Sunday, December 20, 2009

Pasang Surut Hubungan Antara Hindia Belanda Dan Nazi Jerman Sebelum Pendudukan Jepang (1933-1942)

Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (7 Maret 1888, Groningen – 16 Agustus 1978, Wassenaar), Gubernur Jenderal terakhir Hindia Belanda


Oleh : Alif Rafik Khan


J. de Kadt adalah seorang pengarang Belanda yang terkenal, yang secara lunak bersifat “kiri” dan merupakan tokoh terkemuka Partai Sosial Demokrat (Partai van de Arbeid) Negeri Belanda. Ia menulis buku-buku yang di antaranya bercerita tentang Nazisme, dimana dia menyerang sistem pemerintahan ini, dan tentang Revolusi Rusia, dimana ia menyetujuinya. Tokoh Belanda seperti ini tentunya berada dalam daftar hitam kaum Nazi. Tetapi untungnya J. De Kadt dapat melarikan diri dari Negeri Belanda yang diduduki Jerman pada tanggal 10 Mei 1940 dan melarikan diri ke Hindia Belanda. Mungkin juga ia terkenal sebagai seorang yang anti-kolonial. Pokoknya, ketika J. de Kadt datang ke Nusantara, dia ditahan dan tidak boleh memasuki Hindia Belanda atas dasar bahwa De Kadt adalah seseorang yang berbahaya, yang dapat mengganggu ketenteraman dengan hasutan-hasutannya. Segera para sosialis di Hindia Belanda yang tergabung dalam Algemeen Democratische Bond menghadap Gubernur Jawa Barat untuk meminta penjelasan perihal penahanan De Kadt. Ternyata Gubernur Jawa Barat, sebagai seorang Binnenlandsch Bestuur yang baik tidak pernah membaca literatur revolusionernya De Kadt dan hanya mengambil keputusan berdasarkan laporan-laporan dinas imigrasi Hindia Belanda. Pada akhirnya pemerintah buangan Belanda di London (dimana duduk juga menteri-menteri sosialis) mengadakan tekanan-tekanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda untuk melepaskan De Kadt dan memperbolehkannya masuk ke koloni milik Belanda. Sesudah sepuluh hari dalam tawanan, J. de Kadt “diperbolehkan masuk” tetapi tidak diberikan surat hak penetapan disini (niet toegelaten maar binnengelaten tidak diizinkan masuk tetapi dimasukkan).


Peristiwa De Kadt ini dalam hal-hal lain merugikan Hindia Belanda. Kesan tentang demokrasi di koloni terhadap salah seorang korban “10 Mei”, terang tidak baik dan membahayakan kesatuan antara partai-partai yang duduk di dalam kabinet Belanda. Bahwa Hindia Belanda dapat bertindak demikian terhadap seorang sosialis yang anti-Nazi, dapat membuat tuduhan-tuduhan bahwa koloni adalah pro-Nazi, dan lain-lain. Di Inggris, sekutu Belanda dalam peperangan dan dimana juga duduk kabinet koalisi, peristiwa ini menimbulkan kedinginan-kedinginan. Politik Hindia Belanda pada tahun-tahun ini, sejak 10 Mei 1940, sama sekali tidak menghiraukan perkembangan-perkembangan dan kejadian-kejadian di dunia luar.


Kebayang kan, sama orang yang sebangsanya saja pemerintah Hindia Belanda begitu kerasnya, apalagi kepada orang pribumi! Di luar dari persoalan tentang dukung-mendukung Nazi, pada tahun 1920-an dan 1930-an sudah menjadi suatu kebiasaan bagi para pegawai pemerintah Belanda untuk memenjarakan kaum Nasionalis Indonesia yang beradab dan berpendidikan tinggi, tanpa melalui proses hukum. Mereka dimasukkan dalam kamp interniran karena menyuarakan opini kemerdekaan politik dan mengganggu kepentingan Belanda dalam hal ketenteraman masyarakat dan politik. Dalam konteks lain, para pekebun Belanda di perkebunan karet dan tembakau di pantai timur Sumatra memperlakukan para kuli kontrak Jawa dan Cina laiknya “binatang berbentuk manusia” sehingga mereka dapat menyiksa para kuli itu tanpa merasa bersalah sedikitpun.


