10 Oktober 1917). Tanggal dalam kurung adalah tanggal penganugerahan Pour le Mérite
Manfred von Richthofen bermain bersama anjing Denmark peliharaannya yang bernama Moritz. Dia berulangkali diingatkan agar tidak terbang dulu sebelum luka di kepalanya benar-benar pulih. Begitu seriusnya perintah ini sampai-sampai Angkatan Darat mengirimkan Hauptmann Helmuth Wilberg, kawan lama Manfred yang kini menjadi perwira 4.Armee bagian penerbangan, untuk melihat apakah dia benar-benar ‘diam’! Dasar bandel, pada tanggal 26 Agustus 1917 Manfred memutuskan untuk terbang kembali demi memburu skuadron pesawat Inggris yang baru saja membom pangkalan udara Jerman di Heule (Bisseghem) dan Marcke. Dalam dogfight yang kemudian berkecamuk, Manfred mencatatkan kemenangannya yang ke-59
Pada tanggal 28 Agustus 1917 pesawat tiga-sayap Fokker pertama tiba di pangkalan Jagdgeschwader 1. Tiga hari kemudian (31 Agustus 1917) sebuah demonstrasi resmi Fokker F.I 102/17 diselenggarakan di Marcke dan tentu saja Manfred von Richthofen sangat antusias mengikutinya! Disini dia sedang menerangkan kelengkapan pesawat tersebut kepada Generalmajor Karl von Lossberg, salah satu komandan pasukan Jerman dalam Pertempuran Ypres ketiga yang baru saja diangkat menjadi jenderal empat minggu sebelumnya
Tamu istimewa dalam demonstrasi pesawat Fokker tanggal 31 Agustus 1917 adalah Kanselir Jerman yang baru, Dr. Georg Michaelis (kerah putih), yang baru saja menempati jabatannya selama tujuh minggu. Kepala Reichstag (Parlemen Jerman) tersebut berada dalam kunjungan pertamanya di front dan tampaknya puas mendapat keterangan yang dibutuhkan dari sesama orang Silesia, Manfred von Richthofen. Untuk acara ini Manfred khusus mengenakan perban yang sedikit lebih kecil dari biasanya sehingga hampir tidak terlihat saat dia mengenakan topinya. Meskipun Michaelis tidak mempunyai latar belakang militer, tapi disini dia mengenakan pita medali Eisernes Kreuz II klasse di kancing seragamnya!
Keesokan harinya, 1 September 1917, Manfred von Richthofen membuktikan bahwa pesawat Fokker triplane baru ini (dalam foto ini sedang ‘ditunggangi’ oleh perancangnya, Anthony Fokker) begitu mematikan: dia menembak jatuh sebuah pesawat dua kursi Inggris yang sedang membantu penembakan artileri di timur Ypres. Itu adalah kemenangannya yang ke-60. Kemenangan tersebut diraih begitu mudah karena pesawat korbannya menyangka milik Manfred sebagai pesawat triplane Sopwith Inggris sehingga tidak membuka tembakan!
Senyum kepuasan yang nampak dalam wajah Manfred von Richthofen saat memeriksa sisa-sisa pesawat Sopwith Pup B.1795 di foto ini bisa dimengerti: sekali lagi Fokker triplane F.I 102/17 barunya mempertunjukkan performa yang memuaskan, dan Manfred berhasil menembak jatuh korbannya yang ke-61 meskipun pilot lawannya merupakan pilot yang berpengalaman. Yang sedang nyundut rokok di sebelah Manfred adalah Leutnant Eberhard Mohnike, yang juga menembak jatuh sebuah Sopwith Pup dalam pertempuran yang sama dan tercatat sebagai kemenangannya yang ke-6. Di foto bawahnya yang sedang bersama Manfred dan memakai jaket bulu adalah Anthony Fokker
Dan inilah korbannya yang ke-61: Lieutenant Algernon F. Bird dari No.46 Squadron, Royal Flying Corps. Dia adalah salah satu dari hanya 29 penerbang yang selamat setelah bertempur melawan Manfred von Richthofen, sementara 54 lainnya diketahui terbunuh. Dalam foto ini tampak kedua orang dari pihak yang berseteru tersebut berada dalam suasana yang santai, dan si Letnant Inggris berusia 21 tahun itu pun nyengeh alias tersenyum walaupun dia dalam status sebagai tawanan Jerman!
Manfred von Richthofen mengenakan topi pilotnya yang terlipat sementara di belakangnya terparkir sebuah pesawat Fokker D.V bersayap ganda. Pesawat model lama ini tidak dimaksudkan sebagai pesawat tempur di front depan, tapi sekedar untuk mengujicoba penggunaan mesin rotari seperti halnya pesawat-pesawat Fokker lainnya. Selama ini pilot-pilot JG 1 menggunakan Albatros, yang mempunyai mesin berbeda dibandingkan dengan pesawat baru mereka
Rumah keluarga Richthofen di Schweidnitz (sekarang Swidnica, Polandia). Pada tanggal 6 September 1917 Manfred von Richthofen ‘dipaksa’ untuk cuti kembali selama empat minggu karena telah melanggar perintah tidak terbang yang diberikan kepadanya. Hal pertama yang dilakukan Manfred adalah, selain menggerutu, mengunjungi kampung halamannya dengan menggunakan pesawat merah berkursi ganda yang kini menjadi propertinya. Tentu saja orang-orang di Schweidnitz langsung riuh-rendah begitu mengetahui sang legenda terbang di atas kepala mereka!
Manfred von Richthofen mengenakan semua medalinya dalam apa yang nantinya menjadi foto keluarga terakhirnya. Bersama dia, berdiri dari kiri ke kanan: ibunya, saudaranya Lothar dan Bolko serta saudarinya Ilse. Ayahnya, Major Albrecht Freiherr von Richthofen, duduk di depan. Ini adalah pertamakalinya keluarga ini berfoto bersama sejak Natal tahun 1915!
Manfred von Richthofen seringkali digambarkan sebagai seorang ksatria udara yang tak kenal takut dalam menghadapi setiap bahaya, sehingga terlihat tidak biasa ketika dia berpose malu-malu seperti tampak dalam sebuah kartupos yang dikeluarkan pada zaman perang. Foto yang memperlihatkan dia berdiri di depan rongsokan pesawat korbannya ini sebenarnya merupakan hasil editan (masa itu)! Tidak percaya? Mari kita lihat foto asli di bawahnya!
Nah, inilah foto asli Manfred von Richthofen dengan pose sama yang dimuat dalam koran terbitan saat itu. Foto yang diambil di hari Rabu tanggal 16 Mei 1917 ini memperlihatkan saat Manfred menghadiri acara pacuan kuda terkenal yang biasa diadakan di distrik Grunewald (Berlin) dalam rangka cuti panjangnya, dan posenya yang malu-malu bisa kita maklumi ketika kita melihat ada wanita di dekatnya! Kaget? Belum tahukah anda bahwa idola jutaan manusia ini, yang ribuan wanita sangat menginginkan bisa bersamanya, yang bisa mendapatkan setiap gadis tercantik yang dia mau, sebenarnya adalah lelaki yang sangat pemalu di depan wanita? Selama karirnya yang singkat tapi brilian tersebut, tak pernah sekalipun dia kedapatan berdua dengan wanita, dan manakala ada wanita di dekatnya, maka semua orang bisa melihat dengan jelas rona mukanya yang merah karena malu dan salting! Luar biasa! Luar biasa!! BTW, perwira yang ngobrol dengan Manfred dikatakan sebagai Hauptmann Erich von Salzmann, mantan pengajar sang legenda di akademi militer
Mau bukti? Ini adalah foto Manfred von Richthofen bersama dengan suster Käte Otersdorf yang merawatnya di rumah sakit Courtrai. Tukang gosip bisa saja menambahkan bahwa di antara mereka berdua terdapat sebuah hubungan romantis yang lebih daripada hubungan antara suster dengan pasiennya, tapi pose yang kaku dan ‘jarak’ antara mereka berdua jelas-jelas mengisyaratkan hubungan mereka yang tak lebih dari persahabatan ‘profesional’ belaka. Jurnalis Amerika Floyd Gibbons mengatakan bahwa Manfred menerima begitu banyak surat cinta dari penggemar perempuannya, sayangnya semua suratnya itu kini telah hilang dan termasuk di antaranya adalah korespondensi antara Manfred dengan seorang wanita yang tampaknya telah menarik hatinya, seorang wanita yang, seperti yang dikatakan oleh ibunya, Kunigunde Freifrau von Richthofen: “Dicintai oleh Manfred seperti halnya cinta seorang lelaki terhormat terhadap wanita yang dia dambakan akan menjadi ibu dari anak-anaknya.” Sampai saat ini tidak diketahui identitas si wanita misterius tersebut...
