Horst Henry Geerken dan bukunya yang berjudul 'A Magic Gecko, Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno'. Foto oleh Muhammad Ridwan dari harian "Radar Bali"
DOWNLOAD CONTOH SAMPUL BUKU HORST GEERKEN DISINI!
DOWNLOAD ARTIKEL TENTANG DEUTSCHER SOLDATENFRIEDHOF ARCA DOMAS YANG DIMUAT DALAM BUKU HORST GEERKEN DISINI!
Saya sungguh terkejut dan merasa terhormat saat seorang warganegara Jerman bernama Horst Geerken menghubungi saya lewat e-mail dan mengungkapkan rencananya untuk membuat sebuah buku tentang Hitler di Indonesia, terutama selama berlangsungnya masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945! Bagi anda yang sering browsing atau baca, tentunya tahu bahwa topik ini telah marak menjadi perbincangan di Indonesia dan beberapa buku bahkan telah dibuat mengenainya, tapi Herr Geerken menjanjikan bahwa akan ada fakta-fakta baru yang mengejutkan yang termuat dalam bukunya! Berita pertama mengenai misteri Hitler di Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II telah dimuat oleh beberapa koran terbitan tahun 1980-1990-an, dan saya lah yang pertama membawanya ke ranah Internet dalam artikel INI berdasarkan dari catatan klipingan koran yang masih saya simpan! Tapi disini kita tidak akan membahas hal tersebut melainkan lebih kepada sosok Horst Geerken. Siapakah sebenarnya orang Jerman pencinta Indonesia ini?
Horst Henry Geerken dilahirkan bulan Agustus 1933, dalam suatu keluarga kosmopolitan yang tersebar tidak hanya di Eropa dan Amerika, melainkan juga sampai ke Jepang. Sejak awal dia berhubungan dengan dunia melalui hobinya: radio amatir, sehingga tidak mengherankan bahwa dia memilih belajar di bidang yang baru namun berkembang pesat: teknologi telekomunikasi. Selama belajar dia sempat tinggal beberapa lama di Turki sebagai 'exchange student' dan setelah tamat belajar di Jerman, mengambil kuliah pasca sarjana di Amerika. Setelah lulus dia bekerja pada pemerintah Amerika selama dua tahun, lalu AEG-TELEFUNKEN menawarinya untuk mewakili perusahaan itu sebagai Resident Engineer di Indonesia dan membangun basis pelanggan disini.
Dia tiba di Indonesia tahun 1963, ketika Republik Indonesia masih muda dan sedang dalam gelombang pergolakan setelah lepas dari genggam kolonialisme. Langkah awal bekerja di Sorga Khatulistiwa ini diikuti oleh gejolak politik kudeta – tetapi juga menghadapkannya kepada kemungkinan-kemungkinan yang luas. Dalam kondisi yang hampir tidak terpikirkan saat ini dia membantu menciptakan infrakstruktur di Indonesia dan melaksanakan proyek-proyek besar, mengenal dan mencintai rakyat Indonesia di segala lapisan, dan memperoleh 'Kampung Halaman' kedua di Indonesia. Semula hanya berencana untuk bermukim selama tiga tahun di Indonesia, akhirnya dia tinggal selama 18 tahun dari 1963 sampai 1981. Bukunya yang enak dibaca memberikan gambaran yang jelas dari suatu negara muda dalam proses pengembangan menuju masyarakat industri yang modern. Setelah tahun 1981 dia banyak berkelana di hampir semua negara Asia, sehingga menjadi ahli mengenai wilayah ini.
Selama masa tinggalnya di Indonesia, pria Jerman itu bahkan pernah sangat dekat dengan Soekarno, presiden pertama RI! Melalui buku berjudul "A Magic Gecko, Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno" yang diterbitkan akhir Februari tahun 2011, dia menuliskan kisah-kisah menarik seputar kedekatannya dengan Soekarno tersebut
Umurnya sudah tergolong senja tapi dia masih tampak sehat. Bicaranya lugas dan cukup energik. Dialah Horst Henry Geerken.