Sebagaimana ditulis pada tahun 1936 oleh pemikir nasionalis Indonesia, Sutan Sjahrir, di Hindia, “pemikiran resmi tentang ‘kamp konsentrasi’ belum dilembagakan. Jadi, masih tertinggal di belakang Nazi Jerman. Tetapi, Jerman mungkin saja belajar banyak tentang cara menciptakan lembaga semacam itu dengan mempelajari apa yang diterapkan di Boven Digoel.” Tempat itu merupakan kamp kontroversial tempat para pemimpin politik Indonesia yang dianggap paling berbahaya bagi negara (staatsgevaarlijk) diasingkan pada akhir 1920-an dan 1930-an. Sebuah editorial, The New Republic, pada Oktober 1945, sesungguhnya telah menggambarkan kamp tanah merah Boven Digoel dengan bombastis: The New Republic menyebut Boven Digoel sebagai “salah satu dari kamp konsentrasi yang paling mengerikan di dunia, di rimba berawa tempat berjangkitnya malaria” di New Guinea (Papua) Belanda. Editorial yang diterbitkan sesudah pasukan Sekutu datang itu bukan saja membebaskan kamp konsentrasi Nazi di Polandia dan Cekoslowakia pada akhir musim semi 1945, tetapi juga menyiarkan kekejaman yang telah mereka temukan. Penilaian Amerika itu tentu saja dianggap agak berpihak dan bukan tanpa maksud.


Kalau pembandingan antara perilaku James Cook dalam memperlakukan orang Polynesia di Pasifik dengan gaya memimpin para pekebun Belanda di pantai timur Sumatra tidak mungkin menimbulkan kemarahan pada warga Belanda masa kini, maka analogi antara Hindia Belanda dengan Nazi Jerman menimbulkan “metafora terlarang”. Memang benar bahwa makna tersembunyi di balik budaya Belanda menyiratkan kebutuhan yang tetap “untuk mendefinisikan dan menerangkan kembali arti kebelandaan yang sesungguhnya”. Kepentingan pengarahan sejarah untuk mengganti dan mengubah identitas nasional sering kali menyebabkan proses rekayasa esensi budaya politis Belanda dalam hubungannya dengan budaya lain. Kenyataannya, pada 1991 telah dimulai suatu program penelitian multi disiplin, secara nasional, yang dibiayai oleh suatu lembaga Belanda yang setara dengan lembaga American National Endowment for the Humanities, untuk mencari budaya dan identitas Belanda menjelang pudarnya kesatuan nasional yang mungkin terjadi sejalan dengan berkembangnya Uni Eropa.


Namun demikian, bahkan dalam pendekatan perbandingan yang eksplisit sekalipun, analogi tertentu nampaknya tidak ada masalah, sementara analogi lain terlihat tidak berkaitan dan hanya menyakitkan hati dan menimbulkan frustasi. Namun, pencarian “keinggrisan” dalam perilaku Kapten Cook yang eksentrik dalam lingkungan Polynesia menunjukkan kesamaan yang beralasan; ini adalah analogi yang mungkin sedikit sama dengan kebelandaan yang ada pada perlakuan orang kulit putih yang bermakna ganda terhadap para kuli di perkebunan tembakau dan karet di Deli. Tetapi, pada masa sesudah Perang Dunia II, semua kesamaan antara kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dengan Third Reich dianggap sebagai hal yang tabu. Analogi itu membentuk medan makna yang berada di luar jangkauan kosa kata sehari-hari.


Sebagai contoh, Henk van Randwijk, pendiri dan editor koran bawah tanah yang anti-Jerman pada masa Perang Dunia II, Vrij Nederland, pada 26 Juli 1947 menulis, “Dua tahun sesudah kekalahan Hitler, kita masih belum lupa bahwa kekerasan bersenjata dapat dipakai untuk membela ketidakadilan dan kebiadaban... karena saya orang Belanda, saya berkata TIDAK! Terhadap kebrutalan yang sekarang ini kita lakukan di Indonesia.” Van Randwijk menerapkan “standar yang lebih tinggi” untuk kesantunan manusia dan integritas moral yang dipakainya selama peperangan untuk mengutuk rezim Nazi dan ia sekedar meminta agar prinsip-prinsip etis yang sama diteruskan pada tindakan pemerintah Belanda di Indonesia. Tetapi, lepas dari sosoknya sebagai seorang anti Nazi yang menonjol di Belanda, perbandingan Van Randwijk yang bijak itu dengan Hitler telah menimbulkan kegemparan dan fitnah, yang menyebabkan perpecahan dalam jajaran redaksi Vrij Nederland dan, meskipun sedikit, sekaligus juga menurunkan jumlah pelanggan.


