Satuan kapal selam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun Sensuikan Butai) merupakan salah satu armada bawah laut paling inovatif namun juga paling kontroversial dalam Perang Dunia II, dengan strategi yang sangat berbeda dari Jerman dan Sekutu Barat. Jepang memandang kapal selam bukan terutama sebagai senjata perang dagang untuk menghancurkan logistik musuh, melainkan sebagai bagian dari armada tempur utama yang bertugas memburu kapal perang musuh, terutama kapal induk dan kapal perang Amerika Serikat. Sejak awal perang Pasifik, Jepang telah mengoperasikan puluhan tipe kapal selam dari kelas besar jarak jauh seperti I-class hingga kapal selam mini (Ko-hyōteki), yang digunakan dalam serangan mendadak di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Kapal selam Jepang terkenal memiliki jangkauan operasi yang sangat jauh—bahkan mampu beroperasi hingga pesisir Amerika dan Samudra Hindia—serta dilengkapi torpedo Type 95 berbasis oksigen murni yang sangat cepat dan mematikan.
Yang paling mengesankan secara teknis adalah kapal selam raksasa kelas I-400 (Sentoku), kapal selam terbesar di dunia hingga era nuklir, yang dirancang sebagai “kapal induk bawah laut” dengan kemampuan membawa tiga pesawat pengebom lipat Aichi M6A Seiran! Kapal ini dibuat untuk melancarkan serangan strategis kejutan terhadap target jauh seperti Terusan Panama, namun rencana tersebut tidak pernah terealisasi karena situasi perang yang keburu memburuk bagi Jepang pada tahun 1945. Selain itu, Jepang juga mengembangkan berbagai jenis kapal selam khusus: kapal selam pengintai, kapal selam pengangkut logistik untuk garnisun terpencil, hingga kapal selam pembawa senjata rahasia. Dalam praktiknya, kapal selam Jepang lebih sering digunakan untuk pengintaian, serangan terbatas terhadap kapal perang, serta misi pasokan ke pulau-pulau yang telah terisolasi oleh blokade Sekutu.
Pada tahap akhir perang, keterdesakan Jepang melahirkan senjata ekstrem berupa Kaiten, torpedo berawak yang dikendalikan pilot bunuh diri dari dalam, yang diluncurkan dari kapal selam induk. Kaiten digunakan dalam beberapa serangan terhadap armada Sekutu sejak tahun 1944, termasuk di perairan Filipina dan Okinawa, dengan hasil militer yang sangat terbatas tetapi korban jiwa yang besar di pihak Jepang. Selain Kaiten, Jepang juga mengoperasikan kapal selam mini untuk misi infiltrasi pelabuhan dan sabotase, meski efektivitasnya relatif rendah dibandingkan biaya dan risiko yang ditanggung awak.
Meskipun memiliki teknologi canggih dan awak yang terlatih, satuan kapal selam Jepang gagal memberikan dampak strategis besar seperti yang dicapai U-Boat Jerman di Atlantik. Kegagalan ini terutama disebabkan oleh doktrin yang keliru, kurangnya fokus pada perang logistik terhadap kapal pengangkut Sekutu, serta semakin unggulnya teknologi anti-kapal selam Amerika seperti radar, sonar, dan pengawalan konvoi terpadu. Pada akhir perang, lebih dari separuh armada kapal selam Jepang hancur bersama sebagian besar awaknya. Namun demikian, dalam sejarah perang laut, kapal selam Jepang tetap dikenang karena jangkauan operasinya yang luar biasa, desain inovatif seperti kelas I-400, serta penggunaan senjata ekstrem seperti Kaiten.
Sumber :
The World War II Foundation