Sunday, November 30, 2025

Aksi Kapal Perang Jerman dalam Blokade Terhadap Inggris (1941)


Pada bulan Maret–April 1941, laut Atlantik Utara kembali menjadi panggung dari aksi dramatis armada permukaan Jerman dalam upaya memperketat blokade terhadap Inggris, terutama melalui operasi jelajah kapal tempur cepat Scharnhorst dan Gneisenau yang memburu jalur logistik vital Sekutu. Dalam salah satu episode paling menonjol, Gneisenau berhasil merampas kapal penumpang Norwegia Bianca (Oslo) yang berlayar di bawah kendali Sekutu. Sepanjang pelayaran ini, skuadron Jerman beberapa kali berkoordinasi secara langsung dengan U-boat Kriegsmarine di tengah samudra, menciptakan jaring pemburu mematikan bagi konvoi Inggris. Sejumlah kapal dagang Inggris - yang telah dipersenjatai untuk menghadapi ancaman serangan kapal selam dan kapal permukaan Jerman - berhasil ditenggelamkan setelah perlawanan singkat, sementara para awak yang selamat diangkat dari laut dan diambil sebagai tawanan perang.


Sumber :
Die Deutsche Wochenschau No.557 - 7 Mei 1941

Seragam Hussar

 JERMAN

Hans-Joachim von Zieten (1699-1786) adalah salah satu komandan kavaleri paling legendaris dalam sejarah militer Prusia, yang namanya identik dengan ketangkasan, disiplin baja, dan serangan kilat yang menghancurkan musuh. Terlahir dari keluarga bangsawan kecil di Brandenburg, Zieten sempat diremehkan di awal kariernya karena posturnya yang kecil dan sifat keras kepalanya. Ia bahkan pernah diskors dari dinas militer, sebelum akhirnya justru membuktikan kemampuan dirinya sebagai seorang jenius perang di bawah kepemimpinan Raja Friedrich Agung. Sebagai komandan resimen hussar, ia terkenal karena taktik pengintaian cepat, serangan kilat, dan kemampuannya mengeksploitasi kelemahan musuh dalam Perang Silesia dan Perang Tujuh Tahun, terutama dalam pertempuran besar seperti Leuthen dan Torgau. Keberaniannya begitu dihormati hingga para prajurit menyebutnya “Zieten aus dem Busch” (Si Zieten dari Semak-Semak), karena kemunculannya yang selalu tiba-tiba dari balik medan hingga musuh nyaris tak sempat bereaksi.


Foto ini memperlihatkan kunjungan Kaiser Jerman Wilhelm II ke markas 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1 di Danzig-Langfuhr, yang berlangsung di tahun 1912. Sang Kaisar berdiri di depan pintu, seperti biasa berpose dengan menekuk lengan kirinya yang berukuran lebih pendek dari lengan kanan. Di belakangnya berdiri Jenderal August von Mackensen, panglima pasukan kavaleri, sementara di samping kanan Kaisar adalah Kronprinz (Putra Mahkota) - yang sama-sama bernama Wilhelm - yang merupakan komandan dari 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1. Dua orang gadis yang berdiri di tengah adalah, dari kiri ke kanan: putri sang Kaisar Prinzessin Viktoria Louise - yang merupakan perwira tituler Totenkopfhusaren - serta istri dari Kronprinz Wilhelm yang bernama Cecilie. Kaiserliche Armee (Angkatan bersenjata Kekaisaran Jerman) sendiri dilengkapi oleh tiga unit Hussar setingkat resimen, yaitu 1. Leib-Husaren-Regiment Nr. 1 dan Nr. 2 yang bermarkas di Danzig serta Braunschweigisches Husaren-Regiment Nr. 17 yang bermarkas di Brunswick. Simbol totenkopf (tengkorak) yang dikenakan oleh anggota-anggota unit Hussar ini kemudian ditiru oleh satuan SS (Schutzstaffel) dan sebagian resimen kavaleri Wehrmacht di era Nazi Jerman. BTW, Kaiser Wilhelm sengaja "mengusir" anak tertuanya untuk memimpin unit kavaleri di wilayah perbatasan demi untuk meredam kehebohan akibat serangkaian skandal perselingkuhan yang dilakukan oleh Kronprinz Wilhelm di Berlin!