Mau bukti lain? Dalam sebuah foto yang diambil bulan Mei 1917 ini, Manfred von Richthofen dan sahabatnya Fritz von Falkenhayn terbang ke Bad Homburg untuk mengunjungi Kaiserin Auguste Viktoria. Sikap pemalu Manfred terlihat jelas. Ketika von Falkenhayn membaur dengan mudahnya dengan para pengiring ratu – dalam hal ini dua bersaudari Forckenbeck-Gablenz yang terkenal kecantikannya – Manfred malah ‘mundur’ di balik pesawatnya!
Manfred von Richthofen (kelima dari kiri) dalam acara pernikahan teman dan mantan Kamerad-nya di Kampfgeschwader 2, Hauptmann Fritz Prestien (tanda panah), yang diselenggarakan di Kastil Reinhardsbrunn di Gotha tanggal 18 Oktober 1917. Dari kiri ke kanan: Wolf Freiherr Pergler von Perglas dan istrinya; Gerda von Minckwitz dan Oberjägermeister Major a.D. Hans von Minckwitz (orangtua pengantin perempuan); Manfred von Richthofen (yang mengenakan semua medalinya serta helm Tschapka Uhlan); Duchess Viktoria Adelheid dan Duke Carl Eduard of Saxe-Coburg-Gotha; tiga orang pegawai istana; Wally von Minckwitz dan Fritz Prestien (pasangan pengantin); dan berbagai anggota istana, militer serta kerabat lainnya. Ketika di sore harinya Manfred kembali ke tempat menginapnya di Hotel Continental di Berlin, dia mendapat ucapan selamat dari mana-mana. Bingung, kemudian dia tahu bahwa pers Jerman telah salah mengerti dan menyangka dialah yang menikah di hari itu dengan Wally von Minckwitz! Tak heran bila banyak telegram dan surat ucapan selamat serupa yang datang ke kantor pos militer ayahnya serta rumah ibunya di Schweidnitz! Dibutuhkan beberapa hari sebelum kesalahpahaman ini reda
Foto Manfred von Richthofen sebagai biarawati Katolik yang terpampang di rumah sekaligus musium keluarganya di Schweidnitz. Terdapat sebuah cerita menarik di baliknya: seorang gadis calon biarawati yang ngefans berat dengan Manfred memasang foto idolanya di kamar sekolah biarawatinya. Suatu hari kepala biara datang mengecek kamarnya dan menjadi murka ketika mengetahui ada gambar lelaki terpasang. Akibatnya, si calon biarawati mendapat hukuman sekaligus peringatan untuk tidak memasang foto laki-laki di kamarnya, bahkan meskipun dia adalah seorang pilot terkenal dan pahlawan terkemuka. Gadis ini rupanya bukan dari jenis orang yang gampang menyerah. Dia mengakalinya dengan memasang foto besar temannya dalam pakaian biarawati, lalu mengganti mukanya dengan muka Manfred!
JG 1 pimpinan Manfred von Richthofen mendapat tugas baru untuk mengawal pesawat-pesawat pembom Jerman dalam misinya membom fasilitas musuh di front depan. Manfred sebenarnya membenci tugas ini karena dia lebih memilih membebaskan anakbuahnya untuk ‘kelayapan’ di sektor udara yang menjadi wilayah mereka dan menembak jatuh setiap musuh yang datang, tapi dia tetap harus menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Foto di atas memperlihatkan Manfred sedang berbincang-bincang dengan Hauptmann Rudolf Kleine (kiri), komandan Kampfgeschwader 3, dan ajudannya Oberleutnant Gerlich (tengah), di lapangan udara Gontrode yang terletak di sebelah tenggara Ghent, Belgia. Lapangan udara ini menjadi pangkalan besar pesawat-pesawat pembom Jerman dalam Perang Dunia I. Kleine adalah juga seorang peraih Pour le Mérite seperti halnya Manfred, dan pengawalan ini tidak terlalu banyak membantu ketika pesawatnya ditembak jatuh oleh tembakan senjata anti serangan udara Inggris dalam misi tanggal 14 Desember 1917
Sebuah hanggar balon Zeppelin di Gontrode yang memperlihatkan pesawat yang dipakai oleh Manfred von Richthofen saat dia terbang mengunjungi Kampfgeschwader 3 (lihat foto sebelumnya). Pesawat-pesawat yang berwarna putih di sebelah kiri adalah pembom Gotha D.IV, sementara dua di kanan yang berwarna lebih gelap adalah Albatros D.V kepunyaan Manfred dan perwira teknisnya, Leutnant der Reserve Konstantin Krefft. Yang mana yang dipakai oleh Manfred? Albatros D.V 2059/17 yang paling kanan, yang dia gunakan saat mencetak kemenangan udara ke-58 dan 59. Yang jadi pertanyaan adalah: bukankah para pilot JG 1 sudah menerima Fokker, tapi kenapa mereka disini masih menggunakan Albatros? Jawabannya bisa dilihat di foto selanjutnya!
Ketika Manfred von Richthofen kembali ke tugas di front bersama JG 1 tanggal 23 Oktober 1917, dia menerbangkan pesawat Fokker Dr.I 114/17 triplane. Tapi kemudian sejumlah kerusakan dan masalah teknis melanda sehingga memakan korban tiga pilot yang kehilangan nyawanya: Vizefeldwebel Josef Lautenschlager (29 Oktober 1917), Leutnant Heinrich Gontermann (30 Oktober 1917, peraih Pour le Mérite), dan Leutnant der Reserve Günther Pastor (31 Oktober 1917). Tanggal 2 November 1917 semua Fokker triplane dikandangkan untuk menjalani investigasi lebih lanjut sehingga semua pilot JG 1 untuk sementara balik lagi ke pesawat lamanya, Alabtros D.V. Dalam foto ini Manfred (memakai jaket bulu tebal, kedua dari kiri) kembali memakai Albatros D.V 4693/17 (latar belakang) yang dia pakai saat dipaksa untuk mendarat darurat di bulan Juli 1917 sebelumnya. Kini pesawat tersebut telah mendapat mempunyai lambang nasional di stabiliser vertikalnya, yang kemungkinan ditambahkan dalam masa perbaikan saat Manfred dirawat di rumah sakit
Di pertengahan November 1917, JG 1 dipindahkan ke wilayah Avesnes-le-Sec, timur-laut Cambrai, yang menjadi front 2.Armee. Di medan operasi barunya ini Manfred von Richthofen mencetak kemenangan yang ke-62 tanggal 23 November 1917. Yang menjadi korbannya adalah sebuah pesawat Airco D.H.5 A.9299 dari No.64 Squadron, Royal Flying Corps, yang foto nunggingnya nampang di atas dan foto aslinya berada di musium Schweidnitz. Itu bukan korban dia satu-satunya di hari itu, karena kemudian Manfred menghantam pula pesawat Airco D.H.5 lainnya yang dipiloti oleh Lieutenant James A.V. Boddy
Datangnya musim dingin mulai terasa dan bisa terlihat dalam foto ini yang memperlihatkan Manfred von Richthofen (kiri) dan adiknya Lothar (kedua dari kanan) berjalan di lapangan udara berumput yang menjadi pangkalan baru mereka di dekat Cambrai. Lothar baru saja ditunjuk sebagai pimpinan Jagdstaffel 11, dan JG 1 terlibat pertempuran sengit melawan pesawat-pesawat Inggris-Prancis dalam rangka mendukung ofensif Jerman di hutan Bourlon
Manfred von Richthofen adu nyengeh dengan Leutnant der Reserve Hans Klein, pimpinan Jasta 10, yang dianugerahi kesuksesan tanggal 30 November 1917. Dia menembak jatuh sebuah balon observasi Inggris di barat Cambrai yang menjadi kemenangannya yang ke-22, dan di hari yang sama dia mendapat kabar bahwa Kaiser telah menganugerahinya dengan Pour le Mérite
Meskipun cuaca makin memburuk dari waktu ke waktu, Manfred von Richthofen dan rekan-rekannya tetap terbang demi menyongsong musuh. Foto ini memperlihatkan saat dia bersiap-siap tinggal landas di Moorsele, Belgia. Seringkali dia terbang bersama para pilot baru, dan pilot-pilot muda ini begitu terkesan ketika mengetahui bahwa sang legenda ini, yang namanya berada di tiap bibir orang Jerman, begitu bersahaja dan tak tampak sedikitpun roman ‘selebritis’ dalam segala kesehariannya! Dia selalu menyempatkan berkumpul dengan anakbuahnya selepas tugas dan selalu siap memberikan pertolongan manakala dibutuhkan
Nongol dalam foto bersama sang legenda Red Baron merupakan sebuah kehormatan besar bagi para pilot. Foto ini diambil di Avesnes-le-Sec awal tahun 1918 dan kemudian beredar luas sebagai kartupos Sanke no.606. Dari kiri ke kanan (mengelilingi Manfred von Richthofen): Feldwebelleutnant Friedrich Schubert; Leutnant der Reserve Siegfried Gussmann; Leutnant Werner Steinhäuser; Leutnant Hans Karl von Linsingen; Leutnant Karl Esser; Leutnant Hans-Georg von der Osten; Leutnant Eberhard Mohnike; Leutnant Friedrich-Wilhelm Lübbert; Oberleutnant Hans-Helmuth von Boddien; dan Vizefeldwebel Edgar Scholz. Kecuali Schubert, yang ditugaskan di Jasta 6, yang lainnya berasal dari Jasta 11. Jangan kira bahwa menjadi anak buah dari Red Baron itu gampang! Manfred hanya mengharapkan yang terbaik dari pilot-pilot di bawah komandonya, dan sekali saja dia melihat ketidaksiapan atau ketidaksungguhan dari salah seorangnya, maka dipastikan si ‘oknum’ tersebut akan tersingkir cepat atau lambat!
