“Marseille adalah virtuoso tak tertandingi di antara semua pilot tempur dalam Perang Dunia II. Prestasi yang telah dicapainya telah dikatakan sebagai hal yang mustahil, dan tak ada yang mampu melewatinya bahkan setelah kematiannya.”
Oleh : Alif Rafik Khan
Hans-Joachim Marseille (13 Desember 1919-30 September 1942) adalah pilot Luftwaffe super jago, mengerikan, dahsyat, yang malang melintang di langit Afrika dan tak terkalahkan oleh lawan-lawannya, meskipun mereka berlipat jumlahnya dibandingkan dia ataupun pesawat dan persenjataan mereka jauh lebih canggih dibandingkan pesawat yang dipilotinya! Selain itu, Marseille juga terkenal karena sifatnya yang pemberontak, flamboyan dan seenaknya, suatu gaya yang malahan menambah kharisma pada wajahnya yang sangat tampan. Tak diragukan lagi, Marseille adalah salah satu pilot paling mengerikan yang pernah dilahirkan di dunia, malah saya pribadi berkeyakinan bahwa orang ini adalah PILOT TEMPUR PALING JAGOAN, JAGO DARI SEMUA JAGO!!!
Saya pasti tak sembarangan sehingga berpendapat seperti itu, dan tampaknya setiap orang yang pernah membaca biografinya pasti akan beranggapan sama. Untuk itulah saya sajikan kisah hidup dari pilot jenius ini, agar orang yang tidak mengetahui menjadi tahu. Sekedar informasi, Marseille terkenal karena kehebatannya di front Afrika, sehingga dia mendapat julukan “Bintang Afrika” (Star of Africa). Memang kalau dilihat dari prestasinya yang telah menembak jatuh 158 pesawat musuh, 151 diantaranya dicatatnya di medan perang Afrika yang kering dan berdebu, melawan British Commonwealth’s Desert Air Force yang jauh lebih superior dalam segala hal. Pesawat favoritnya adalah Messerschmitt Bf 109, dan dia memang menggunakan pesawat ini di seluruh pertempuran yang dilakoninya. Cukuplah sejarah mencatat bahwa tak ada pilot Jerman lain yang berhasil menghancurkan pesawat Sekutu (Inggris, Negara Persemakmuran dan Amerika) lebih banyak dibandingkan Marseille!
Ketampanan Marseille yang terkenal didapatnya dari darah Huguenot Prancis ayahnya, Siegfried Marseille, yang juga merupakan seorang jenderal Luftwaffe dalam Perang Dunia II. Hal ini pula yang membawa nama “Marseille”, nama yang asing buat seorang Jerman. Dia bergabung dengan Luftwaffe pada tahun 1938, dan di usianya yang ke-20 tahun, dia berhasil menyelesaikan pendidikannya di salah satu sekolah pilot tempur Luftwaffe, bertepatan dengan pecahnya Battle of Britain yang melegenda. Catatan awalnya tidak menunjukkan hal yang istimewa, dan Marseille masihlah seorang anak muda yang kurang pengalaman. Tapi tampaknya, yang menonjol dari Marseille di masa-masa awalnya tersebut lebih pada sifat urakannya, dimana dengan mengandalkan ketampanannya, Marseille sering terlalu sibuk dengan ‘kegiatan’ malam harinya sehingga kadang dia begitu lelah pada pagi hari sehingga tidak dapat terbang dan bertempur. Sebagai akibatnya, Marseille dipindahkan ke unit lainnya, yang kemudian mendapat penugasan di ranah Afrika pada tahun 1941 yang asing dan begitu berbeda dengan Eropa.
Di bawah bimbingan komandan barunya, yang bisa melihat potensi tersembunyi yang dahsyat dalam diri perwira muda urakan ini, Marseille mulai mengembangkan kemampuannya sendiri sebagai seorang pilot tempur. Dan memang, kejeniusan Marseille mulai mengemuka dibandingkan dengan sifat selenge’annya yang masih tersisa. Puncak prestasi Marseille didapatnya tanggal 1 September 1942, ketika dalam jangka tiga misi tempur di hari itu, Marseille berhasil menembak jatuh 17 pesawat musuh! Suatu prestasi yang gila-gilaan, dan membuat Adolf Hitler tak ragu lagi untuk mengganjarnya dengan Ritterkreuz mit Eichenlaub, Schwertern und Brillanten (Knight’s Cross with Oak Leaves, Swords, and Diamonds), hanya 29 hari berselang. Sayangnya, kisah hidup Marseille ditakdirkan tidak bertahan lama. Dia terbunuh dalam kecelakaan di udara, ketika kerusakan mesin memaksanya untuk meninggalkan pesawatnya di udara. Setelah dia keluar dari kokpit yang dipenuhi asap tebal, dada Marseille terkena oleh stabilisator vertikal pesawatnya sendiri dalam suatu tumbukan keras, yang mungkin membunuhnya seketika, atau membuatnya kehilangan kesadaran sehingga tak dapat membuka parasutnya sendiri. Marseille tewas bukan karena musuh, tapi karena faktor pesawatnya sendiri!
