Tentara Jerman dalam parade kemenangan di kota Oslo, Norwegia
Max Manus dalam suatu pertempuran di daerah bersalju yang merupakan pemandangan khas Eropa Utara
Apakah ini wajah aslinya Max Manus? Kalau penasaran, lihat saja filmnya!
“Negaraku dicuri dariku… dan aku menginginkannya kembali”. Itulah satu-satunya kalimat ‘patriotik’ yang diucapkan Max Manus, pahlawan nasional Norwegia, dalam film Max Manus.
Selebihnya, Max Manus itu bercerita tentang perjuangan Maximo Guillermo Manus, salah satu tokoh gerakan perlawanan bawah tanah terhadap tentara pendudukan Nazi Jerman di Norwegia pada masa Perang Dunia II. Sebuah kisah perjuangan nyata yang penuh drama, tapi tetap realistis.
Film berbahasa Norwegia ini diarahkan oleh sutradara Joachim Rønning dan Espen Sandberg. Mereka sebelumnya dikenal saat menyutradarai film koboi Bandidas (2006), yang dibintangi Salma Hayek dan Penelope Cruz.
Kisah nyata kehidupan Max Manus memang dramatis, bagaikan sebuah cerita fiksi. Dengan menggunakan peralatan seadanya, ia dan kawan-kawan sukses memporakporandakan pasukan Nazi dan lolos dari kejaran polisi rahasia Gestapo hingga perang usai, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pengawal pribadi raja Norwegia.
Namun, Max bukanlah seorang superhero. Ia digambarkan sebagai manusia biasa yang selalu terganggu tidurnya dengan memori perang melawan Rusia saat membantu negara tetangganya, Finlandia, pada musim dingin 1939. pulang dari perang itu, Max mendapati negerinya sendiri sudah diduduki oleh Nazi Jerman.
Berbekal pengalaman perang dan pengetahuan menggunakan senjata, Max bergabung dengan anak-anak muda Norwegia untuk membuat gerakan perlawanan. Mereka melawan, mulai dengan membuat selebaran propaganda hingga merencanakan sabotase amatir dengan menggunakan dinamit.
Namun, miskinnya pengalaman membuat gerakan mereka tercium Gestapo. Max, yang tertangkap basah menyembunyikan sekotak dinamit di bawah tempat tidur, nekat melarikan diri dengan melompat dari lantai dua apartemennya dan terluka parah.
Sempat dirawat di bawah penjagaan ketat Gestapo, Max kembali melarikan diri dengan bantuan teman-temannya dan lolos ke Skotlandia. Sejak itulah ia menjadi buruan utama Siegfried Fehmer (Ken Duken), komandan Gestapo di Norwegia.
Di Skotlandia, Max bergabung dengan pasukan kemerdekaan Norwegia dan mendapat pelatihan sebagai pasukan komando spesialis sabotase. Dalam aksi pertama mereka tahun 1944, Max dan pasukannya meledakkan kapal-kapal angkatan laut Nazi Jerman (Kriegsmarine) di pelabuhan Oslo.
Untuk menyamarkan aksi sabotase itu dan menyelamatkan rakyat sipil Norwegia dari balas dendam tentara Hitler, Max dan kawan-kawannya sengaja memakai seragam tentara Inggris dan menempelkan pesan dalam bahasa Inggris di kapal Jerman. Seusai beraksi, mereka melarikan diri ke Swedia, satu dari sedikit negara negara Netral Eropa dalam Perang Dunia.
Max bersembunyi di kedutaan besar Inggris di Stockholm, yang mendukung gerakan perlawanan di Norwegia dengan menyuplai persenjataan. Disana, Max bertemu dan jatuh cinta kepada seorang petugas penghubung kedutaan yang bernama Ida Nikoline “Tikken” Lindebrække (Agnes Kittelsen).
Bulan Januari 1945, Max kembali beraksi dan menenggelamkan SS Donau, kapal pengangkut bala bantuan untuk pasukan Jerman yang sudah terdesak pasukan Sekutu di Eropa Daratan. Ia juga meledakkan balai kota Oslo, tempat arsip anggota gerakan perlawanan Norwegia disimpan.
Namun, keberhasilan ini dibayar dengan tewasnya satu demi satu sahabat Max. Bahkan, ia pun nyaris terbunuh saat melarikan diri setelah meledakkan balai kota.
Kiprah Max pun memicu balas dendam brutal dari tentara Nazi. Dalam waktu singkat, tempat persembunyian gerakan perlawanan ini terbongkar dan hampir seluruh teman Max dibunuh.
Max mulai mempertanyakan makna perang dan mencari pelarian dalam alkohol. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri karena selalu lolos dari maut saat teman-temannya mati.
Max Manus bukanlah film Hollywood yang meromantisasi dan merayakan perang dengan menonjolkan adegan tembak-tembakan atau memaksimalkan bumbu kisah percintaan Max-Tikken.
Ini juga bukan film Indonesia yang suka mendramatisasi film perjuangan dengan riuh pekik kemerdekaan atau dialog muluk-muluk para pejuang. Film Norwegia ini menampilkan drama dan realitas perang beserta akibatnya dengan dingin dan apa adanya. Namun, dengan cara itu, sosok Max Manus justru tampil utuh dan nyata.
Sumber :
Koran “Kompas” edisi Minggu, 4 Oktober 2009
www.tonjeabrahamsen.wordpress.com
No comments:
Post a Comment