Sementara masalah yang menimpa pesawat triplane Fokker mendapat pengevaluasian lebih lanjut oleh Komisi Udara, maka perusahaan lain berlomba-lomba mengisi kekosongan pesawat pemburu pilihan nomor satu Jerman. Tanggal 12 Desember 1917 Manfred von Richthofen melapor ke Pfalz Flugzeugwerke (pabrik pesawat terbang) di Speyer am Rhein untuk mengujicoba prototipe pesawat triplane terbaru perusahaan tersebut. Pendiri dan pemilik perusahaan Alfred Everbusch berdiri di belakang Manfred (yang duduk di kokpit) sambil memberikan komentar-komentar yang diperlukan. Pesawat Pfalz Dr.I yang ditenagai mesin Siemens-Halske Sh III ini kemudian tidak lulus ujicoba. Dari muka kusut yang ditunjukkannya kepada fotografer, Manfred mungkin menyadari bahwa untuk sementara waktu dia harus puas dengan pesawat Albtaros D.V dan Pfalz D.III yang dipakai oleh JG 1!
Begitu banyak kartupos yang beredar masa itu yang memperlihatkan sosok sang Rittmeister pahlawan, Manfred von Richthofen. Termasuk di antaranya adalah kartupos di atas yang memperlihatkan Manfred dengan seragam resimen Uhlan-nya. Foto semacam inilah yang sering dibawa-bawa oleh ajudan JG 1, Oberleutnant Karl-Heinrich Bodenschatz (nantinya menjadi General der Flieger Luftwaffe zaman Nazi Jerman), manakala dia sibuk mencari suplai perlengkapan serta makanan tambahan untuk unitnya. Foto ini dibawa bukan sebagai jimat, tapi untuk diberikan kepada para perwira bagian suplai atau petugas bersangkutan lain manakala permintaan Bodenschatz tidak dipenuhi. Dan, seperti yang Bodenschatz katakan sendiri dalam catatan harian perang JG 1 yang diterbitkan tahun 1935, foto bertandatangan asli Manfred ini seringkali lebih ‘ampuh’ dibandingkan dengan uang, dan sang ajudan bisa dengan tenang kembali ke pangkalannya dengan membawa suplai yang dibutuhkan!
Saat musim dingin 1917/1918 membuat operasional JG 1 menjadi terhambat, Manfred von Richthofen kembali ke unitnya dengan terbang dari pabrik Pfalz tanggal 20 Desember 1917. Disana dia dan Lothar dengan senang hati menyambut kedatangan ayahnya, Major Albrecht Freiherr von Richthofen, dan menghabiskan natal bareng di markas JG 1. Ini adalah saat terakhir ketiga manusia tersebut berkumpul bersama. Major Albrecht dijuluki sebagai ‘Fliegervater’ (ayah para penerbang) karena kedua anaknya yang menjadi pilot pahlawan, dan juga karena putra ketiganya, Karl Bolko, sedang menjalani pelatihan terbang di Institut Kadet Wahlstatt. Selain itu, di usianya yang sudah mencapai 58 tahun Major Albrecht masih sering terbang saat dalam kunjungan ke anak-anaknya. BTW, Jumlah kemenangan Manfred dan Lothar apabila digabungkan mencapai 120!
Salju, kabut dan angin membuat berkurangnya aktifitas udara di front depan. Masa ini dimanfaatkan oleh Manfred von Richthofen untuk berfoto bersama para anggota lama dan baru Jagdgeschwader 1, dengan banyak di antaranya merupakan pilihan pribadi sang Kommandeur. Manfred memang sudah lama tidak mendapatkan pilot-pilot barunya melalui ‘saluran resmi’, melainkan mencari langsung ke sekolah-sekolah penerbangan dan Jagdstaffel lain. Tentu saja para pilot baru ini bangga luar biasa bila Manfred memilih mereka untuk masuk ke unitnya, JG 1! Duduk dari kiri ke kanan: Leutnant der Reserve Karl Hertz, Jasta 4 (KiA 9 Mei 1918); Leutnant der Reserve Robert Tüxen, Jasta 6; Oberleutnant Hans-Helmuth von Boddien, Jasta 11; Rittmeister Manfred von Richthofen, JG I (KiA 21 April 1918); Leutnant der Reserve Hans Klein, Jasta 10; Oberleutnant Kurt-Bertram von Döring, Jasta 4; Oberleutnant Wilhelm Reinhard, Jasta 6 (KiC 3 Juli 1918); Leutnant Lothar von Richthofen, Jasta 11; dan Leutnant der Reserve Konstantin Krefft, JG I. Berdiri dari kiri ke kanan: dua pilot tak dikenal; Leutnant der Reserve Justus Grassmann, Jasta 10; tak dikenal; Leutnant der Reserve Max Kühn, Jasta 10; tak dikenal; Leutnant der Reserve Alois Heldmann, Jasta 10; Vizefeldwebel Adam Barth, Jasta 10 (KiA 30 Januari 1918); dan tak dikenal
Manfred von Richthofen dan adiknya Lothar berdiri di latar belakang dalam foto buram yang dimuat dalam koran terbitan saat itu yang memperlihatkan perundingan damai antara Jerman dan Rusia di Brest-Litovsk tanggal 4 Januari 1918. Pihak Jerman (duduk sebelah kiri) dipimpin oleh Panglima pasukan Jerman di Front Timur, Prince Leopold of Bavaria, sementara pihak Rusia dipimpin oleh Anastasia Bitsenko (duduk ketiga dari kanan) dari kaum Bolsewik
Pada pertengahan Januari 1918 Manfred von Richthofen berfoto bersama para pilot pemburu terkemuka Jerman di fasilitas pengujian udara Adlershof yang terletak di pinggiran Berlin. Dari kiri ke kanan: Leutnant Erich Löwenhardt (Jasta 10); Oberleutnant Bruno Loerzer (komandan Jasta 26); Manfred von Richthofen; Hauptmann Schwarzenberger (perwira staff); Leutnant der Reserve Hans Klein; dan perwira staff lainnya. Mereka berada disana untuk mengujicoba pesawat-pesawat keluaran terbaru yang akan dijadikan sebagai pesawat pemburu utama Jerman di tahun 1918. Sekitar 28 pabrikan mengikutsertakan pesawatnya dalam acara ini, termasuk di antaranya adalah AEG, Albatros, Aviatik, Fokker, LFG Roland, Pfalz, Rumpler, Schütte-Lanz dan Siemens-Schuckert
Dalam acara ujicoba di Adlershof pertengahan Januari 1918, Manfred von Richthofen jarang ‘dibiarkan’ sendirian. Selalu ada para pengagum dan perwira staff yang mengikutinya kemanapun dia pergi, termasuk Anthony Fokker yang berada paling kiri dalam foto di atas. Dalam satu kesempatan berhujan Manfred berhasil ‘lolos’ dan menyempatkan diri untuk mengunjungi galeri seni Schulte di Berlin sambil mengenakan jubah perwira staff dengan kerah besar yang menutupi wajahnya. Disana dia lama menatap lukisan dirinya di atas pesawat yang dibuat oleh Fritz Reusing dengan judul “Rittmeister Freiherr von Richthofen”. Seorang pria tua lalu berdiri di sebelahnya dan ikut mengagumi lukisan tersebut. Manfred kemudian dengan sopan menanyakan, “Maaf, tapi ada orang yang mengatakan pada saya bahwa saya punya kemiripan dengan tokoh di lukisan tersebut. Bagaimana menurut anda?” Orang tua itu mengenakan kacamatanya, menatap lukisan lalu menatap Manfred sebelum akhirnya berkata, “Hmmm... sebaiknya anda melupakan perkataan teman anda. Anda sama sekali tidak mirip...”