---------------------------------------------------------------------------------------

INGGRIS


Charles William Vane, Marquess of Londonderry ke-3, KG, GCB, GCH, PC (lahir dengan nama Stewart; 1778-1854), adalah seorang bangsawan Anglo-Irlandia, tentara, dan politikus. Ia bertugas dalam Perang Revolusi Prancis, penumpasan Pemberontakan Irlandia 1798, dan Perang Napoleon. Ia menonjol sebagai seorang komandan kavaleri dalam Perang Semenanjung (1807–1814) di bawah Sir John Moore dan Duke of Wellington. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya di bawah Wellington pada 1812, saudara tirinya Lord Castlereagh membantunya untuk memulai karier baru di bidang diplomatik. Stewart ditugaskan ke Berlin pada 1813, lalu menjadi duta besar di Austria, di mana Castlereagh menjadi utusan Inggris dalam Kongres Wina. Ia menikahi Lady Catherine Bligh pada 1804 dan kemudian, pada 1819, Lady Frances Vane-Tempest, seorang pewaris kaya, lalu mengubah nama belakangnya mengikuti nama istrinya, sehingga menjadi Charles Vane. Pada tahun 1822, ia menggantikan saudara tirinya sebagai Marquess of Londonderry ke-3, mewarisi tanah-tanah di utara Irlandia, di mana reputasinya menjadi buruk karena dikenal sebagai seorang tuan tanah yang tak kenal ampun selama berlangsungnya Kelaparan Besar. Reputasi yang sama juga tercermin dalam perannya sebagai seorang pengusaha tambang batu bara di tanah istrinya di County Durham, dimana ia menentang keras Undang-Undang Tambang yang baru pada tahun 1842, dan bersikeras atas haknya untuk terus menggunakan tenaga kerja anak-anak.


Pangeran Albert (1819-1861), suami Ratu Victoria, mengenakan seragam resimennya sendiri (11th Hussars), yang ikut berpartisipasi dalam "The Charge of the Light Brigade" (Serangan Brigade Ringan) yang terkenal. Ia dianugerahi kehormatan untuk boleh mengenakan celana merah marun untuk 11th Light Dragoons, setelah unit ini menjadi pengawal dalam pernikahannya dengan Ratu Victoria pada tahun 1840 (merah marun adalah warna seragam pribadinya). Pangeran Albert juga ditunjuk sebagai Kolonel Kehormatan resimen kavaleri ringan tersebut, yang kemudian berganti nama menjadi 11th Prince Albert's Own Hussars setelah kematian sang pangeran pada tahun 1861.


Foto dari Foto Cornet Henry John Wilkin yang sedang menunggang kuda dengan posisi menghadap ke kanan sebagian (1855). Ia mengenakan seragam militer lengkap dari resimennya, 11th Hussars, termasuk topi beruang dengan bulu hias. Tangan kanannya bertumpu pada pinggangnya, sementara tangan kirinya memegang tali kekang. Di sebelah kanan terdapat tenda, dan di belakang terlihat lereng bukit. Cornet Wilkin bertugas sebagai Dokter Bantu di Resimen 11th Hussars selama berlangsungnya Perang Krimea (1853-1856). Ia ikut serta dalam "The Charge of the Light Brigade" (Serangan Brigade Ringan) yang terkenal, yang merupakan bagian dari Pertempuran Balaclava. Sebagai seorang dokter bedah, ia tidak diharapkan untuk ikut menyerang bersama dengan regunya, namun ia tetap melakukannya. Wilkin bertugas di Krimea dari pendaratan pertama hingga akhir perang, dan kemudian bertugas bersama Resimen ke-7 Hussars di India, di mana ia terluka parah dalam pertempuran di Lucknow pada tahun 1857.



Pada tahun 1895, di usia 21 tahun, Winston Churchill memperoleh pangkat pertamanya—Cornet (setara dengan Letnan Dua), di 4th Queen’s Own Hussars Regiment, sebuah resimen kavaleri ringan Angkatan Darat Inggris. Tahap awal karier militernya ini sangat krusial: ia mulai mengenal dinas militer aktif, perjalanan ke luar negeri, peperangan, dan wawasan politik yang kemudian membentuk karakternya saat setelah menjadi politisi dan negarawan. Churchill lulus dari Royal Military College di Sandhurst pada tahun yang sama (1895), setelah hampir tidak diterima meskipun beberapa kali mencoba. Baru beberapa waktu ditugaskan, ia sudah mencari kesempatan untuk merasakan kancah pertempuran dan menonjolkan dirinya, baik sebagai prajurit maupun sebagai penulis. Ambisi besar untuk mengukir nama bagi dirinya sendiri sudah terukir jelas dari dini.