Mengapa baru sekarang menulis pengalaman selama di Indonesia? Henry menjelaskan, awalnya dirinya tak berminat membukukan catatan kecilnya tersebut. Namun, istrinya, Annete Braker, yang mendampinginya puluhan tahun terus mendesak agar catatan kecil itu ditulis menjadi buku.
"Istri saya seorang pengajar Melayu. Dialah yang terus memotivasi saya untuk menulis pengalaman saya ini ketika bersama Soekarno dalam buku," tutur pria kelahiran Agustus 1933 tersebut.
Karena itulah, buku tersebut dia persembahkan untuk sang istri, Annete. Dengan Annete, Henry dikaruniai seorang putri yang diberi nama Permata. Nama itu dipilih Henry karena kecintaannya terhadap Indonesia dan kebetulan Permata lahir di Jakarta. Kini Permata dan ibundanya, Annette, memilih tinggal di Australia.
Henry menceritakan, sebelum di Indonesia, dirinya bekerja di Turki selama dua tahun. Setelah itu, dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi Jerman yang kemudian menempatkan dirinya di Indonesia sebagai direktur kantor perwakilan. Hal itu dia lakoni selama 18 tahun sejak 1963 hingga 1981.
Dia masih ingat, saat awal-awal tinggal di Indonesia, Soekarno sedang jaya-jayanya, meski mulai terjadi percikan pergolakan politik seiring menguatnya pengaruh komunisme. "Saya akui, Soekarno waktu itu punya karisma yang luar biasa. Di Jerman, Soekarno merupakan sosok yang disegani dan dikagumi banyak orang. Apalagi dia fasih berbahasa Jerman," ceritanya.
Baru beberapa bulan tinggal di Indonesia, Henry menerima kontrak besar pertama dari Radio Republik Indonesia (RRI). Pemerintah, menurut dia, meminta AEG Telefunken, perusahaan tempat dirinya bekerja, secepatnya membangun pemancar radio gelombang pendek berkekuatan 100 kilowatt di samping sebuah jalan lama ke Bogor, yaitu di Cimanggis. "Pemancar itu kemudian menyiarkan voice of Indonesia ke seluruh penjuru dunia," ungkap pria yang mengaku suka sayur daun singkong tersebut.
Pemancar itu pulalah, ungkap dia, yang dipakai melancarkan propaganda "Ganyang Malaysia" oleh Soekarno. Negosiasi mengenai kontrak untuk pemancar siaran tersebut diadakan di istana Presiden Soekarno di Jalan Medan Merdeka bersama para penasihat terdekatnya. Dia menyebutkan, juru runding terpenting adalah Jenderal S yang saat itu menjabat kepala Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Jenderal S itu, lanjut dia, adalah pembuat keputusan tertinggi yang langsung di bawah presiden. Sayangnya, Henry enggan menyebutkan siapa sejatinya Jenderal S tersebut. Ketika disebut naman Jenderal Soemitro dan Soenaryo, dia hanya tersenyum kecil. "Itu adalah kontrak besar pertama yang saya peroleh pada tahun pertama saya di Indonesia," kenangnya.
Melalui proyek itulah Henry menjadi dekat dengan Soekarno dan pengawalnya bernama Jenderal S. "Tapi, Soekarno tidak korupsi sepeser pun dalam setiap proyek negara," tegasnya memuji.
Saat mengerjakan proyek radio itu, ada hal yang tak dilupakan Henry. Ceritanya, sebelum proyek radio tersebut dimulai, diadakan selamatan untuk mengusir roh jahat. Salah satu tujuannya, terhindar dari kesialan. "Dua ekor kambing disembelih dan satu kepala kambing dikubur di salah satu tiang pancang. Hal seperti itu tak ada di negara kami," ujarnya.
Setelah menuntaskan proyek radio, Henry dan perusahaan Jerman lainnya kembali mendapat proyek baru. Henry bahkan diajak ikut membidani pembangunan bandara di Tuban, Bali, yang sekarang menjadi Bandara Internasional Ngurah Rai. Itu terjadi pada 1964.