Pada tanggal 13 Januari 1918 sebuah pesawat triplane Fokker Dr.I 144/17 ‘G.125’ dari Jasta 11 jatuh ke tangan pasukan Inggris secara utuh setelah terkena tembakan senjata anti serangan udara di dekat Cambrai. Pilotnya, Leutnant Eberhard Stapenhorst, diangkut ke Inggris tanggal 30 Januari 1918. Selama bertahun-tahun, foto Fokker Dr.I 144/17 di atas diklaim sebagai milik Red Baron, dan dia dipamerkan di Agricultural Hall di London selama beberapa waktu sebelum dipreteli
Dua bersaudara Richthofen, Manfred (kiri) dan Lothar, berfoto di depan pesawat Fokker Dr.I. Pesawat jenis ini masih dipandang secara ‘hati-hati’ oleh para pilot Jerman karena banyaknya kasus masalah mesin dan struktur yang menimpanya. Dua pilot Jerman terkemuka, Leutnant Hans Joachim Wolff dan Leutnant Eberhard Mohnike, mendapat luka-luka serius ketika sedang terbang menggunakan pesawat ini
Manfred von Richthofen berfoto bersama para komandan Staffel yang berada di bawah komandonya, musim semi 1918. Dari kiri ke kanan: Leutnant der Reserve Kurt Wüsthoff, Jasta 4; Oberleutnant Wilhelm Reinhard, Jasta 6; Manfred von Richthofen; Leutnant Erich Löwenhardt, Jasta 10; dan Leutnant Lothar von Richthofen, Jasta 11. Wüsthoff menggantikan Leutnant der Reserve Hans Klein sebagai komandan Jasta 4 yang terluka parah dalam peristiwa tanggal 19 Februari 1918. Dia tidak disukai oleh rekan-rekannya karena bermuka tebal serta sering melaporkan kemenangan tanpa cek dan recek dulu. Karena itulah tak lama kemudian Manfred mencopotnya tanggal 16 Maret 1918 dan menggantinya dengan Leutnant der Reserve Hans-Georg von der Osten. BTW, Dalam foto ini Manfred berpenampilan sederhana dengan seragam tanpa embel-embel serta ketiadaan Pour le Mérite di lehernya!
Pada tanggal 13 Maret 1918 Manfred von Richthofen menerima berita mengejutkan bahwa adik tercintanya, Lothar, telah tewas dalam sebuah dogfight. Dia langsung buru-buru terbang ke tempat pesawat Lothar hancur di Ayreux. Disini dia terlihat sedang duduk di kokpit pesawat Albatros D.V sambil mengenakan jaket bulu tebal dan bersiap untuk menanyakan tentang kabar adiknya di markas Jasta 5 yang terletak di lapangan udara Boistrancourt. Pada pagi hari di hari yang sama Manfred mencetak kemenangan udaranya yang ke-65. Ternyata adiknya 'hanya' menderita luka serius sehingga harus dirawat di rumah sakit selama empat bulan
Sebagai persiapan untuk ofensif musim panas Jerman di bulan Maret 1918, Manfred von Richthofen berkeliling ke unit-unit udara dengan mobil dinasnya (seperti tampak dalam cuplikan film di atas) demi membentuk sebuah tim tempur udara yang efektif dan mencari pengganti Lothar sebagai komandan sementara Jasta 11. Disinilah dia bertemu dengan Ernst Udet dari Jasta 36 yang diajaknya untuk bergabung dengan Geschwader-nya. Udet langsung mengiyakan, dan tentu saja! Banyak sekali Jagdstaffel yang bagus dan meraih nama dalam pertempuran, tapi hanya ada satu Jagdgeschwader Richthofen! Saat itu Udet sendiri telah meraih fliegerabschüsse ke-20 dan sudah direkomendasikan sebagai peraih Pour le Mérite
Selain Udet, Manfred von Richthofen juga mencomot Hauptmann Richard Flashar dari Jasta 5 untuk bergabung dengan JG 1. Flashar merupakan mantan rekan Manfred fi Kampfstaffel 8 dan telah menjadi komandan Jasta 5 dari sejak bulan Juli 1917. Di dalam unitnya bergabung dua orang Letnan peraih Pour le Mérite, Otto Könnecke dan Fritz Rumey. Foto di atas memperlihatkan saat Manfred (kiri) mengunjungi pangkalan Jasta 5. Seperti biasa, para pilot disana tampak terpesona dengan tamunya yang merupakan legenda hidup Jerman, sementara Flashar sendiri (kedua dari kanan) adem ayem saja kelihatannya!
Manfred von Richthofen (keempat dari kanan) tampak sedang santai ngadu huntu dengan anak-buahnya, sementara di latar belakang kita bisa melihat tenda Nissen rampasan dari Inggris. Tenda ini bisa dibongkar-pasang dan ikut berpengaruh terhadap mobilitas JG 1 serta, secara tidak langsung, terhadap kesuksesannya. Seperti yang dikenang oleh Ernst Udet: “Staffel lain biasa bermarkas di kastil atau desa-desa kecil 20 atau 30 km di belakang front sementara kami jarang berada kurang dari 20 km dari front terdepan. Staffel lain melakukan misi dua atau tiga kali dalam sehari sementara kami lima kali. Staffel lain akan membatalkan misi apabila cuaca tidak mendukung sementara kami hampir selalu beroperasi dalam kondisi cuaca apapun!”