---------------------------------------------------------------------------------------

PRANCIS


Antoine-Charles-Louis, Comte de Lasalle (1775-1809) adalah adalah salah satu jenderal kavaleri paling legendaris dan flamboyan dalam Perang Napoleon, yang dikenal karena keberanian cenderung nekatnya, gaya hidupnya yang identik dengan miras dan duel, serta semboyannya yang terkenal, “Seorang hussar yang tidak mati sebelum usia tiga puluh adalah bajingan,” yang ironisnya menjadi nubuat bagi dirinya sendiri. Lasalle meniti karier militer sejak masa Revolusi Prancis, dan menjelma sebagai komandan kavaleri ringan yang sangat ditakuti musuh karena pola serangan kilatnya yang agresif dan penuh keberanian, khususnya dalam perang melawan Austria dan Prusia. Ia menorehkan prestasi besar dalam pertempuran Austerlitz (1805) dan kampanye militer di Prusia (1806), di mana keberanian pasukan hussar yang dipimpinnya sering kali menjadi penentu dalam pertempuran. Kepribadiannya yang karismatik, temperamental, kontroversial tapi sangat setia pada Napoleon membuatnya dicintai pasukan dan dihormati oleh para jenderal lain. Namun, sesuai nasib yang seakan dipilihnya sendiri, Lasalle gugur pada usia 34 tahun dalam Pertempuran Wagram (1809). Pada hari kedua pertempuran besar melawan Austria tersebut, Lasalle memimpin serangan kavaleri dengan keberanian khasnya, menerjang hujan peluru di dataran Marchfeld untuk memecah formasi musuh dan menyelamatkan infanteri Prancis yang sedang tertekan. Di tengah kekacauan pertempuran, ketika ia sedang memimpin langsung anak buahnya di garis depan, sebuah bola meriam menghantamnya, menewaskannya seketika di atas pelana kuda. Kabar kematiannya mengguncang tentara Prancis, bahkan Napoleon sendiri sangat terpukul telah kehilangan salah satu komandan kavalerinya yang paling berani dan karismatik.



Joachim Murat (1767-1815) adalah salah satu tokoh paling menarik dan kontroversial dalam era Perang Napoleon, yang terkenal bukan hanya karena keberaniannya yang luar biasa di medan tempur, tetapi juga karena penampilannya yang mencolok dengan seragam hussar (kavaleri ringan) yang dipenuhi bulu, emas, dan warna-warna mencolok. Lahir dari keluarga Prancis sederhana, Murat naik ke puncak kekuasaan berkat bakat militernya yang brilian dan pernikahannya dengan Caroline Bonaparte, adik Napoleon, yang menjadikannya bagian inti dari dinasti kekaisaran. Sebagai komandan kavaleri, ia memainkan peran krusial dalam kemenangan-kemenangan besar seperti Austerlitz, Jena, dan Eylau, di mana serangan kavaleri massal yang ia pimpin sering kali memecah garis musuh dan menentukan arah pertempuran. Pada 1808 ia diangkat menjadi Raja Napoli, namun kesetiaannya yang goyah terhadap Napoleon pada tahun-tahun terakhir Kekaisaran berujung pada kejatuhannya sendiri. Setelah kekalahan Napoleon, Murat ditangkap oleh pasukan Bourbon dan dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 1815. Detik-detik menjelang hukuman mati, ia menolak untuk mengenakan penutup mata dan dengan tenang memberikan perintah terakhir kepada regu tembak, yang sebagian adalah mantan anak buahnya: “Rekan-rekan, bila kalian masih menghargaiku, maka bidik jantungku tapi jangan wajahku... Tembak!” sebuah kalimat yang kemudian menjadi legenda.

