Saya menemukan kisah mengharukan ini dalam situs www.axishistory.com, dan kisah ini begitu menyentuh sehingga sayang sekali kalau tidak saya share kepada para pembaca blog ini. Salah satu efek lain lagi dari peperangan yang semoga akan menyadarkan kita...
Makam Tak Berujung
Pencarian Selama 10 Tahun Demi Menemukan Akhir Dari Kakekku Tercinta di Halbe
Oleh : Roland Fogt
Surat bertahun 1960 dari Kantor Pencarian Palang Merah Jerman di Münich itu telah menguning karena termakan usia, tapi kata-kata “durch Grenatsplitter in Ringenwalde bei Berlin” (tewas oleh pecahan granat di Ringewalde dekat Berlin) masih terus menghantuiku. Apa sesungguhnya yang telah terjadi pada kakekku, dan dimanakah tempat peristirahatannya yang terakhir?
Sesungguhnyalah, motivasi pertama dari pencarian yang seakan tak berujung dari kakekku datang dari kecintaanku pada genealogi. Aku telah mengumpulkan catatan tak terhitung akan nenek moyangku, rekaman terperinci akan setiap bagian dari hidup mereka. Pada akhirnya, catatan kakekku sendiri mengandung bagian yang sangat mengganggu pikiranku. Setiap saat terpenting dalam hidupnya; kelahirannya, kehidupannya dari kecil sampai dewasa, pernikahannya, repatriasinya, semuanya terdokumentasikan kecuali satu. Setiap saat aku kembali untuk melihat dokumen-dokumen tua yang telah menguning ini, hanya untuk mencari jawaban yang tak pernah bisa kutemukan. Salinan wajib militer Volkssturmnya kadang membuatku gusar ketika membayangkan bahwa laki-laki yang telah berusia 57 tahun ini meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk terjun dalam peperangan yang dia tahu pasti akan berakhir dengan kekalahan.
Aku alihkan kemarahanku kepada keyakinan dan tekad untuk mencari tahu penyebab sebenarnya dari kematiannya. Aku hubungi sepupuku Karl Hoeffgen di Jerman, yang juga seorang veteran perang dan anggota dari VdK, organisasi veteran Jerman. Karl mengajukan permohonan yang dimuat dalam laporan berkala VdK tahun 1987, guna meminta pertolongan sumbangan informasi dari siapapun yang mengetahui akan unit ini – Volkssturm Battalion Martin 36/169. Tak banyak harapanku saat itu, karena aku tahu bahwa unit itu kebanyakan hanyalah berisi orang-orang tua. Tahun demi tahun berlalu tanpa ada perkembangan berarti. Aku tak putus harapan, dan meminta pertolongan yang sama pada organisasi Palang Merah Jerman, hanya untuk menerima jawaban pendek bahwa fakta yang ada tak beranjak dari apa yang hadir di tahun 1960.
Meninggalnya ayah yang kucintai di tahun 1992 telah membatasi semangatku, karena aku dihadapkan pada masalah-masalah mendesak di keluargaku sendiri. Ayahku, yang juga veteran Wehrmacht, dengan teliti telah menyimpan setiap catatan dan rincian dari kehidupannya. Ketika aku mulai menyaring data-data yang disimpan oleh ayahku selama bertahun-tahun, aku mulai menemukan kembali nama dari kakekku, yang selalu muncul di setiap kesempatan. Ini membuat semangatku kembali muncul. Pada tahun 1996 aku menyengajakan diri terbang ke Eropa khusus untuk masalah ini. Aku mulai dari desa kecil tempat kelahirannya di Kolonie Jozefin, yang saat ini menjadi bagian dari Polandia selatan. Dari sana aku menuju Berlin untuk menyiapkan diri mengunjungi desa Ringenwalde yang berada di timur laut Berlin. Desa inilah, seperti yang disebutkan dalam surat Palang Merah Jerman, yang menjadi lokasi kematian kakekku. Betapa ironisnya, ketika aku tahu bahwa dia pernah tinggal pula di tempat ini pada tahun 1926 dalam kapasitasnya sebagai pelayan pribadi Countess Von Saldern-Ahlimb. Aku dapat mencari tahu bagian lain dari kehidupannya ini sebagai pelengkap lain dari pencarian akan kuburannya.