OK, di atas adalah deskripsi singkat dari Hans-Joachim Marseille. Marilah kita beralih pada biografi lengkapnya. Go!
Hans-Joachim “Jochen” Walter Rudolf Siegfried Marseille dilahirkan di Berlin-Charlottenburg Berliner Strasse 164 pada tanggal 13 Desember 1919 jam 11.45 malam dari ayah bernama Siegfried Georg Martin Marseille (saat itu berpangkat Hauptmann) dan ibu bernama Charlotte Marie Johanna Pauline Gertrud Riemer, sebuah keluarga berdarah Huguenot Prancis. Sebagai seorang bocah, dia secara fisik lemah dan malah hampir mati karena kasus flu yang sangat serius. Ayahnya adalah perwira Angkatan Darat Jerman dalam Perang Dunia I, dan kemudian meninggalkan kemiliteran untuk bergabung di dinas kepolisian Berlin. Pada tahun 1935 Siegfried bergabung kembali dengan Angkatan Bersenjata Jerman, dan dipromosikan menjadi Jenderal tahun 1935. Dipromosikan kembali, Siegfried menjadi seorang Generalmajor tanggal 1 Juli 1941. dia bertugas di front Timur sejak bermulanya Operasi Barbarossa, dan kemudian terbunuh oleh para partisan dekat Petrykaw tanggal 29 Januari 1944. Ayah dari Jochen ini lalu dimakamkan di pekuburan Selasje. Hans-Joachim juga mempunyai seorang saudara perempuan yang sangat disayanginya, bernama Ingeborg “Inge”. Sewaktu sedang menikmati izin berobat di Athena akhir Desember 1941, Jochen mendapat panggilan segera ke Berlin lewat telegram dari ibunya. Ketika tiba di rumah, dia mendapati bahwa adik tercintanya telah dibunuh secara keji oleh salah seorang “pencinta yang cemburu”. Begitu hancur hati Jochen, dan dia tak pernah sembuh dari rasa keterhilangannya yang hebat ini!
Orangtuanya sendiri telah bercerai ketika Jochen masih seorang bocah cilik, dan ibunya kemudian menikah kembali dengan seorang petugas polisi bernama Reuter (bukan kantor berita ya!). Jochen lalu menggunakan nama belakang ayah tirinya tersebut pada namanya sendiri di sekolah. Hal tersebut sebenarnya tidak bisa diterima oleh Jochen, sehingga ketika ia telah beranjak remaja, nama ayah kandungnya kembali disematkan pada nama Hans-Joachim.
Bahkan dari sejak masih sekolah, kebiasaan tidak disiplin Jochen telah memberinya banyak terkena masalah dan membuatnya dijuluki sebagai pemberontak. Kebiasaan ini pula yang nanti akan menjadi karakteristiknya pada masa awalnya di Luftwaffe. Jochen juga mempunyai hubungan yang buruk dengan ayahnya, Jenderal Siegfried Marseille. Dia menolak untuk mengunjungi ayahnya tak lama setelah perceraian kedua orangtuanya, meskipun dengan susah payah akhirnya mampu menutupi luka hatinya tersebut dan berbaikan kembali dengan ayah kandungnya. Ayahnya pula yang mengenalkan Jochen muda pada kehidupan malam, sesuatu yang hampir membuatnya gagal pada awal karir militernya. Tapi semua itu hanya sementara, dan hubungan keduanya tetap buruk. Jochen tak pernah lagi bertemu dengan ayahnya sejak saat itu...
Jochen lalu bersekolah di Volksschule ke-12 di Berlin (1926-1930), dan dari umur 10 tahun, di Prinz Heinrich Gymnasium di Berlin-Schöneberg (1930-1938). Pada awalnya, Jochen digolongkan oleh guru-gurunya sebagai murid yang malas, yang mempunyai hobi menjahili teman-temannya dan selalu terkena masalah. Pada akhirnya, Jochen mulai menganggap pendidikannya secara lebih serius, dan akhirnya lulus awal tahun 1938 sebagai salah satu lulusan termuda di usianya yang ke-17 tahun lebih enam bulan! Dari sana Jochen telah mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang “perwira udara”.