---------------------------------------------------------------------------------------

RUSIA


Evgraf Davydov (1775-1823)  adalah salah satu tokoh kavaleri Rusia paling menarik pada era Perang Napoleon, seorang perwira karismatik dari Resimen Kirasir yang dikenal disiplin kerasnya, keberanian spontan, dan naluri taktis yang tajam. Lahir dari keluarga bangsawan militer, Davydov tampil menonjol dalam berbagai kampanye militer besar Kekaisaran Rusia, terutama pada perang 1805–1814, di mana ia berkali-kali memimpin serangan kavaleri berat yang menjadi penentu dalam memecah formasi musuh. Ia tampil gemilang di Austerlitz, Friedland, dan terutama selama Invasi Prancis ke Rusia tahun 1812, saat pasukan yang dipimpinnya berulang kali menghantam korps kavaleri Prancis dalam pertempuran sengit di Smolensk dan Borodino. Sosoknya juga sering dikaitkan dengan semangat perlawanan Rusia, karena hubungannya dengan sang sepupu terkenal, penyair-gerilyawan Denis Davydov. Begitu sengit dan beraninya Davydov dalam medan pertempuran, sehingga dia harus kehilangan lengan kanan dan kaki kirinya akibat luka parah yang membuatnya diamputasi, tapi tetap memutuskan untuk tetap aktif di militer sampai dengan kematiannya di tahun 1823!


Sumber :
www.instagram.com
www.militarypaintings.blogspot.com

Divisi SS Leibstandarte dalam Fase Akhir kampanye militer Jerman di Yunani (1941)


Pada fase akhir invasi Jerman ke Yunani pada bulan April 1941, SS-Division (mot.) Leibstandarte SS Adolf Hitler (LSSAH) memainkan peran penting sebagai ujung tombak gerak maju di wilayah Yunani barat dan Peloponnese. Setelah menembus pertahanan Sekutu di Yunani tengah dan bergerak cepat melalui daerah pegunungan Phocis, unsur-unsur LSSAH mencapai wilayah sekitar Teluk Patras, dan di sana melakukan pertemuan simbolis dengan pasukan Italia yang sebelumnya tertahan di garis depan Albania–Yunani, termasuk satuan-satuan di bawah Jenderal Carlo Rossi. Pertemuan ini menandai berakhirnya peran dominan Italia di sektor tersebut serta peralihan penuh inisiatif operasi kepada Jerman (sekaligus menunjukkan kontras tajam antara kampanye militer Italia yang tersendat dari sejak 1940 dengan laju serbuan mekanis Jerman yang sangat cepat dalam hitungan minggu!).

Dengan jembatan-jembatan utama di Teluk Patras dan Teluk Korintus banyak yang telah dihancurkan oleh pasukan Sekutu yang mundur, LSSAH terpaksa melakukan penyeberangan improvisasi melintasi perairan Teluk Patras menggunakan feri, kapal nelayan, serta sarana angkut darurat yang direbut di pelabuhan-pelabuhan kecil. Setelah menyeberang, satuan-satuan Leibstandarte bergerak cepat memasuki Peloponnese, di mana mereka melakukan link-up dengan pasukan payung Fallschirmjäger yang sebelumnya diterjunkan untuk mengamankan titik-titik strategis, termasuk jalur-jalur pendekatan dan lapangan terbang penting. Koordinasi antara pasukan bermotor SS di darat dan pasukan lintas udara ini memungkinkan Jerman menutup hampir semua rute mundur Sekutu di semenanjung tersebut.

Tahap akhir operasi ditandai oleh pengejaran agresif terhadap pasukan Inggris, Australia, dan Selandia Baru yang mundur tergesa-gesa menuju pelabuhan-pelabuhan evakuasi seperti Kalamata, Patras, dan Navplion. LSSAH, dengan mobilitas tinggi dan dukungan artileri serta unsur pengintai bermotor, terus menekan unit penjaga belakang Sekutu, memaksa mereka meninggalkan sejumlah besar kendaraan, persenjataan, dan perbekalan. Walaupun sebagian besar pasukan Inggris berhasil dievakuasi oleh Angkatan Laut Kerajaan, tekanan beruntun dari Leibstandarte dan satuan-satuan Jerman lainnya menyebabkan ribuan tentara Sekutu tertangkap di Peloponnese. Operasi ini menutup kampanye militer di Yunani dengan kemenangan cepat bagi Jerman, sekaligus mengukuhkan reputasi LSSAH sebagai satuan serbu elit yang efektif selain dari unit standar Heer (Angkatan Darat).


