Saturday, August 22, 2009

Partai Fascist Indonesia (PFI) Dan Sejarah Fasisme Di Nusantara

Pemimpin NSB (partai Nazi ala Belanda) Anton Mussert mengeluarkan salam khas 'Houzee'-nya sebelum bertolak untuk mengadakan kunjungan ke Hindia-Belanda (1935)


Penguburan Muhammad Husni Thamrin, 15 Januari 1941. Tampak di depan pemimpin Parindra, Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto, dengan dikelilingi oleh kelompok Pemuda Parindra yang memberikan salam kebesaran Hitler


Para aktivis NSP di dalam kamp interniran di Pulau Onrust, Mei 1940


Awal tahun 1933, berdiri Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie (NIFO) di Batavia. Organisasi ini berkiblat pada organisasi fasis di Jerman dan mengklaim diri sebagai bagian dari Nationaal Socialistische Beweging (NSB) yang didirikan oleh Ir Mussert dua tahun sebelumnya. Seperti halnya kaum Fasis di Jerman, NIFO juga memiliki sayap pemuda militan, Barisan Pemuda, Sebuah pasukan yang mendapat latihan ketentaraan dan berseragam hitam. Sayangnya, tidak semua anggota NIFO setuju dengan pembentukan pasukan ini, dengan alasan akan menimbulkan pertentangan antar golongan di tanah Hindia. Mereka, melalui vergadering dan kursus-kursus politik, gencar menyebarluaskan ajaran fasis.

Awalnya gerakan ini tidak pernah dihiraukan di Hindia. Pemerintah kolonial lebih memfokuskan diri memonitor kaum pergerakan pribumi. NIFO bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ketika kaum NAZI berhasil merebut kekuasaan, Januari 1933, sekelompok warga Jerman di tanah Hindia menyambut dengan antusias dengan menghimpun 1000 tanda tangan orang Jerman di Hindia untuk mendukung pemerintahan Adolf Hitler. Meski tidak seluruh orang Jerman tidak bisa memberikan tanda tangannya, dipastikan hampir seluruh warga Jerman di Hindia mendukung Pemerintahan baru Hitler di Jerman!

Simpati terhadap NAZI Jerman juga ditemui pada sekelompok pemuda Belanda yang berbaris di taman-taman atau jalanan. Mereka mengenakan kemeja krem dengan celana atau rok coklat tua. Setiap berpapasan, mereka saling memberikan Heil Führer atau Heil Hitler (hormat ala kaum NAZI). Ini bukanlah bentuk keberpihakan sepenuhnya pemuda Belanda tadi, melainkan sekedar mode yang musiman saja pada saat itu di kalangan pemuda Indo.

Selama dalam pembuangan di pulau Banda, Sutan Sjahrir melihat suksesnya propaganda fasis. Istri seorang dokter dipulau itu sering menyapa kawan-kawannya dengan Heil Hitler. Istri dokter itu hanya menganggap salam itu bagus dan terkesan modern tanpa mengerti lebih jauh apa itu Fasis!

Setelah propaganda kaum fasis Hindia mulai mempertanyakan “ keabsahan “ pemerintah, pemerintah kolonial berkesimpulan bahwa gerakan fasis akan mengganggu ketertiban umum dan akan mempengaruhi wibawa pemerintah dimata kalangan bumi putra. Polisi kolonial-pun mulai bertindak terhadap kaum fasis ini. Sebuah pertemuan NIFO di Bandung dibubarkan dengan paksa setelah pemimpin NIFO disana menganjurkan agar Hindia lepas dari Negeri Belanda. Kaum fasis yang semakin radikal ini membuat kesal pemerintah kolonial.

Antara anggota NIFO pernah terlibat konflik. Suatu kali Rhemrev, van Huut dan Ten Holder dalam sebuah rapat tertutup mengancam akan mundur dari NIFO bila Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler masuk sebagai dewan pimpinan NIFO. Alasan penolakan itu berkisar pada propaganda fasis, untuk kaum Indo Eropa atau untuk seluruh rakyat Hindia.

Setelah sempat keluar dalam waktu yang tidak lama, Rhemrev, van Huut dan Ten Holder masuk kembali dalam NIFO setelah ada pengumuman bahwa Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler tidak akan dimasukan dalam daftar anggota dewan pimpinan. Dalam "Adil" edisi 29 Juni 1933, Rhemrev menyangkal bahwa dirinya telah keluar dari NIFO.