"Saya kira saat itu Soekarno sedang tergila-gila dengan teknologi Jerman," katanya. Karena itu, proyek pembangunan bandara tersebut dipercayakan kepada Jerman. Mulai kelistrikan, telepon, hingga konstruksi. Beberapa perusahaan top dari Jerman pun dilibatkan. Di antaranya, Siemens, AEG Telefunken, dan Grun & Bilfinger bergabung dalam proyek besar tersebut.
Di dalam bukunya, Henry menulis, ketika membangun bandara di Bali itu, Soekarno-lah yang meminta landasannya dibikin menjorok ke laut. "Presiden Soekarno terobsesi memiliki landasan yang menjorok ke laut seperti di Bandara Kai Tak di Hongkong," jelasnya.
Setelah di Bali ada bandara, arus wisatawan ke Pulau Dewata itu mulai deras datang. "Tapi, saya ikut menyesalkan pola pengembangan pariwisata di Bali sekarang ini," ujar Henry yang mengaku tahu banyak keinginan Soekarno tentang Bali tersebut.
Yang jelas, kata dia, Soekarno tak ingin menjadikan Bali seperti Hawaii. Sebab, dia paham betul konsep Tri Hita Karana (tiga hal pokok yang menyejahterakan dan memakmurkan hidup manusia) yang mestinya menjadi pegangan pola pembangunan pariwisata di Bali.
Ketika berada di Bali itulah kisah tentang tokek berkaitan dengan Soekarno terjadi. Henry menceritakan, saat itu dirinya dipanggil Soekarno untuk datang ke Istana Tampak Siring. Selama dua jam dia diajak mengobrol Soekarno tentang banyak hal. Termasuk seputar pembangunan bandara di Bali itu.
Saat mengobrol tersebut, Henry diajak ke kebun di kompleks Istana Tampak Siring. Di sana, ditunjukkan kepada Henry patung batu yang menggambarkan seorang Indonesia yang duduk sambil mencabut duri besar dari telapak kakinya.
Ketika sedang berada di kebun itulah tiba-tiba terdengar suara tokek. Anehnya, kata Henry, spontan Soekarno menghitung bunyi tokek tersebut. "Satu, dua, tiga, dan seterusnya."
Bunyi itu makin rendah, lembut, dan pelan sampai akhirnya tokek tersebut berhenti bersuara. Ketika sampai bunyi ketujuh, Soekarno berkata, "Itu tanda keberuntungan!" Tapi, tokek berhenti pada bunyi kesembilan. "Bilangan ganjil sembilan malah lebih untung. Besok hari baik bagi saya dan seluruh rakyat Indonesia," ujar Soekarno spontan yang ditulis Henry dalam bukunya.
Seperti umumnya orang Indonesia, lanjut Henry, Soekarno percaya akan pertanda, sihir, serta ramalan. Tampaknya, bunyi tokek tersebut menjadi kabar baik seiring rampungnya bandara internasional yang digarap konsorsium Jerman bersama masyarakat Indonesia. Karena itu, Henry memilih ilustrasi tokek berkulit warna-warni untuk sampul bukunya.
Dalam buku tersebut, dia juga mengulas keterlibatan CIA dalam menggulingkan Soekarno saat terjadi huru-hara di Jakarta pada 1965. Salah satu alasan CIA ingin menjatuhkan Soekarno, saat itu dia menentang keras kapitalis di bawah Amerika Serikat. Ketidakpercayaan Soekarno terhadap kapitalisme kemudian berkembang menjadi penolakan total. Perusahaan-perusahaan asing diambil alih.
"Kami menderita di bawah penjajahan selama 350 tahun. Kami tak akan membiarkan Amerika mendominasi dan merendahkan kami. Saya menentang kolonialisme. Enyahlah dengan bantuanmu!" kutuk Soekarno sebagaimana dikutip Henry dalam bukunya.
Tak pelak, AS kaget dan marah atas perlawanan Soekarno. Dirancanglah strategi lewat agen CIA untuk menjatuhkan Soekarno. Upaya CIA itu mendapat momentum ketika di Jakarta terjadi pemberontakan PKI pada 30 September 1965.