Sumber :
Die Deutsche Wochenschau No. 557 - 7 Mei 1941

Saturday, November 29, 2025

Kapal Selam Jepang dalam Perang Dunia II


Satuan kapal selam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun Sensuikan Butai) merupakan salah satu armada bawah laut paling inovatif namun juga paling kontroversial dalam Perang Dunia II, dengan strategi yang sangat berbeda dari Jerman dan Sekutu Barat. Jepang memandang kapal selam bukan terutama sebagai senjata perang dagang untuk menghancurkan logistik musuh, melainkan sebagai bagian dari armada tempur utama yang bertugas memburu kapal perang musuh, terutama kapal induk dan kapal perang Amerika Serikat. Sejak awal perang Pasifik, Jepang telah mengoperasikan puluhan tipe kapal selam dari kelas besar jarak jauh seperti I-class hingga kapal selam mini (Ko-hyōteki), yang digunakan dalam serangan mendadak di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Kapal selam Jepang terkenal memiliki jangkauan operasi yang sangat jauh—bahkan mampu beroperasi hingga pesisir Amerika dan Samudra Hindia—serta dilengkapi torpedo Type 95 berbasis oksigen murni yang sangat cepat dan mematikan.

Yang paling mengesankan secara teknis adalah kapal selam raksasa kelas I-400 (Sentoku), kapal selam terbesar di dunia hingga era nuklir, yang dirancang sebagai “kapal induk bawah laut” dengan kemampuan membawa tiga pesawat pengebom lipat Aichi M6A Seiran! Kapal ini dibuat untuk melancarkan serangan strategis kejutan terhadap target jauh seperti Terusan Panama, namun rencana tersebut tidak pernah terealisasi karena situasi perang yang keburu memburuk bagi Jepang pada tahun 1945. Selain itu, Jepang juga mengembangkan berbagai jenis kapal selam khusus: kapal selam pengintai, kapal selam pengangkut logistik untuk garnisun terpencil, hingga kapal selam pembawa senjata rahasia. Dalam praktiknya, kapal selam Jepang lebih sering digunakan untuk pengintaian, serangan terbatas terhadap kapal perang, serta misi pasokan ke pulau-pulau yang telah terisolasi oleh blokade Sekutu.

Pada tahap akhir perang, keterdesakan Jepang melahirkan senjata ekstrem berupa Kaiten, torpedo berawak yang dikendalikan pilot bunuh diri dari dalam, yang diluncurkan dari kapal selam induk. Kaiten digunakan dalam beberapa serangan terhadap armada Sekutu sejak tahun 1944, termasuk di perairan Filipina dan Okinawa, dengan hasil militer yang sangat terbatas tetapi korban jiwa yang besar di pihak Jepang. Selain Kaiten, Jepang juga mengoperasikan kapal selam mini untuk misi infiltrasi pelabuhan dan sabotase, meski efektivitasnya relatif rendah dibandingkan biaya dan risiko yang ditanggung awak.

Meskipun memiliki teknologi canggih dan awak yang terlatih, satuan kapal selam Jepang gagal memberikan dampak strategis besar seperti yang dicapai U-Boat Jerman di Atlantik. Kegagalan ini terutama disebabkan oleh doktrin yang keliru, kurangnya fokus pada perang logistik terhadap kapal pengangkut Sekutu, serta semakin unggulnya teknologi anti-kapal selam Amerika seperti radar, sonar, dan pengawalan konvoi terpadu. Pada akhir perang, lebih dari separuh armada kapal selam Jepang hancur bersama sebagian besar awaknya. Namun demikian, dalam sejarah perang laut, kapal selam Jepang tetap dikenang karena jangkauan operasinya yang luar biasa, desain inovatif seperti kelas I-400, serta penggunaan senjata ekstrem seperti Kaiten.


Sumber :
The World War II Foundation

Friday, November 28, 2025

Serangan Pasukan Parasut Dai Nippon ke Kilang Minyak Palembang (1942)


Serangan pasukan parasut Jepang ke kilang minyak Palembang pada bulan Februari 1942 merupakan salah satu operasi udara paling berani dalam kampanye penaklukan Hindia Belanda, dan dikenal sebagai bagian dari Operasi L untuk merebut sumber minyak vital di Sumatra.