Tak lama semenjak aku menetap di sebuah Gasthaus kecil di desa tersebut, aku lalu “diadopsi” oleh pasangan Jerman tua yang juga sedang mengadakan kunjungan kesana. Mereka meminta apakah aku berkenan untuk menemani mereka menuju Monumen Seelow Height. Aku dengan senang hati menerimanya. Seelow Height, sebuah punggung bukit yang terletak di atas pinggiran sungai Oder, adalah saksi dari pertempuran dahsyat antara Jerman dan Rusia di bulan-bulan akhir Perang Dunia II. Monumen dan musiumnya, meskipun cukup menarik, tak menampakkan satu titik cahayapun untuk pencarianku. Aku menghabiskan hari itu dengan mencari di pemakaman lokal Ringenwalde, dan menemukan beberapa batu nisan bertanda “Prajurit Jerman Tak Dikenal”. Aku membayangkan akan beratus-ratus ribu batu nisan seperti ini yang tersebar di setiap lokasi pemakaman kota-kota kecil Jerman. Apakah salah satu di antaranya menyimpan jenazah kakekku?
Di sore hari sekembalinya di Gasthaus, pasangan baik hati itu memperkenalkanku dengan warga lokal yang juga merupakan seorang sejarawan amatir. Dia melihat surat dari Palang Merah itu, peta yang dipunyainya, lalu mengumpulkan sedikit kenangan yang masih tersisa untuk kemudian menyimpulkan, “surat ini salah”. Bagaimana mungkin, tanyaku? Dia lalu menerangkan dengan sabar bahwa berdasarkan dari keterangan tanggal kematian yang tertera pada surat tersebut, lalu membandingkannya dengan lokasi dari pasukan Rusia yang menyerang, maka seharusnyalah pertempuran telah berhenti di Ringenwalde berhari-hari sebelumnya. Dia lalu menunjukkan padaku peta sebuah desa lain dengan nama yang sama, Ringenwalde, yang terletak di tenggara Berlin, di sebuah wilayah dimana di dalamnya pernah terperangkap pasukan Tentara ke-9 Jerman di bawah pimpinan General der Infanterie Theodor Busse dalam hari-hari akhir perang. Aku begitu kecewa bahwa penantianku di desa ini berakhir dengan ketiadaan, tapi begitu bersemangat pula untuk memulai kunjunganku yang baru.
Aku ingin berkata, bahwa kebaikan dari begitu banyak orang asing, yang beberapa tahun sebelumnya masih merupakan musuh di era Perang Dingin, menunjukkan bukti tak terbantahkan bahwa pada dasarnya manusia dipenuhi oleh rasa kemanusiaan akan sesamanya. Berbulan kemudian di tahun yang sama aku mengadakan liburan di institut Goethe lokal di St. Louis, dan disana seorang wanita muda dari Jerman mendengar cerita tentang kunjunganku ke Jerman. Dia lalu menyarankan untuk menghubungi sebuah organisasi bernama “Volksbund der Deutsche Kriegsgraberfursorge”, Komisi Pekuburan Perang Jerman. Tak hanya itu, dia juga memberitahuku alamat suratnya. Tentu saja aku sangat berterimakasih, dan pada bulan Desember 1996 aku mengirimkan permintaan tertulis pada organisasi tersebut. Tepat satu bulan kemudian aku menerima surat balasan yang sebagiannya berbunyi :
“Dear Mr. Fogt,
Kami telah menerima surat anda, dan setelah meneliti catatan-catatan yang kami miliki, kami dapat menyimpulkan kepada anda bahwa kakek anda dimakamkan di pekuburan Muckendorf, wilayah Zossen.”