Meskipun begitu, Van Randwijk bukanlah satu-satunya orang yang mengemukakan analogi Hitler itu. Pada Desember 1948, dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris, seorang delegasi Australia memakai “metafora terlarang” yang sama. Dia menuduh pemerintah Belanda telah melakukan kekejaman di Indonesia, yang “lebih buruk dibanding apa yang telah dilakukan Hitler terhadap Belanda.” Wacana tuduh-menuduh itu masih terus berlangsung, bahkan di Belanda masa kini. Ketika Graa Boomsma baru-baru ini mengatakan bahwa anggota militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia “bukanlah perwira SS, tidak, tetapi karena apa yang telah mereka lakukan, mereka dapat dibandingkan (dengan perwira SS)”, atau ketika ia pada 1992 menulis, “Boven Digoel telah ada jauh sebelum Hitler mendirikan kamp konsentrasi di Buchenwald atau (Bergen) Belsen,” sekali lagi Boomsma dianggap telah melampaui batas retorikal, karena dia telah menyinggung nilai kesantunan mantan penduduk kolonial di Indonesia, dengan salah mengemukakan makna rekor politik Belanda di tanah jajahan Indonesia. Boomsma dan wartawan yang mewawancarainya diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyebarkan fitnah, dan itu terjadi di negara yang begitu “demokratis”nya sampai mengizinkan penggunaan mariyuana di tempat tertentu!


Secara resmi Hindia Belanda sendiri memasuki Perang Dunia II pada tanggal 10 Mei 1940 dengan masuknya tentara Jerman ke negeri Belanda dan ketika Gubernur Jenderal pada hari itu juga menyatakan SOB bagi Indonesia. Volksraad atau Dewan Rakyat segera mengadakan sidang istimewa mengenai situasi tersebut dan pada saat yang sama para pemimpin bangsa-bangsa Indonesia dengan pergerakan nasionalnya menyatakan loyalitas mereka serta dukungan terhadap peperangan melawan Jerman. Di luar Volksraad, pemimpin pergerakan lain menyatakan kesetiaan mereka, termasuk yang dibuang oleh pemerintah Belanda. Tjipto Mangunkusumo dalam pembuangannya di Makasar memimpin demonstrasi di depan Gubernur Sulawesi untuk menyatakan dukacita sekaligus loyalitas pada pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi bencana “nasional” yang sedang terjadi. Memang pada waktu itu di dalam pergerakan Indonesia terdapat suatu sikap kuat yang anti-Nazi dan Fasisme, suatu sikap yang kadang-kadang mendominasi perasaan-perasaan anti kolonial. Vlammend Protest, protes bersemangat dari Ratu Wilhelmina terhadap penyerangan Jerman juga menggetarkan hati banyak orang Indonesia yang pada dasarnya mempunyai perasaan sentimentil yang sama terhadap Belanda dan melihatnya sebagai suatu negara kecil yang diserang oleh negara besar. Tidak saja untuk pertama kali Indonesia melihat tindakan peperangan tetapi juga untuk pertama kali setelah sekian puluh tahun dilihatnya pemakaian kekerasan dan perlakuan sebagai musuh terhadap... orang kulit putih! Sebagai contoh adalah Fred Poeppig. Pengarang Jerman ini diinternir oleh Belanda dan baru dibebaskan oleh tentara pendudukan Jepang. Dia melihat bahwa Belanda telah menciptakan suatu hal baru terhadap orang-orang kulit putih di Asia karena tindakannya menangkap orang-orang Jerman yang dilakukan oleh tentaranya yang “berkulit coklat”.


Pertama yang harus diamankan adalah pelabuhan-pelabuhan Indonesia dimana sedang berlabuh kira-kira sembilan belas kapal dagang Jerman. Orang-orang Jerman dan NSB (partai Belanda yang sedikit banyak pro-Nazi dan Hitler) harus diamankan. Kedua hal ini terlaksana dengan efisien dan cepat. Orang-orang Jerman yang sedang liburan di hotel di daerah pegunungan pun dengan segera dapat ditemukan dan segera ditahan untuk dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi bersama orang-orang NSB yang partainya tentu dibubarkan. Dari sembilan belas kapal dagang Jerman, hanya satu yang berhasil ditenggelamkan oleh anak buah kapal sebelum diduduki tentara KNIL. Serdadu-serdadu ini juga akan menginternir orang-orang Belanda nanti. “Se wird es verständlich, wie den prestige des weissen schen damals den vernichtenden schlag erhalten hatte, von den es sich nicht wisder arholte... es waren weisse-ob Deutsche, Holländer, was scherte es siel“ (Jadi dapat dimengerti pada waktu itu bahwa prestise orang-orang berkulit putih telah menerima pukulan yang menghancurkan, dan hal itu tidak akan dapat diperbaiki lagi... mereka adalah kaum kulit putih, orang Jerman atau Belanda. Apa soalnya bagi mereka serdadu-serdadu Ambon).