Pada tanggal 14 Februari 1942, satuan lintas udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Teishin Shudan) diterjunkan langsung di sekitar kilang minyak Pladjoe (P1) dan Sungai Gerong (P2), fasilitas strategis milik Belanda yang menjadi jantung produksi bahan bakar di Asia Tenggara. Penerjunan ini direncanakan dengan sangat baik, dimana 425 prajurit dari Resimen Serbu Para ke-1 merebut landasan udara Palembang, sementara para penerjun payung dari Resimen Serbu Para ke-2 merebut kota dan kilang minyak pentingnya. Operasi ini juga mendapat dukungan serangan udara intensif, yang melumpuhkan pertahanan KNIL serta pesawat-pesawat Sekutu di sekitar Palembang. Meskipun pihak Belanda telah menyiapkan rencana bumi hangus dan berhasil merusak sebagian instalasi penting sebelum kilang jatuh ke tangan musuh, penerjunan pasukan dari udara benar-benar mengejutkan pertahanan setempat, karena merupakan operasi lintas udara besar pertama Jepang dalam Perang Dunia II.

Setelah pertempuran sengit melawan pasukan KNIL dan bantuan terbatas dari penerbang Sekutu, pasukan Jepang berhasil menguasai zona kilang dan jembatan-jembatan penting di Sungai Musi, lalu diperkuat oleh pendaratan pasukan laut beberapa hari kemudian. Kejatuhan Palembang bukan hanya mempercepat runtuhnya pertahanan Hindia Belanda di Sumatra, tetapi juga memberi Jepang akses langsung terhadap pasokan minyak yang sangat dibutuhkan untuk menopang mesin perangnya di Pasifik.


Sumber :
Look in the Past War Archives

Pertempuran Stettin dan Ritterkreuzträger Willy Schmückle (1945)


Pertempuran memperebutkan pangkal jembatan Stettin (Stettiner Brückenkopf) pada bulan Maret 1945 merupakan bagian penting dari ofensif besar Tentara Merah di wilayah Pomerania dan garis pertahanan terakhir Jerman di sepanjang Sungai Oder menjelang runtuhnya Reich Ketiga. Setelah keberhasilan Soviet menembus pertahanan Jerman dalam Operasi Pomerania Timur, pasukan Front Belorusia ke-2 di bawah Marsekal Konstantin Rokossovsky berupaya menguasai dan memperluas pangkal jembatan di tepi barat Oder guna membuka jalan langsung ke Stettin—pelabuhan strategis dan gerbang menuju Mecklenburg serta Berlin dari arah utara. Pangkal jembatan ini dipertahankan dengan gigih oleh unsur-unsur dari 3. Panzerarmee Jerman, sisa-sisa unit infanteri yang telah hancur, Volkssturm, artileri benteng, serta sejumlah kecil kendaraan lapis baja, yang bertempur dalam kondisi kekurangan amunisi dan logistik akibat serangan udara dan artileri Soviet yang berlangsung terus-menerus. Pertempuran berlangsung sengit di medan rawa, kanal, dan desa-desa yang hancur, dengan pertempuran infanteri jarak dekat dan serangan artileri berat yang menghancurkan garis pertahanan Jerman sedikit demi sedikit. Pada akhir Maret 1945, keunggulan mutlak Soviet dalam jumlah pasukan, tank, dan dukungan udara memaksa Jerman mundur, sehingga pangkal jembatan Stettin berhasil diamankan dan diperluas oleh Tentara Merah, membuka jalur langsung bagi penyerbuan terakhir ke wilayah Jerman utara dan mempercepat jatuhnya Stettin ke tangan Soviet pada bulan April 1945.

Dalam pertempuran ini, Fahnenjunker-Oberfeldwebel Willy Schmückle (Chef 6.Kompanie / II.Bataillon / Fahnenjunker-Regiment 1241 / Panzergrenadier-Division "Kurmark") dianugerahi medali bergengsi Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes pada tanggal 15 Maret 1945, sebagai penghargaan atas kepahlawanannya. Ketika situasi militer Jerman sudah hampir sepenuhnya runtuh di Stettin. Saat itu Schmückle, yang memimpin satuan tempur lapis baja dan infanteri improvisasi (Kampfgruppe), menonjol karena kepemimpinan langsung di garis depan, keberanian pribadi dalam menahan serangan tank dan infanteri Soviet yang berulang-ulang, serta kemampuannya mempertahankan posisi penting meskipun dalam kondisi kekurangan amunisi, bahan bakar, dan tanpa dukungan memadai. Dalam beberapa aksi, ia dilaporkan memimpin pertahanan jarak dekat, mengoordinasikan tembakan antitank, dan beberapa kali menggagalkan terobosan Soviet ke arah Stettin. Atas rangkaian aksi heroik tersebut, ia direkomendasikan oleh komando 3. Panzerarmee untuk mendapatkan Ritterkreuz, yang kemudian mendapat persetujuan dari OKW (Oberkommando der Wehrmacht).