Aku diliputi oleh emosi. Kalau saja aku tahu keberadaan organisasi ini sembilan tahun sebelumnya! Aku tak pernah menduga bahwa sebenarnyalah pencarianku jauh dari akhir. Segera aku salin surat tersebut dan mengirimkannya ke sepupuku Dr. Helmut Fogt, yang sedang bersiap untuk pindah ke Berlin seiring dengan pergantian pusat pemerintahan. Di titik ini Dr. Fogt mengambil alih pencarian untuk selanjutnya. Dia berkelana ke Muckendorf hanya untuk menemukan sebuah pekuburan kecil dengan lebih banyak batu nisan bertandakan “Prajurit Jerman Tak Dikenal”. Dia tak melihat tanda-tanda keberadaan makam kakekku. Pembicaraan singkat dengan Burgermeister lokal dan petani sekitar mengungkapkan bahwa satu dekade sebelumnya pekuburan massal disini telah direlokasikan ke sebuah desa bernama Halbe, tak jauh dari situ. Dr. Fogt melanjutkan perjalanannya ke Halbe dan mendapati sebuah pekuburan bernama Waldfriedhof Halbe, yang merupakan salah satu pekuburan terbesar yang menyimpan lebih dari 20.000 prajurit Jerman zaman Perang Dunia II. Pekuburan itu tak dilengkapi dengan indeks nama, dan lebih dari setengah makamnya ditandai dengan kata sederhana “Unbekannt” (Tak Dikenal). Banyak dari makam itu yang merupakan kuburan massal yang diisi oleh 30, 50, 100 atau 150 prajurit yang tak diketahui namanya. Dengan diiringi salju dan hujan yang turun begitu deras, sepupuku dan keluarganya meneliti satu demi satu batu nisan yang bagaikan tak terhitung untuk melihat apakah ada nama kakekku yang tertera disana. Usaha itu tetap tak mendatangkan hasil...
Beberapa hari kemudian dia mengunjungi kantor pencatat lokal di Teupitz. Tampaknya ini adalah usaha terakhir keluarga kami setelah sekian lama berakhir dengan kegagalan demi kegagalan. Pencarian lewat komputer untuk mencari nama kakekku tak pula mendatangkan hasil. Petugas jaga yang ramah itu lalu mencoba untuk mencari catatan dan dokumennya secara manual. Tak lama, dia menyerahkan sebuah dokumen yang telah sobek dan menguning, yang di dalamnya berisi 14 nama. Ketiga dari bawah terteralah :
12? Fogt, Jakob geb. 19.8.1887 Lublin
Wehrpass: ev. Verh. Gartner W.B.K. Lissa/Wartheland
Pada akhirnya, penguburan kakekku di Waldfriedhof Halbe secara resmi terdokumentasikan. Aku merasa sedikit kecewa karena tidak mengetahui persis lokasi dikuburkannya, tapi ketika aku sadar bahwa lebih banyak lagi prajurit tak bernama yang terbaring disana, aku bersyukur pada Tuhan karena mengetahui lokasi keberadaannya. Aku berkunjung ke Halbe tahun berikutnya, sebuah tempat yang mudah dijangkau hanya dengan berkereta api atau menggunakan mobil dari Berlin. Aku tak bisa berkata apa-apa ketika telah berada di tengah lokasi dari sebuah pemakaman massal yang menyimpan begitu banyak batu nisan tak bertanda. Ketika berjalan menyusurinya, banyak pikiran muncul di benakku; keadaan buruk yang membuat kakekku berakhir disini; harapan bila saja ayahku masih hidup dan menemaniku saat ini; dan ketololanku karena tak menyiapkan diri dengan membawa bunga sekedarnya agar aku bisa meletakkannya di makam manapun yang kuinginkan. Aku memetik sebuah geranium lalu kubaringkan di monumen pekuburan tersebut, sebagai perlambang dari sepuluh tahun yang telah kulalui demi bisa berada disini saat itu. Sebuah campuran perasaan kepuasan dan ketenangan hadir dalam diriku.
No comments:
Post a Comment