Dokumen laporan tempur JG 1 per-tanggal 18 Maret 1918 yang ditandatangani oleh Rittmeister Manfred von Richthofen. Laporan ini berisi detail pertempuran udara yang dijalani oleh JG1 di tanggal tersebut termasuk kemenangan udara ke-66 Manfred serta kemenangan terkonfirmasi pilot-pilot lainnya
Para anggota Jagdgeschwader Nr.1 berfoto bersama tanggal 18 Maret 1918. JG 1 terbentuk tanggal 23 Juni 1917 dan merupakan gabungan dari Jagdstaffel 4, 6, 10 dan 11. Dalam foto ini, dari kiri ke kanan: 1. ? ; 2.Leutnant Alfred Gerstenberg (Jasta 11); 3.Leutnant Otto von Breiten-Landenberg (Führer Jasta 11, 5 fliegerabschüsse); 4.Leutnant Hans Joachim Wolff (Jasta 11, 10 fliegerabschüsse); 5.Leutnant Friedrich Friedrichs (Jasta 10, 21 fliegerabschüsse); 6.Leutnant Erich Just (Jasta 11, 6 fliegerabschüsse); 7.Leutnant Max Kühn (Jasta 10, 1 fliegerabschüsse); 8.Leutnant Siegfried Gussmann (Jasta 11, 5 fliegerabschüsse); 9.Leutnant Edgar Scholz (Jasta 11, 6 fliegerabschüsse); 10.Oberleutnant Karl Bodenschatz (Adjudant JG 1); 11.Leutnant Dr. Ewald von Conta (Jasta 11); 12.Oberleutnant Erich Löwenhardt (Führer Jasta 10, 54 fliegerabschüsse); 13.Leutnant Hans Weiss (Jasta 10, 16 fliegerabschüsse); 14.Rittmeister Manfred Freiherr von Richthofen (Führer des Jagdgeschwaders, 80 fliegerabschüsse); 15.Hauptmann Wilhelm Reinhard (Führer Jasta 6, 20 fliegerabschüsse); 16.Leutnant Paul Wenzel (Jasta 6, 10 fliegerabschüsse); 17.Leutnant Johann Janzen (Jasta 6, 13 fliegerabschüsse); 18.Leutnant Franz Hemer (Jasta 6, 18 fliegerabschüsse); 19.Leutnant Hans Kirschtein (Jasta 6, 27 fliegerabschüsse); 20.Leutnant Robert Tüxen (Jasta 6, 2 fliegerabschüsse); 21.Leutnant Georg Wolff (Jasta 6); 22.Leutnant Heinz Graf von Gluszewski (Jasta 4, 2 fliegerabschüsse); 23.Leutnant Hermann Bahlmann (Jasta 4, 1 fliegerabschüsse); 24.Leutnant Hans-Georg von der Osten (Jasta 4, 5 fliegerabschüsse); 25.Leutnant Viktor von Pressentin genannt von Rautter (Jasta 4, 15 fliegerabschüsse); 26. ? ; 27. ? ; 28.Leutnant Heinrich Dreckmann (Jasta 4, 11 fliegerabschüsse). Total kemenangan yang diraih oleh orang-orang yang nongtot dalam foto ini adalah 328 Abschüsse ingesamt!
Manfred von Richthofen (keempat dari kanan) dan 9 orang anakbuahnya dalam acara kunjungan fasilitas baru Jagdstaffel mereka di Awoingt tanggal 20 Maret 1918, satu hari sebelum ofensif besar terakhir Jerman dalam Perang Dunia I dimulai. Lokasi baru ini berada di pinggir jalan dari Cambrai ke La Cateau. Berdiri dari kiri ke kanan: Vizefeldwebel Paul Aue; Leutnant der Reserve Julius Bender; Leutnant der Reserve Julius Grassmann; Oberleutnant Erich Löwenhardt; Oberleutnant Karl Bodenschatz; Leutnant der Reserve Max Kühn; Manfred von Richthofen; Oberleutnant Hugo Schäfer; Leutnant der Reserve Fritz Friedrichs; Gefreiter Alfons Nitsche. Yang mengejutkan disini adalah pose Manfred yang sedang merokok! Dia sangat menjaga betul imagenya agar bisa menjadi panutan bagi anak muda Jerman di masa perang yang penuh cobaan, dan jarak yang tercipta antara fotografer dan obyeknya serta ekspresi Manfred mengindikasikan bahwa foto ini diambil tanpa sepengetahuan dia!
Seperti umumnya para politisi di segala zaman, para anggota Reichstag (Parlemen Jerman) juga berkesempatan mengunjungi front depan di fase pertama ofensif Jerman di bulan Maret 1918, dengan tak lupa berfoto bersama sang legenda Manfred von Richthofen (tengah). Demi formalitas saja Manfred ngobrol-ngobrol dengan mereka karena dia tahu acara kunjungan ini hanya sekedar demi mendongkrak popularitas para anggota dewan tersebut. Malamnya, niat jahil Manfred dan para anggota JG 1 muncul: dia sengaja melepaskan tembakan pistol kosong dari tempat tersembunyi di depan barak tempat menginap anggota dewan. Tak lama langsung saja para politisi yang terhormat ini blingsatan keluar masih dalam pakaian tidur mereka! Ketika dikatakan bahwa baru saja ada serangan udara, mereka kembali ke barak dengan masih takut-takut, dan pagi-pagi sekali langsung berangkat pulang, begitu terburu-buru sehingga tanpa sarapan terlebih dahulu! Tak terbayangkan seperti apa kerasnya tertawa Manfred dan anakbuahnya!
Beberapa komandan udara dihormati melalui rasa takut. Yang lainnya, seperti Manfred von Richthofen, dihargai karena kualitasnya yang mengagumkan. Baik ketika sedang menjahili para politisi atau ketika sedang bermain-main dengan anjing peliharaannya Moritz (seperti yang tampak dalam foto yang diambil di lapangan udara Léchelle ini), Manfred memancarkan kharisma dan kehangatan yang membuat orang di sekitarnya kelak mengenangnya dengan penuh rasa cinta dan kebanggaan
Royal Air Force Inggris didirikan tanggal 1 April 1918 sebagai hasil penyatuan antara Royal Flying Corps dan Royal Naval Air Service. Di tanggal yang sama, Jasta 11 mencatat fliegerabschüsse ke-250, sebuah Sopwith F.1 Camel yang ditembak jatuh di Sailly-Laurette oleh Leutnant Hans Joachim Wolff. Keesokan harinya, tanggal 2 April 1918, Manfred von Richthofen mencetak sejarahnya sendiri: kemenangan ke-75! Surat kabar di kampung halamannya, Breslauer Zeitung, mengangkat peristiwa tersebut dalam halaman pertama edisi 3 April 1918 seperti yang terlihat di atas
Empat hari kemudian, 6 April 1918, Manfred von Richthofen memimpin penerbangan Jasta 11 di atas wilayah Somme dengan pesawat ini, Fokker Dr.I 127/18. Mereka berpapasan dengan pesawat-pesawat Inggris yang sedang sibuk menjatuhkan bom dan menembaki pasukan darat Jerman di timur-laut Villers-Brettoneux. Manfred menyasar salah satu pesawat musuh dan berhasil menembak jatuhnya sehingga menjadi kemenangan udaranya yang ke-76
Pada tanggal 20 April 1918 Manfred von Richthofen menembak jatuh dua buah pesawat Sopwith F.1 Camel hanya dalam waktu beberapa menit dan menjadi skor kemenangan no.79 dan 80. Seperti biasa, setelah balik ke pangkalan Manfred membuat laporan pertempuran yang kemudian menjadi laporan terakhirnya
Pada hari minggu tanggal 21 April 1918 Rittmeister Manfred von Richthofen bersiap-siap untuk apa yang nantinya menjadi penerbangan terakhirnya (hik.. hik...). Seperti biasa, dia “bermesraan” dulu dengan anjing peliharaan kesayangannya, Moritz. Sesungguhnya dari sejak kemenangannya ke-75 ayahnya, yang begitu khawatir, telah meminta dengan sangat agar Manfred berhenti bertempur di garis depan dan mencukupkan diri dengan apa yang telah diraihnya. Apa yang dikatakan Manfred dalam bukunya “Der Rote Kampfflieger” bisa menjadi jawaban atas ke-keukeuhannya: “Aku akan sangat menderita bila kini, setelah terbebani dengan semua kemenangan dan medali yang telah kuraih, aku menjadi seorang ‘pensiunan’ demi untuk menjaga martabat serta hidupku yang berharga untuk negara, sementara di lain pihak para prajurit biasa tetap bertempur mempertaruhkan nyawa mereka di parit-parit...”