Sumber :
Die Deutsche Wochenschau No. 755 - 22 Maret 1945

Festung Königsberg (1945)


Festung (Benteng) Königsberg di tahun 1945 merupakan salah satu episode paling tragis dari runtuhnya pertahanan Jerman di Front Timur, ketika Königsberg (ibu kota Prusia Timur) dikepung dan diserbu oleh Tentara Merah dalam operasi militer yang berlangsung dari akhir Januari s/d 9 April 1945, yang membuat kota ini terisolasi dari wilayah utama Reich selama berbulan-bulan lamanya. Königsberg dipertahankan sebagai “benteng” atas perintah Hitler, di bawah komando General der Infanterie Otto Lasch, yang memimpin sekitar 100.000 prajurit Wehrmacht, SS, Volkssturm, serta puluhan ribu warga sipil yang terperangkap di dalamnya, sementara Gauleiter Prusia Timur, Erich Koch, justru meninggalkan wilayah tersebut lebih awal demi menyelamatkan diri, sebuah tindakan yang kemudian banyak dikritik sebagai bentuk pengabaian terhadap penduduk yang ia pimpin.

Serangan besar penghabisan Soviet dimulai pada tanggal 6 April 1945 dengan artileri berat, pemboman udara intensif, dan serbuan infanteri dari tiga arah yang secara sistematis menghancurkan garis pertahanan luar, benteng abad ke-19, serta kawasan perkotaan Königsberg, hingga perlawanan Jerman runtuh dalam pertempuran jalanan yang brutal. Menyadari bahwa perlawanan lebih lanjut hanya akan menyebabkan pembantaian sia-sia terhadap pasukan dan warga sipil yang tersisa, Jenderal Lasch akhirnya memutuskan untuk menyerah pada tanggal 9 April 1945 tanpa persetujuan Hitler, sebuah keputusan yang menyelamatkan ribuan nyawa tetapi membuatnya dijatuhi hukuman mati secara in absentia oleh rezim Nazi.

Jatuhnya Königsberg menandai kehancuran simbolik pusat Prusia Timur, membuka jalan bagi pendudukan Soviet, serta mengakhiri eksistensi kota Jerman tersebut, yang kemudian diubah menjadi Kaliningrad sebagai bagian dari Uni Soviet pascaperang.


Sumber :
Die Deutsche Wochenschau No. 755 - 22 Maret 1945

Thursday, November 27, 2025

Festung Breslau (1945)


Festung (Benteng) Breslau di tahun 1945 merupakan salah satu episode paling getir dan berdarah dari pertahanan terakhir Jerman di Front Timur, ketika kota Breslau (kini Wrocław, Polandia) dinyatakan sebagai “benteng” yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan atas perintah Hitler dan dipimpin oleh Gauleiter Silesia, Karl Hanke. Sejak bulan Januari 1945, ketika Tentara Merah melancarkan ofensif besar menuju Sungai Oder, Hanke memerintahkan evakuasi paksa sebagian penduduk sipil dalam kondisi musim dingin yang brutal, yang menyebabkan ribuan korban jiwa di perjalanan, sementara ribuan lainnya justru dipaksa tinggal untuk membantu pertahanan. Breslau dikepung sepenuhnya oleh pasukan Front Ukraina Pertama Soviet sejak bulan Februari 1945, namun Hanke bersama garnisun Wehrmacht, SS, Volkssturm, dan pemuda Hitlerjugend tetap bertahan di tengah kota yang telah hancur akibat tembakan artileri dan serangan udara tanpa henti. Infrastruktur porak poranda, persediaan makanan dan obat-obatan menipis, namun pasukan bertahan Breslau terus mengobarkan perlawanan super fanatik. Satu hari sebelum Jerman secara resmi menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, barulah Breslau menyerah kepada pasukan Soviet pada 6 Mei 1945 setelah 2 bulan 24 hari bertahan, yang menjadikannya salah satu benteng terakhir yang jatuh ke tangan musuh. Karl Hanke sendiri melarikan diri dengan pesawat kecil, namun kemudian tertangkap dan tewas di tangan partisan Ceko. Pertempuran Festung Breslau menewaskan 6.000 prajurit dan 80.000 warga sipil Jerman, sementara pihak penyerang Soviet sendiri kehilangan 60.000 prajuritnya yang tewas, luka dan ditawan.