Awalnya, tulis Henry, Kolonel Untung memproklamasikan atas nama pelaku kudeta di radio dan pers bahwa aksi tersebut dilakukan untuk mendahului kudeta lain yang direncanakan CIA. Namun, hanya beberapa jam kemudian, Jenderal Soeharto mengumumkan bahwa kudeta oleh komunis tersebut telah berhasil digagalkan.
Menurut dia, AS dan Inggris tidak sekadar membiarkan Soeharto cs melakukan tindakan itu, tapi juga mendorongnya. "Dua negara tersebut senang karena Soekarno yang pro-China (Tiongkok) "dan menentang Barat" dipaksa turun dari jabatannya. Mereka juga menopang Jenderal Soeharto dengan jutaan dolar dari uang pembayar pajak. Tapi, uang tersebut menghilang ke jalur-jalur yang tak bisa dipercaya di Indonesia," beber Henry dalam bukunya.
Di buku tersebut Horst juga menceritakan tentang kekejaman Raymond Westerling yang melakukan pembasmian terhadap para pejuang yang dianggapnya teroris. Dalam bukunya itu terang-terangan menyebut Westerling sebagai: “Iblis Belanda yang pantas menyandang tudingan penjahat perang”!
Kekejaman Westerling bukan saja pada jumlah korban yang dibunuh tetapi juga menciptakan metode-metode baru dalam perang dalam melakukan pembunuhan masal dengan penghematan peluru dan tenaga.
Menurut Horst, tak cuma menginstruksikan tembak tengkuk (sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh), tetapi juga penggal kepala. “Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas.” Hal biasa pada 1946 – 1947 di Sulawesi Selatan jika kapal-kapal Belanda bolak-balik ketengah laut untuk membawa karung-karung hasil kejahatan perang!
Itulah cara Westerling (mungkin namanya sudah mewakili dari gaya barat) untuk memburu penduduk Sulawesi Selatan yang dianggapnya sebagai “teroris” dengan cara teror yang luar biasa menakutkan, memang itulah gaya barat (Eropa Barat dan Amerika). Sayangnya kita sering tertipu!
Westerling memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan.
Sudah biasa kalau Westerling dengan sekitar 50 personal militer masuk ke kampong-kampung untuk mengumpulkan penduduknya dan langsung melakukan eksekusi dengan cara “hemat peluru.” Melakukan pemenggalan kepala sampai-sampai darahnya, karena demikian banyak, harus dibuatkan siring untuk disalurkan ke sungai-sungai!
Penduduk desa yang tertangkap dikumpulkan dan dilakukan eksekusi dengan alasan untuk mencari para "teroris", “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” . Untuk orang-orang yang dirasa kuat langsung di brondong peluru tetapi yang perempuan atau anak-anak yang tidak melawan dilakukan penjagalan. Jika para serdadu ragu-ragu melakukan eksekusi Westerling langsung turun tangan melakukan menjagalan sendiri tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun.
Sebenarnya Belanda lebih kejam dari pada Jepang atau Jerman. Pada saat Jerman menutup seluruh kamp konsentrasi Nazi sesudah Perang Dunia II usai, tetapi justru Belanda malah membuka banyak kamp konsentrasi baru di Irian Jaya, Sumatera dan pulau-pulau lainnya!
Selama masa paska kemerdekaan lebih dari satu jutaan penduduk Indonesia yang dilakukan eksekusi seperti ini dari seluruh kamp-kamp Belanda tersebut. Baru di Sulawesi Selatan saja sudah lebih dari 40 ribu nyawa manusia penduduk yang tak berdosa. Masa yang paling banyak adalah pada dua tahun setelah Indonesia merdeka. Para simpatisan yang ikut dalam perang kemerdekaan Indonesia dijebloskan, disiksa dan dibunuh di situ.
Dia berharap bukunya itu bisa menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk menatap masa depan sendiri.
Sumber :
File koleksi pribadi Horst Geerken
www.bukitcinta.com
www.horstgeerken.com
www.indonesianvoices.blogspot.com
www.jpnn.com
ok, bang rafi thanks infonya ,kapan indonesia reenactor konvoi dengan motor atau mobil tua
ReplyDeleteok, bang rafi thanks infonya ,kapan indonesia reenactor konvoi dengan motor atau mobil tua
ReplyDelete