Menarik untuk diperhatikan disini ialah sebuah surat yang ditulis oleh seorang Belanda anggota NSB yang sedang diinternir kepada Ds. Tichelaar, tokoh yang sangat terkenal di Hindia Belanda tahun 1940. Surat berjudul N.S.B. er brief aan Ds. Tichelaar (Soekabumi, 8 Mei 1942) berbentuk manuskrip setebal 49 halaman dan merupakan semacam vlug schrift (pamflet). Surat ini sangat representatif untuk pikiran orang-orang Belanda pro-Nazi di Indonesia yang mungkin terdiri dari kelompok-kelompok penting dalam BB serta pengusaha-pengusaha besar dalam VC (Vaderlandse Club).


Dalam surat ini dijelaskan bahwa NSB adalah suatu partai yang diakui dan bahwa tuduhan NSB melakukan pengkhianatan sama sekali tidak terbukti di negeri Belanda apalagi di Indonesia; juga bahwa NSB bukan potentieel staatsgevaarlik seperti yang dituduhkan oleh Gubernur Jenderal dan koran-koran waktu itu. Ia juga melukiskan “perlakuan biadab” di kamp-kamp konsentrasi terhadap orang-orang Belanda yang ditahan, yang dilakukan oleh tentara asal Indonesia (Ambon) dan disesalkan bahwa hal itu terjadi di tanah koloni (en dat een kolonial land). Ia juga mengkritik Ratu Belanda yang lari ke London sambil meninggalkan rakyatnya yang dikuasai musuh (Jerman).


Pelaksanaan pengamanan terhadap orang-orang yang dicurigai ini dapat berjalan dengan lancar dan efisien karena sebelumnya sudah ada persiapan-persiapan yang matang. Ketika Jerman memasuki Norwegia dan Denmark maka di Indonesia sudah diadakan persiapan-persiapan guna menghadapi kemungkinan bahwa Negeri Belanda akan terlibat dalam Perang Dunia II. Dalam bulan April keadaan di Eropa menjadi genting, dengan desas-desus bahwa setiap waktu tentara Jerman dapat memasuki negeri Belanda. Di Indonesia sendiri tersiar secara luas kabar burung bahwa orang-orang Jerman yang berada disini, bersama kapal-kapalnya serta dibantu orang-orang NSB, akan memakai kesempatan ini untuk mencoba melancarkan semacam coup yang kemudian akan dibantu oleh Jepang.


Sampai dimana kebenaran hal ini belum bisa dipastikan, tetapi banyak surat kawat dari Berlin ditahan yang memuat kata-kata sandi untuk aksi ini. Tetapi bagaimanapun juga bila kapal-kapal Jerman ditenggelamkan di pelabuhan-pelabuhan, hal ini tentu akan menyukarkan perdagangan dan lalu-lintas.


Pada bulan Mei tahun itu juga ada berbagai persiapan militer. Anehnya tidak saja terhadap Jerman, tetapi juga terhadap... Jepang! Laksamana Madya Helfrich memerintahkan kapal perang Belanda, De Ruyter, untuk mengadakan latihan-latihan perang di Selat Madura (juga untuk menghadapi kapal-kapal dagang Jerman disana bila mencoba melarikan diri). Di utara Pulau Jawa (Laut Jawa), armada Belanda dipusatkan untuk menjaga pintu masuk ke Indonesia dan menghadapi serangan-serangan Jepang dari jurusan utara. Walaupun konsentrasi armada ini mendapat instruksi tegas untuk tidak menghalang-halangi lalu-lintas dagang yang dapat memprovokasi Jepang. Juga Angkatan Udara Kerajaan Belanda disiagakan. Tetapi terutama kapal-kapal selam yang digunakan sepenuhnya untuk menjaga jalan-jalan masuk ke Lautan Indonesia.


Dari bulan Mei 1940 sampai 5 Desember 1941 pemerintah Hindia Belanda selalu waspada dan khawatir akan kemungkinan serbuan dari pihak Jepang. Insiden-insiden dengan kapal-kapal nelayan Jepang terjadi di beberapa tempat dan Belanda selalu khawatir akan serangan tiba-tiba dari Jepang, umpamanya dari kapal-kapal dagangnya. Kapal-kapal penyergap Jerman sendiri kadang-kadang sampai ke lautan sekitar Asia untuk mengganggu perdagangan Sekutu. tetapi Jepang selalu dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya biarpun belum ada pernyataan perang antara Hindia Belanda dan Jepang. Seluruh beban kewaspadaan ini terletak pada pundak Angkatan Laut Belanda di bawah Laksamana Madya Helfrich. Dalam memoarnya, Helfrich menamakan periode itu sebagai De Zenuw-Oerleg (Perang Urat Syaraf).



Sumber :

“Dutch Culture Overseas” oleh Dr. Frances Gouda

“Runtuhnya Hindia Belanda” oleh Onghokham

“Orang dan Partai Nazi di Indonesia” oleh Wilson



1 comment:

Roman90210 said...

sumbernya dari buku Om Hok Ham ya gan.

judulnya Runtuhnya Hindia Belanda