Masalah apakah NIFO hanya diperuntukan bagi kaum Eropa dan Indo Eropa atau bagi seluruh Hindia menimbulkan perpecahan di waktu yang akan datang. Di kemudian hari anggota yang memandang perlunya fasisme bagi seluruh rakyat Hindia mendirikan Fascistische Unie. Dalam anggaran dasarnya, Fascistische Unie disebutkan:

1.Kerajaan Nederlansche terdiri atas Hindia Timur dengan Hindia Barat;
2.Kerajaan ini harus dibawah Koninghuis Orange;
3.Penduduk baik individual maupun dengan cara bergolong-golong boleh mendapat staats burgerschap dengan berpegang pada adapt golongan masing-masing;
4.Memajukan samenwerking antara golongan antara golongan pendudukberdasar kegunaannya pada staat;
5.Kaum majikan dan kaum buruh, dengan ttidak memandang bangsa akan dianggap sama harganya pentingnya untuk kemajuan staat;
6.Akhir sekali staat dirubah menjadi satu staat yang berdasar syndico-corporatieven grondslag;
7.Mengakui kegunaan agama bagi seseorang dan semua agama harus dimajukan dan paham yang tidak mengakui adanya tuhan dibantah.

Agenda politik organisasi ini menyebut, Negeri Belanda harus diubah menjadi pemerintahan fasis. Kaum pribumi Hindia tidak lepas untuk difasiskan agar bisa menerima Fascistische Staatvorm Negeri Belanda.

Sebuah usaha menyatukan kaum fasis Hindia dilakukan dengan mengumpulkan para wakil dari IEV, VC juga NIFO pada Juli 1933 untuk merumuskan program bersama. Kerjasama ketiga organ itu lebih didasarkan pada tiga program pokok: pembelaan keras untuk kekuasaan (gezeg); membezuinig sehabis-habisnya sehingga bergrooting menjadi klop; menunjang pemutusan hak tanah (grond-rechten) buat kaum Indo Eropa. Hal ini menunjuikan pengaruh VC dan IEV sangat besar pada masa itu. VC sangat memusuhi kaum pergerakan. EIV kesal lantaran tuntutan hak tanahnya ditolak pemerintah atas desakan anggota volksraad pribumi Husni Thamrin. Hingga VC dan IEV menjadi pendukung NIFO dalam mengusung fasisme sebagai bagian dari NSB.
Berdirinya cabang NSB di Indonesia pada tahun 1934, bermula dari kembalinya Mr. Hamer—tokoh VC—dari Negeri Belanda. Hamer mengaku dirinya angggota dan wakil NSB di Hindia Belanda. Banyak pejabat dan pengusaha yang menjadi anggota NSB walau bukan anggota tetap. Sudah pasti mereka tidak akan mau ambil resiko dan terkesan membatasi diri dalam perannya di organisasi. Mereka sering membari bantuan dana bagi para NSB. Bila di Negeri Belanda pegawai sektor public (pegawai negeri) dilarang menjadi anggota NSB, maka anggota NSB Hindia adalah para guru, pegawai dan sarjana!

Untuk merndukung propaganda-nya, NSB memiliki media sendiri, surat kabat Het Licht. Kemenangan kaum Fasis terhadap kaum komunis selalu menghiasi headline surat kabar Fasis itu. Sikap anti pergerakan diperlihatkan kaum fasis dengan memposisikan kaum komunis sebagai kaum yang berbahaya seperti dalam pemberontakannya pada tahun 1926-1927. Kaum pribumi, dimata orang Eropa yang terpengaruh Fasis tidak berbeda dengan kaum komunis, orang Eropa merasa orang pribumi selau memata-matai dan menunggu lengah lalu menikam dari belakang seperti dalam pemberontakan PKI. Apa yang dilakukan kaum fasis tadi, dimata kaum pergerakan sama saja dengan apa yang dilakukan pemerintah colonial, mematikan kaum pergerakan. Sejak dulu setiap kekuatan yang menetang pemerintah selalu dicap ‘komunis’ (merah).

