Pria bertubuh jangkung dan tegap itu kehilangan mata kiri, lengan kanan, dan dua jari di tangan kirinya. Tapi itu tak melunturkan semangat Claus Philipp Maria Justinian Schenk Graf von Stauffenberg mencoba mengubah garis sejarah pada 20 Juli 1944.
Hari itu Stauffenberg menjadi ujung tombak rencana pembunuhan pemimpin tertinggi Nazi, Adolf Hitler. Namun bom dalam koper yang dibawa Claus von Stauffenberg gagal membunuh Hitler malah ia ditangkap, dieksekusi, dan namanya tenggelam dalam sejarah.
Sosok Stauffenberg kemudian dihidupkan kembali dalam film layar lebar dengan aktor Tom Cruise yang memerankan pemuda aristokrat itu. Film tersebut mengambil judul Valkyrie, sebuah rencana penanganan keadaan darurat yang dibuat Hitler seandainya ada sesuatu terjadi pada dirinya.
Film ini juga memicu kemunculan buku yang membahas hidup dan sepak terjang Stauffenberg seperti yang disusun Peter Hoffman yakni Stauffenberg: A Family History, 1905-1944. Sebelumnya Hoffmann sudah menerbitkan beberapa buku tentang faksi-faksi di Jerman yang menentang Hitler.
Penulis Michael Baigent dan Richard Leigh yang sebelumnya berkonsentrasi pada tema religius seperti The Holy Blood and the Holy Grail pun ikut menulis soal Stauffenberg. Sebelum jadwal rilis pada Juni 2008, keduanya meluncurkan Secret Germany: Stauffenberg and the True Story of Operation Valkyrie.
Bahkan memoar salah seorang konspirator dalam rencana membunuh Hitler, Hans Berd Gisevius, diolah ulang dan diterbitkan dengan judul baru Valkyrie: An Insider’s Account of the Plot to Kill Hitler. Gisevius sendiri banyak dikritik karena bukunya kelewat mengecilkan peran Stauffenberg.
Memang Stauffenberg sendiri agak terlambat masuk gerakan bawah tanah menentang Hitler. Namun penganut Katolik yang taat ini sudah sejak lama tak menyukai kebijakan pemerintahan partai Nazi yang menekan kehidupan beragama dan kekejaman terhadap etnis lain yang dinilainya membuat malu bangsanya.
Penindasan secara sistematis terhadap masyarakat Yahudi yang dijalankan pasukan paramiliter Schutzstaffel (SS) telah dipaparkan secara runut oleh Stephane Downing dalam bukunya Inside The Death Camp. Mulanya mereka dilarang menjadi pegawai negeri, lantas harus memakai tanda bintang kuning pada baju serta mengganti nama depan jadi Israel untuk lelaki dan Sarah bagi perempuan.
Diskriminasi berlanjut dengan larangan berbisnis, berbelanja pada jam yang ditentukan, bahkan ada izin yang membolehkan siapa saja menghancurkan rumah ibadah, tempat usaha, dan rumah mereka. Ujungnya adalah kamp konsentrasi dimana tanpa pandang usia dan jenis kelamin masyarakat etnis ini dipaksa bekerja dengan ransom kuah sup dan roti tipis.
Diskriminasi dan agresi militer yang dijalankan pemerintah jerman kala itu tak lepas dari kebijakan partai Nationalsozialistischen Deutsche Arbeiter Partei atau Nazi yang didirikan Hotler pada 1920. Haluan partai ini berakar dari pemikiran Hitler yang ditulis dalam biografi sekaligus manifesto politiknya, Mein Kampf (Perjuanganku).
Dalam buku versi terjemahan yang dikeluarkan penerbit Narasi ini terbagi menjadi dua volume dimana pada bagian pertama Hitler berfokus pada dirinya mulai dari masa kecilnya hingga perkembangan pemikirannya. Sementara pada bagian kedua Hitler lebih mengurai gagasan partai Nazi.
Dalam banyak bagian terungkap kemarahan-kemarahan Hitler yang seringkali diarahkan kepada kelompok Yahudi. Dalam satu bagian ia bahkan menyebut tujuan akhir Marxisme adalah kehancuran semua negara bangsa non Yahudi dan menuturkan bagaiman kelas pekerja Jerman berhasil bangkit melawannya.
Mein Kampf hanyalah satu dari beberapa buku terbitan Narasi yang mengulas soal Nazi dan perang dunia kedua. Selama dua tahun terakhir penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini memang paling getol menyuplai referensi seputar topik itu baik karya terjemahan maupun kompilasi data oleh penulis lokal.
Pada 2007, misalnya, Narasi menerbitkan Neraka di Stalingrad yang ditulis F. Schneider dan C. Gullans dan Waffen-SS: Mesin Perang Nazi karangan Fernando R. Srivanto. Lalu pada 2008 Narasi meluncurkan Operasi Barbarossa: Ketika Hitler Menyerang Stalin yang ditulis Ari Subiakto.
Sekilas masalah soal perkembangan fasisme ini jauh dari kehidupan Indonesia namun mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, Wilson, berhasil melacak pengaruh gerakan fasisme Hitler di Indonesia pada era penjajahan Belanda. Penelusuran untuk skripsi tersebut dibukukan dengan judul Orang dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Wilson menjelaskan, fasisme masuk ke Hindia Belanda sebagai efek samping dari kebijakan pemerintah kolonial yang membagi warga negara berdasarkan kategori rasial. Saat krisis Eropa menjalar ke tanah jajahan, golongan Indo kecewa dengan keputusan yang menyamakan upah bagi Indo dan bumiputera.
Menurut Wilson kelompok ini merasa terancam akan digeser oleh bumiputera dan punya ketakutan bangsa jajahan ini akan memberontak. Mereka lantas mengadopsi fasisme sebagai paham organisasi dan melancarkan gerakan pemurnian dan proteksi bagi kelompok Indo.
Kalangan pergerakan kemerdekaan juga ada yang mengadopsi fasisme berkaca dari keberhasilan Hitler membangkitkan Jerman dari keterpurukan setelah kalah pada perang dunia pertama. Bekas anggota PNI, Notonindito, mendirikan Partai Fascist Indonesia di Bandung pada 1933.
Ada tiga hal yang menjadi benang merah dari berbagai buku ini, yakni prasangka rasial dan hancurnya kondisi ekonomi yang kini kembali dirasakan secara global. Ketika Hitler mengampanyekan ideologinya, dunia tengah terpuruk akibat anjloknya bursa saham Wall Street yang dikenal sebagai era Great Depression sementara di kawasan Jerman sendiri tengah berkembang sikap antisemit.
Ini tak jauh beda dari kondisi dunia saat ini setelah perekonomian Amerika Serikat yang ambruk dan mulai menjalar ke seluruh dunia. Di sisi lain prasangka rasial terhadap kaum imigran tengah merebak di dataran Eropa.
Mungkin buku-buku tersebut ditrbitkan dengan pertimbangan sisi komersial bahkan sebagian sengaja dimaksudkan mendompleng film Valkyrie. Namun buku bertema Nazi ini bisa menjadi semacam obat pengingat kondisi krisis ekonomi dan sosial yang tak ditangani dengan baik bisa berujung menjadi treagedi kemanusiaan.
Sumber :
www.duniabuku.wordpress.com
No comments:
Post a Comment