Pada saat pertama kedatangannya di markas JG 1, pesawat Fokker Dr.I 425/17 milik Manfred von Richthofen masih berpanmpilan “fresh” dengan cat merah yang di seluruh badan yang baru dibalurkan. Tapi di penerbangan terakhir sang Red Baron, cat itu telah mulai pudar seperti tampak dalam foto di atas. Misi terakhir Manfred berlangsung tanggal 21 April dan dia mulai terlibat dalam dogfight dengan pesawat-pesawat Inggris jam 10.30 pagi di atas Somme dekat Corbie
Dalam pertempuran tersebut, Manfred mengincar pesawat Sopwith F.1 Camel yang dipiloti oleh Second Lieutenant Wilfrid L. May sebagai targetnya. “Wop” May adalah orang Kanada berusia 23 tahun dan berasal dari No.209 Squadron, dan foto di atas memperlihatkan saat dia sedang mengikuti pelatihan terbang tahun 1917. Misi yang mempertemukannya dengan Red Baron merupakan misi pertamanya dan dia sudah diwanti-wanti agar jangan dulu terjun dalam pertempuran melainkan hanya mengamati saja dari kejauhan. Dasar bandel, melihat pesawat Jerman datang dia langsung menyerbu ke salah satu pesawat dan menembak dengan senapan mesinnya. Sialnya, senapannya malah macet! Dia langsung balik lagi untuk pulang, tapi kini di belakangnya mengejar sebuah pesawa Jerman, yang tidak lain adalah pesawatnya Red Baron! Pengejaran seru pun dimulai, yang berlangsung dari wilayah Jerman ke wilayah Sekutu. Tiba-tiba May melihat pesawat pengejarnya oleng dan menabrak daratan! Dia melihat ternyata di belakang pesawat Jerman ada satu lagi pesawat rekannya. May menarik nafas lega dan pulang ke pangkalan tanpa pernah tahu identitas pesawat Jerman yang memburunya tersebut
Captain A. Roy Brown, sesama orang Kanada yang menjadi leader ‘A’ flight dari no.209 Squadron. Dia telah mengantongi 9 kemenangan terkonfirmasi sampai tanggal 21 April 1918. Beberapa sejarawan menganggap bahwa dialah orang yang paling bertanggungjawab atas tewasnya Manfred von Richthofen saat dia mencoba menolong rekannya “Wop” May yang sedang dicocor oleh Red Baron. May sendiri mengakui bahwa Brown lah yang telah menembak jatuh pesawat Fokker triplane milik Manfred von Richthofen, dan pesawat tersebut jatuh ke wilayah yang dikuasai oleh pasukan Australia
Rittmeister Manfred von Richthofen terbunuh tanggal 21 April 1918 pukul 11.45 waktu Jerman (satu jam lebih cepat dibandingkan dengan waktu Sekutu). Dia dan pesawatnya jatuh ke sebuah kebun lobak merah di Vaux-sur-Somme yang berada di pinggir jalan antara Corbie ke Bray, dan telah berada dalam keadaan tak bernyawa ketika pasukan Australia datang ke TKP. Jenazahnya lalu diangkat dari pesawat dan dibawa ke lapangan udara Poulainville, yang terletak 15 kilometer jauhnya dari situ, untuk diperiksa dan kemudian diambil fotonya. Lapangan udara tersebut menjadi markas bagi No.3 Squadron, Australian Flying Corps, sebuah unit R.E.8 yang pada pagi harinya tercatat telah bertempur melawan pesawat-pesawat Fokker triplane Jerman dan mengklaim turut bertanggungjawab atas tewasnya sang Red Baron yang legendaris
Meskipun saat pesawat Red Baron menyentuh bumi dia dalam keadaan utuh dan hanya mengalami sedikit kerusakan, tapi tak lama kemudian pesawat tersebut telah “compang-camping” dipereteli oleh para pemburu suvenir! Selain klaim oleh pilot Kanada Captain A. Roy Brown, terdapat klaim lain dari pihak Australia yang mengatakan bahwa pesawat Manfred von Richthofen ditembak jatuh oleh senjata anti serangan udara dari bawah. Klaim ini diterima oleh komanda pasukan udara Jerman Jenderal Ernst von Hoeppner dan juga didukung oleh Captain N. C. Graham dan Lieutenant G.E. Downs, perwira AD yang diperbantukan di RAF, yang memeriksa jenazah Manfred dan menyimpulkan: “luka masuknya berada di bagian kanan dada persis di dekat ketiak sementara luka luarnya sedikit lebih ke atas. Dari bentuk lukanya kami bisa menyimpulkan bawa peluru menyerempet bagian dada dari kanan ke kiri, karenanya senjata yang menembakkan peluru ini pastinya datang dari bagian kanan bawah dan bukan atas atau sejajar, serta berasal sedikit di belakang...”
Para pilot dan observer dari No.3 Squadron berkumpul di sekitar sisa-sisa badan dan ekor pesawat Manfred von Richthofen. Dari kiri ke kanan: Lt. C.W. Gray (observer); Lt. F.J. Mart (observer); Lt. N. Mulroney (pilot); Lt. A.V. Barrow (observer yang terbang dengan Lt. Garrett di atas Le Hamel di pagi tanggal 21 April 1918); Lt. T.I. Ballieu (pilot); Lt. R.W. Kirkwood (observer); Lt. A.I.D. Taylor (observer); Lt. A.E. Grigson (pilot); dan Lt. M. Sheehan (pilot). Yang lainnya tidak teridentifikasi
Tak lama setelah pemeriksaan singkat atas luka di tubuh sang legenda, jenazah Manfred von Richthofen dibaringkan di atas sebuah besi berombak seperti yang tampak dalam gambar. Di sore hari tanggal 21 April 1918 tak henti-hentinya berdatangan para pilot dari Inggris, Australia dan Kanada yang hadir di hanggar untuk menyampaikan penghormatan terakhir mereka kepada mantan musuh yang gagah berani, sementara prajurit lain datang hanya demi untuk membawa pulang benda apapun yang melekat di tubuh Manfred!
Pada siang hari tanggal 22 April 1918, hanya berselang 10 hari sebelum ulang tahun Manfred von Richthofen yang ke-26, sang legenda dikebumikan dengan penghormatan militer penuh di sebuah kompleks kuburan lokal di Bertangles yang bersebelahan dengan lapangan udara yang digunakan oleh No.209 Squadron. Enam orang pilot Australia, semuanya berpangkat Kapten, menjadi pembawa peti jenazah hitam yang membawa tubuh Manfred. Termasuk yang hadir adalah Major W. Sholto Douglas (nantinya menjadi Marsekal di Royal Air Force dengan nama Lord Douglas of Kirtleside) yang pada saat itu menjadi komandan No.84 Squadron
No.3 Squadron, Australian Flying Corps, menyumbangkan sebuah baling-baling R.E.8 yang sudah tak terpakai untuk dijadikan sebagai salib penanda kuburan Manfred von Richthofen. Pemilihan pesawat R.E.8 ini sungguh tepat karena Manfred pernah menembak jatuh tujuh buah pesawat dari jenis tersebut dan menyimpan rasa hormat terhadap para pilotnya. Sayangnya, hanya beberapa hari setelah upacara penguburan, baling-baling penanda tersebut dicuri orang dan tidak pernah ketahuan lagi dimana rimbanya!
Kebanyakan “suvenir” dari Manfred von Richthofen berkeliaran di kalangan prajurit-prajurit yang selamat dalam kancah Perang Dunia I, juga para keluarga dan koleganya. Selama bertahun-tahun benda-benda tersebut menjadi milik para kolektor pribadi dan, manakala dia nongol dalam ajang lelang di masa sekarang, maka benda-benda tersebut terjual dengan harga yang amit-amit mahalnya! Beberapa benda terlalu berat untuk dicopot dengan mudah di tahun 1918, seperti halnya mesin rotari Oberursel UR II yang terpasang di pesawat Manfred pada saat kematiannya. Mesin tersebut saat ini menjadi koleksi Imperial War Museum di London dan tercatat sebagai bagian terbesar pesawat Manfred yang masih utuh!