Sumber :
Die Deutsche Wochenschau No. 755 - 22 Maret 1945

Evakuasi Penduduk Prusia Timur Menggunakan Kapal Laut Kriegsmarine (1945)


Evakuasi penduduk Prusia Timur melalui laut oleh Kriegsmarine pada musim semi 1945 merupakan salah satu operasi penyelamatan manusia terbesar dalam sejarah, yang dilakukan di tengah runtuhnya pertahanan Jerman akibat serbuan besar-besaran Tentara Merah dalam Ofensif Prusia Timur. Jutaan warga sipil—terutama perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia—melarikan diri dari kekerasan, pembalasan, dan kehancuran dengan menumpang kapal perang, kapal penumpang, kapal kargo, hingga kapal nelayan yang berlayar dari pelabuhan seperti Königsberg, Danzig, dan Gotenhafen menuju Jerman bagian barat. Operasi ini sering dikaitkan dengan Operasi Hannibal, di mana dalam kondisi cuaca dingin ekstrem, kekurangan bahan bakar, serta serangan udara dan laut Soviet, lebih dari dua juta orang berhasil dievakuasi, meskipun ribuan lainnya tewas dalam tragedi tenggelamnya kapal-kapal seperti Wilhelm Gustloff, Steuben, dan Goya.


Sumber:
Die Deutsche Wochenschau No. 755 - 22 Maret 1945

Wednesday, November 26, 2025

Die Deutsche Wochenschau (Berita Mingguan Jerman) No. 710 - 12 April 1944


Die Deutsche Wochenschau (Berita Mingguan Jerman) adalah judul dari seri film berita terpadu yang dirilis di bioskop-bioskop Jerman Nazi dari bulan Juni 1940 hingga akhir Perang Dunia II, dengan edisi terakhir yang diterbitkan pada tanggal 22 Maret 1945. Produksi film berita yang terkoordinasi ini dibuat sebagai instrumen penting untuk distribusi massal propaganda Nazi di masa perang.

Isi dari Die Deutsche Wochenschau No. 710 - 12 April 1944 :

00:41 - Ulang tahun ke-65 dari penyair August Hinrichs.
01:51 - Prajurit-prajurit Jerman yang terluka menonton pertunjukan di Teater Petani Schliersee.
03:14 - Pertunjukan balet Kroasia di Wina, Austria.
04:03 - Perlombaan lari lintas alam di Kolberg.
05:02 - Sekolah memahat kayu untuk anak-anak di Pirna, Elbe.
06:15 - Propaganda untuk tidak sembarangan berbicara di tengah peperangan.
06:33 - Lahan pertanian rusak yang telah diperbaiki diberikan kembali ke petani di Lorraine, Prancis.
07:15 - Sindiran kepada musuh yang mengklaim bisa mengganti kerusakan karya seni dengan uang.
09:07 - Oberst Heinz Trettner menganugerahkan medali kepada para prajuritnya di Nettuno, Italia.
10:03 - Kegiatan para awak Flak 88 di Italia saat bersantai dan tidak ada tugas.
11:39 - Kerjasama pesawat pengintai Junkers Ju 88 dan meriam artileri berat di Anzio, Front Italia.
14:50 - Serangan pasukan Jerman melintasi danau Pleipus yang membeku di Narva.
16:43 - Kapal Kriegsmarine berduel artileri dengan pos meriam Soviet di lepas pantai Narva.
17:45 - Wawancara Generalleutnant Kurt Dittmar dengan Major Hans-Ulrich Rudel.
20:25 - Aksi pesawat serang-darat Henschel Hs-129 saat menghancurkan tank-tank Soviet.


Sumber :
Bundesarchiv via XX History Footage
www.archive.org