Pengaruh Fasis diterima dengan baik oleh beberapa orang pribumi. Pada bulan Agustus 1933 di Bandung, Dr Notonindito mendirikan Partai Fascist Indonesia (PFI). Partai ini mengusung fasisme demi romantisme sejarah kejayaan budaya dimasa lampau, seperti halnya romantisme Mussolini pada kejayaan Romawi, Italia La Prima. Berbeda dengan fasis Eropa dan Indo yang bisa jadi dilator belakangi oleh kepentingan ekonomi. Pada dasarnya PFI ingin membangun kejayaan kerajaan Indonesia purba macam Sriwijaya atau Majapahit. Gagasan dan cita-cita ini juga mengejutkan kaum pergerakan nasional waktu itu. Notonindito yang pernah tinggal di Jerman rupanya tidak ingin mengikuti fasisme Jerman pada tahun 1924, sebagai orang Jawa dirinya lebih mengakar pada kebudayaan Jawa saja. Ia bukan bermaksud mendirikan Negara korporasi, melainkan sebuah Negara yang dipimpin oleh seorang raja seperti pada masa lampau. Seperti dikutip dalam Adil: “mendapatkan kemerdekaan Djawa dan nanti diangkat raja yang tunduk pada grondwet dan raja ini adalah turunan dari Penembahan Senopati; akan mebangunkan kembali statenbond (Perserikatan Negeri-negeri) dari kerajaan-kerajaan di Indonesia yang merdeka, dimana terhitung juga tanah-tanah raja (Vorstenlanden.
Kaum pergerakan dalam Pemandangan memberikan reaksi kepada PFI. Dengan didahului dengan beberapa tulisannya, diambil kesimpulan bahwa PFI merupakan kelajutan dari cita-cita Soetatmo, juga seorang nasionalis Jawa. Ketika Notonindito di Jerman, 1924, Soetatmo meninggal dunia karena sakit. Surat kabar Adil edisi 26 Juni 1933, mengecam PFI sebagai ‘perkakas politik’ untuk memecah pergerakan nasional. Fasisme dipandang juga sebagai bibit dari sikap provinsialisme yang merugikan. Lebih lanjut dibahas nasionalisme yang dibutuhkan kaum pergerakan untuk rakyat Hindia adalah nasionalisme kerakyatan bukan nasionalisme yang dilandasi jiwa priyayi Jawa dan stelsel kapitalisme. Panji Timoer menuduh, kaum fasis Hindia tidak ubahnya kaum fasis di Eropa, mereka telah ‘membunuh aliran revolusioner’.

Notonindito sendiri adalah putra Raden Pandji Notomidjojo, bekas patih kabupaten Rembang. Pada 1918 ia menamatkan MULO, kemudian melanjutkan pelajarannya di Telefoon Dienst. Pada 1921, ia berangkat ke Belanda untuk mempelajari ekonomi perdagangan. Pada 1923 ia lulus dan meraih gelar adjunc accountant dan bekerja pada kantor akuntan di Amsterdam. Pada pertengahan 1924 ia menuju Berlin (Jerman) untuk melanjutkan studi ekonominya. Pada November 1924 ia meraih gelar Doktor dalam ilmu ekonomi dengan tesis "Sedjarah Pendek Tentang Perniagaan, Pelajaran Dan Indoestri Boemipoetra Di Poelau Djawa". Sepulangnya ke Indonesia, ia membuka kantor di Pekalongan sambil merangkap sebagai anggota PNI. Ia kemudian pindah ke Bandung dan menghilang dari panggung pergerakan. Ketika Partai Nazi memenangkan pemilu di Jerman pada tahun 1933, Notonindito muncul kembali di panggung pergerakan dengan idenya tentang Partai Fascist Indonesia

Akibat serbuan Jerman ke penjuru Eropa, banyak terjadi perubahan atas Hinjdia Belanda. Di Ternate, tempat Didi Kartasasmita Bertugas sebagai Letnan KNIL. Didi melihat, orang-orang Jerman umunya berprofesi sebagai pedagang hasil bumi atau sebagai pekerja di Zending. Setelah penyerbuan itu, orang-orang Jerman itu diasingkan. Biasanya jika serdadu KNIL bangsa Belanda bertemu orang-orang Jerman, mereka akan membuat pesta. Setelah keluar aturan pengasingan bagi orang-orang Jerman, justru orang-orang Belanda KNIL itulah yang menangkapnya. Serdadu-serdadu pribumi justru tidak dilibatkan dalam penangkapan itu.
Pernah Didi mendengar pemisahan Negeri Belanda dengan Hindia Belanda. Banyak orang-orang Belanda Indo mendukung hal ini, orang-orang Belanda totok justru tidak menginginkannya.


Sumber :
Buku "Orang Dan Partai Nazi Di Indonesia" karya Wilson terbitan Komunitas Bambu
www.backpackerindie.blogspot.com
www.axishistory.com

1 comment:

ABG ber-Dragunov said...

Om Alif, kenapa pasukan ABRI nggak bikin KoPaFas (Komando Pasukan Fasis) agar kita bebas dari yahudi??? )))))