Untuk mengatasi udara dingin di ketinggian, banyak penerbang zaman Perang Dunia Pertama yang mengenakan jaket tebal dan sepatu berbahan bulu binatang. Manfred von Richthofen pun mempunyai sepasang sepatu bulu semacam itu dengan tampilan yang menarik. Salah satunya kini disimpan di Australian War Memorial di Canberra
Kursi pesawat Fokker Dr.I 425/17 diberikan sebagai trofi untuk Captain A. Roy Brown, orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas tewasnya Manfred von Richthofen. Brown kemudian balik menghibahkannya kepada Royal Canadian Military Institute di Toronto, Kanada. Bagian besar lapisan badan pesawat yang memajang simbol nasional Jerman juga berhasil selamat, dengan kebanyakannya berakhir di musium-musium Australia dan Kanada. Salah satu bagian berada di tangan kolektor pribadi yang mendapatkannya dalam acara lelang yang digelar di tahun-tahun belakangan
Dibutuhkan waktu tiga hari untuk koran-koran Jerman dalam memberitakan kematian Red Baron. “Schlesische Zeitung” di Breslau memajang berita ini dalam headline halaman pertama yang terbit tanggal 24 April 1918. Artikel serupa juga muncul di koran-koran nasional dan internasional, serta tentunya yang paling besar liputannya adalah di media kampung halaman Manfred von Richthofen, yang memasang headline besar berjudul “Der Heldentod Richthofens” (Kematian Heroik Richthofen)
Pada peringatan kelahiran ke-26 Manfred von Richthofen yang berlangsung pada tanggal 2 Mei 1918, sang pahlawan yang telah gugur mendapat penghormatan dengan digelarnya Upacara khusus yang diadakan di Garnisonkirche (Gereja Garnisun) di Berlin. Dengan absennya peti mati, maka yang ada adalah sebuah catafalque (panggung peti mayat) yang memajang Ordenskissen (bantal medali) berisi medali dan penghargaan yang telah diraih oleh Manfred. Tak lama setelah perang usai sisa-sisa jenazah Manfred dipindahkan dari Prancis ke pemakaman militer untuk para pahlawan Jerman yang telah gugur di Fricourt, sebelah timur Albert. Tidak cukup sampai disitu, pada tanggal 14 November 1925 makamnya dibongkar lagi dan, dua hari kemudian, dikirimkan melalui jalur yang berliku melalui kota-kota Jerman sampai ke Berlin. Disini peti matinya diiringi oleh delapan orang penjaga kehormatan yang semuanya merupakan penerbang peraih Pour le Mérite seperti terlihat di foto atas. Mereka mengiringi jenazah Manfred dalam iring-iringan melalui ibukota Negara menuju Gnadenkirche (Gereja Pengampunan)
Para peraih Pour le Mérite mengangkat sisa-sisa jenazah Manfred von Richthofen sementara ibunya (Freifrau von Richthofen) mengikuti dengan sedih dari belakang. Aki-aki yang memakai pickelhaube adalah Presiden Paul von Hindenburg, mantan Marsekal terkemuka Jerman dalam Perang Dunia Pertama
Pada tanggal 19 November 1925 peti mati Manfred von Richthofen disemayamkan di Gnadenkirche. Di atasnya diletakkan pedang Uhlan dan Tschapka (helm baja Uhlan). Di depan peti mati terpajang Salib kayu yang sampai saat itu menjadi penanda makam Manfred di Fricourt. Salib tersebut hanya bertuliskan namanya serta nomor 53091. Para penjaga kehormatan adalah termasuk mereka yang pernah menjadi perwira di JG 1 serta Ulanen-Regiment Nr.1. Di sepanjang hari itu warga Berlin berbondong-bondong mendatangi gereja dalam antrian panjang demi memberikan penghormatan terhadap sang pahlawan. Para pilot yang terlihat dalam foto ini adalah Leutnant der Reserve Josef Veltjens (kiri) yang merupakan mantan komandan JG II, serta Leutnant der Reserve Kurt Wüsthoff (kanan) yang pernah dicopot Manfred dari jabatannya sebagai komandan Jasta 4
Masih di tempat yang sama, tapi kini komposisi penjaga kehormatannya berubah. Peraih Pour le Mérite di sebelah kanan adalah Rittmeister Karl Bolle yang merupakan jagoan udara dalam Perang Dunia Pertama dengan 36 fliegerabschüsse. Dia kemudian menjadi penasihat Luftwaffe dalam Perang Dunia II. Yang unik dari dia adalah ini: Bolle meraih Pour le Mérite tanggal 28-08-1918 setelah meraih 28 kemenangan. Serba 8 beibeh!
Peti jenazah Manfred von Richthofen dikeluarkan dari Gnadenkirche untuk kemudian ditempatkan di sebuah kereta pembawa artileri. Kini iring-iringan akan diberangkatkan menuju kompleks pemakaman Invalidenfriedhof. Tradisi mengusung jenazah pahlawan militer dengan kereta artileri terus berlanjut sampai Perang Dunia II dan setelahnya. Sebagai contohnya adalah upacara pemakaman Marsekal legendaris Erwin Rommel seperti terlihat DISINI
Dalam perjalanan menuju Invalidenfriedhof: 1.Ibu Kunigunde Freifrau von Richthofen; 2.Adik Karl-Bolko Freiherr von Richthofen; 3.Präsident Paul von Hindenburg; 4.Leutnant der Reserve Hans Klein; 5.Leutnant Otto Könnecke; 6.Charakter als Hauptmann Oskar Freiherr von Boenigk; 7.Charakter als Major Alfred Keller; 8.Leutnant der Reserve Kurt Wüsthoff; dan 9.Rittmeister Karl Bolle. Sekedar tambahan: Peraih Pour le Mérite di antara Freifrau von Richthofen (1) dan Karl-Bolko (2) adalah Hauptmann Franz Walz; Peraih Pour le Mérite di depan Keller (7) dan sejajar dengan Von Boenigk (6) adalah Leutnant Heinrich Bongartz; Peraih Pour le Mérite di sebelah kanan Könnecke (5) adalah Leutnant Paul Bäumer; Peraih Pour le Mérite di sebelah kanan Wüsthoff (8) yang mukanya tertutup adalah Leutnant der Reserve Josef "Seppl" Veltjens; Peraih Pour le Mérite di belakang Bolle (9) yang nengok ke peti mati adalah Hauptmann Bruno Loerzer; Peraih Pour le Mérite yang berada di depan Bolle (9) adalah Hauptmann Hermann Köhl
Peti mati Manfred von Richthofen diangkat oleh para penjaga kehormatan memasuki Invalidenfriedhof. Yang tampak dalam foto ini: 1.Charakter als Major Alfred Keller; 2.Leutnant der Reserve Josef "Seppl" Veltjens; 3.Hauptmann Bruno Loerzer; 4.Leutnant Paul Bäumer; dan 5.Charakter als Hauptmann Oskar Freiherr von Boenigk. Sekedar tambahan: Peraih Pour le Mérite di sebelah kanan Loerzer (3) adalah Leutnant Julius Buckler, sementara yang berada di belakang Von Boenigk (5) adalah Leutnant Heinrich Bongartz
Presiden Paul von Hindenburg memberikan eulogi di depan kubur yang masih terbuka. Yang tampak dalam foto ini: 1.Paul von Hindenburg; 2.Hauptmann Franz Walz; 3.Leutnant Paul Bäumer; 4.Leutnant Emil Thuy; 5.Charakter als Hauptmann Oskar Freiherr von Boenigk; 6.Major Leo Leonhardy; 7.Charakter als Major Alfred Keller; dan 8.Rittmeister Karl Bolle
Lokasi kuburan Manfred von Richthofen di Invalidenfriedhof dalam foto yang diambil tahun 1925 (atas) dan 1931 (bawah). Invalidenfriedhof sendiri berada di Scharnhorststraße (Jalan Scharnhorst) sementara kuburan Manfred berada di Grabfeld F
Bagian paling penting dari upacara pemakaman tersebut yang kemudian dikembalikan kepada pihak keluarga adalah Ordenskissen milik Manfred von Richthofen (disini terlihat dipajangkan di musium keluarga di Schweidnitz). Upacara pemakaman kembali Manfred sendiri dihadiri oleh Generalfeldmarschall Paul von Hindenburg und von Beneckendorff, yang saat itu telah menjadi presiden Jerman. Pada tanggal 20 November 1925 peti matinya kemudian dibawa dalam iring-iringan serupa menuju ke Invalidenfriedhof (Kuburan Orang Cacat) yang selama ini menjadi lokasi pemakaman tradisional para pahlawan Jerman. Inilah yang kemudian menjadi tempat peristirahatan terakhir sang legenda Perang Dunia Pertama tersebut
- Preußisches Militär-Flugzeugführer-Abzeichen
- 1914 Eisernes Kreuz II. Klasse (23 September 1914)
- Ehrenbecher für den Sieger im Luftkampf (17 September 1916)
- 1914 Eisernes Kreuz I. Klasse (10 April 1916)
- Ritterkreuz des Königlichen Hausordens von Hohenzollern mit Schwertern (11 November 1916)
- Herzog-Carl-Eduard-Medaille mit Schwerterspange (30 Desember 1916)
- Pour le Mérite (12 Januari 1917), setelah kemenangan udaranya yang ke-16
- Ritterkreuz des Württembergischen Militärverdienstordens (13 April 1917)
- Ritterkreuz des Militär-St.-Heinrichs-Orden am (16 April 1917)
- Bayerischer Militärverdienstorden IV. Klasse mit Krone und Schwertern (29 April 1917)
- Ritterkreuz I. Klasse des Herzoglich Sachsen-Ernestinischen Hausordens mit Schwertern (9 Mei 1917)
- Bulgarien Militärorden für Tapferkeit IV. Klasse (12 Juni 1917)
- Österreichisches Feld-Pilotenabzeichen
- Österreichisches Orden der Eisernen Krone III. Klasse (8 Agustus 1917)
- Österreichisches Militärverdienstkreuz III. Klasse mit Kriegsdekoration
- Hamburg Hanseatenkreuz (22 September 1917)
- Lübeck Hanseatenkreuz (22 September 1917)
- Braunschweiger Kriegsverdienstkreuz II. Klasse (24 September 1917)
- Bremen Hanseatenkreuz (25 September 1917)
- Schaumburg-Lippe Kreuz für treue Dienste (10 Oktober 1917)
- Lippisches Kriegsverdienstkreuz II. Klasse (13 Oktober 1917)
- Kriegsehrenkreuz für heldenmütige Tat (23 Oktober 1917)
- Osmanisches Silberne Imtiyaz-Medaille (4 November 1917)
- Osmanisches Silberne Liakat-Medaille (4 November 1917)
- Osmanisches Eiserner Halbmond (4 November 1917)
- Roter-Adler-Orden III. Klasse mit Krone und Schwertern (6 April 1918)
- Hessische Tapferkeitsmedaille
- Verwundetenabzeichen (1918) in Schwarz
Keluarga Richthofen tinggal di Striegauer Strasse No.10 di Schweidnitz. Seusai Perang Dunia I jalan ini dinamai ulang sebagai Manfred-von-Richthofen-Strasse dan, dalam peringatan ke-15 kematiannya, keluarga sepakat menjadikan rumahnya sebagai musium pribadi yang terbuka untuk publik. Sekedar informasi, Albrecht Freiherr von Richthofen (ayahanda Manfred) meninggal pada tahun 1920 sementara Lothar Freiherr von Richthofen (adiknya yang sesama jagoan udara) menyusul dua tahun kemudian pada tahun 1922. Pengelola musium Richthofen jadinya adalah Freifrau von Richthofen (ibunda Manfred). Foto di atas memperlihatkan kartu pos yang berisi foto Manfred serta rumahnya dengan alamat lama (Striegauerstraße)
Dari sejak kemenangan udara pertamanya yang terkonfirmasi, Manfred von Richthofen mempunyai kebiasaan untuk memperingatinya melalui sebuah gelas perak kecil khusus yang dia pesan dari tukang perhiasan di Berlin dengan tambahan tulisan singkat mengenai data kemenangannya. Sebagai contoh, gelas pertama bertuliskan ‘1. Vickers 2. 17.9.16’ yang mengindikasikan kemenangan pertama yang diperolehnya atas sebuah pesawat Vickers dua kursi tanggal 17 September 1916. Gelas-gelas ini, bersama dengan ‘suvenir’ lain sebagai persembahan untuk ibu tercintanya Freifrau von Richthofen, dia kumpulkan di kamar rumah orangtuanya di Schweidnitz. Foto di atas diambil tahun 1933 oleh seorang jurnalis Inggris yang berkunjung ke kediamannya
Suvenir kemenangan yang diraih oleh Manfred von Richthofen tersimpan dengan rapi di sebuah kamar di rumah keluarganya di Schweidnitz yang nantinya menjadi musium. ‘Lampu gantung’ di atas dibuat dari mesin rotor hasil tangkapan. Di sebelah kiri adalah hasil prestasinya sebagai seorang pemburu yang “sebenarnya”: kepala rusa dan babi hutan. Yang paling kentara adalah potongan nomor seri pesawat yang berasal dari korban-korban Manfred. Dari kiri ke kanan, atas ke bawah: 6997 – kemenangan ke-18, Royal Aircraft Factory F.E.2b, No. 25 Squadron; A.1108 kemenangan ke-23, Sopwith 11/2-Strutter, No. 43 Squadron; 6580 - kemenangan ke-5, Royal Aircraft Factory B.E.12, No. 19 Squadron; 5841 - kemenangan ke-32, Royal Aircraft Factory B.E.2d, No. 13 Squadron; A.6382 – kemenangan ke-34, F.E.2d, No. 25 Squadron; 5986 - kemenangan ke-12, Airco D.H.2, No. 32 Squadron; A.3340 - kemenangan ke-36, Bristol F.2A, No. 48 Squadron; 7927 - kemenangan ke-13, D.H.2, No. 29 Squadron; 4997 - kemenangan ke-43, F.E.2b, No. 25 Squadron; 6580 - kemenangan ke-5 (disebutkan di atas); 6232 victory 26, B.E.2d, No.2 Squadron; 2506 - kemenangan ke-8, B.E.2c, No. 12 Squadron; A.2401 - kemenangan ke-33, Sopwith 11/2-Strutter, No. 43 Squadron; 6997 kemenangan ke-18 (disebutkan di atas); 6618 - kemenangan ke-4, B.E.12, No. 21 Squadron; N.5193 - kemenangan ke-16, Sopwith Pup, No. 8 Squadron, RNAS; 4997 - kemenangan ke-43 (disebutkan di atas); 5841 - kemenangan ke-32 (disebutkan di atas); 2506 kemenangan ke-8 (disebutkan di atas); 5986 - kemenangan ke-12, D.H.2, No. 32 Squadron; 9289(?) yang tak sesuai dengan satupun klaim Manfred; A.6382 - kemenangan ke-34 (disebutkan di atas); dan potongan lain dari 9289(?) yang misterius
Patung dada Kaiser Wilhelm II yang terbuat dari campuran pualam dan perunggu di Musium Richthofen di Schweidnitz. Patung ini merupakan hadiah ultah ke-25 yang diberikan oleh Kaiser langsung kepada Manfred von Richthofen tanggal 2 Mei 1917. Pada saat itu jumlah kemenangan sang Red Baron sudah mencapai 52, jadi 25:52!
Manfred von Richthofen menembak jatuh 60 pesawat musuh saat menerbangkan pesawat bersayap ganda Albatros. Yang terlihat disini adalah Albatros D.V 2059/17 yang merupakan satu-satunya pesawat Richthofen yang selamat sampai perang usai, dan dipamerkan di Zeughaus (Pabrik Senjata) Berlin. Peninggalan bersejarah ini kemudian hancur oleh serangan udara Sekutu dalam Perang Dunia II
Upacara peringatan hari lahir Manfred von Richthofen yang ke-41 tanggal 21 April 1933 yang diadakan di depan makam sang pahlawan di Invalidenfriedhof. Yang membelakangi kamera adalah pendeta sementara lima orang yang berdiri di baris depan semuanya adalah peraih Pour le Mérite (kecuali Von Schoenebeck). Dari kiri ke kanan: Carl-August von Schoenebeck, Bruno Loerzer, Ernst Udet, Arthur Laumann dan Kurt von Hammerstein-Equord
Foto-foto lain Manfred von Richthofen
Sumber :
Buku "Der Rote Kampfflieger" karya Rittmeister Manfred von Richthofen
Buku "The Illustrated Red Baron: The Life and Times of Manfred von Richthofen" karya Peter Kilduff
www.buddecke.de
www.en.wikipedia.org
www.findagrave.com
www.forum.axishistory.com
www.freeinfosociety.com
www.frontflieger.de
www.gutenberg.org
www.prewarcar.com
www.sanke-cards.com
www.vlib.us
pembahasan menarik mengani Red baron, musuh segala musuh Inggriss raya di udara
ReplyDeleteamazing history....
ReplyDeleteBy the way, does any one have a picture of Bolko von Richthofen (1899–1983), German archaeologist (not to be confused with Manfred's younger brother)
ReplyDelete