Meskipun secara fisik Jochen tidak bertubuh atletis, tapi Jochen tetap mendapat penilaian bagus selama pelatihannya bersama Reichsarbeitsdienst (Jasa Buruh Negara) Abteilung 1/177 di Osterholz-Scharmbeck dekat Bremen, antara tanggal 4 April dan 24 September 1938.
Dia bergabung dengan Luftwaffe tanggal 7 November 1938 sebagai Fahnenjunker (kandidat perwira) dan menerima pelatihan militer dasarnya di Quedlinburg di wilayah Harz. Pada tanggal 1 Maret 1939 Jochen dipindahkan ke Luftkriegsschule (LKS 4) dekat Fürstenfeldbruck. Di antara teman sekelasnya adalah juga calon jagoan Luftwaffe lainnya, Werner Schroer. Schroer mengenang bahwa Jochen selalu terkena masalah yang berhubungan dengan kedisiplinan. Akibatnya, seringkali Jochen harus tinggal di markas sementara teman-temannya pergi menikmati liburan akhir pekan! Tapi Jochen bukan orang yang ‘pasrah’ dengan keadaan ini. Berkali-kali dia meninggalkan pesan untuk Schroer : “Aku pergi! Kerjakan tugas-tugasku OK,” Dalam salah satu kesempatan, ketika sedang mendemonstrasikan terbang lambat keliling, Jochen memisahkan diri dan lalu bergaya seakan-akan sedang melakukan pertempuran udara (dogfight). Dan seperti biasa, Jochen langsung mendapat sanksi berat dari atasannya, Hauptmann Müller-Rohrmoser, dengan tidak diperbolehkan untuk terbang sementara dan penundaan promosinya menjadi Gefreiter. Tak lama setelah itu, dalam penerbangan ke daerah pedesaan, dia mendarat di jalan tol (Autobahn) yang sepi di antara Magdeburg dan Braunschweig. Apa maksudnya Jochen berbuat se-ekstrim itu? Ternyata dia langsung pergi ke balik sebuah pohon hanya untuk... buang hajat! Beberapa petani yang penasaran datang untuk melihat sang pilot sekaligus menawarkan bantuan. Tapi ketika mereka sudah tiba, Jochen sudah keburu pergi dan yang ada malah, para petani malang tersebut langsung bertiarap di tanah ketika Jochen yang sedang terburu-buru lalu tinggal landas ke arah mereka! Tentu saja para petani tersebut marah besar, dan lalu melapor kepada atasan Jochen, dan akibatnya, dia kembali dilarang untuk terbang. Ketika teman-temannya lulus awal tahun 1940 dengan pangkat perwira penuh, Jochen masih ‘berkutat’ dengan pangkat Oberfähnrich akhir tahun 1941!
Jochen menyelesaikan pelatihannya di Jagdfliegerschule 5 di Wien-Schwechat dimana dia ditempatkan tanggal 1 November 1939. saat itu, Jagdfliegerschule 5 berada dibawah pimpinan dari mantan jagoan terbang Jerman dalam Perang Dunia I dan juga penerima Pour le Mērite, Eduard Ritter von Schleich. Kali ini dia berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang memuaskan (18 Juli 1940) dan langsung ditempatkan di Ergänzungsjagdgruppe Merseburg. Unit Jochen mendapat tugas pertahanan udara di atas pabrik Leuna dari awal perang sampai kejatuhan Prancis.
Tanggal 10 Agustus 1940 Jochen dipindahkan ke 1.Jagd/Lehrgeschwader 2 yang berpangkalan di Calais-Marck, untuk memulai operasi melawan pilot-pilot RAF di daratan Inggris. Disini dia juga mendapat penilaian yang sangat memuaskan, kali ini dari komandannya, Hauptmann dan Gruppenkomandeur Herbert Ihlefeld.
Dalam dogfight pertamanya di atas Inggris (24 Agustus 1940), Jochen terlibat dalam pertempuran sengit selama empat menit dengan lawan yang berpengalaman. Dia berhasil mengalahkan lawannya tersebut dalam pertempuran sengit jarak dekat, dengan berada dalam posisi yang lebih menguntungkan sebelum menukik dan menembak. Tembakannya berhasil mengenai mesin pesawat lawan, membuatnya langsung meluncur turun bersama asap di selat Inggris. Catat saudara-saudara : ini adalah korban pertama Hans-Joachim Marseille. Tak lama, Jochen sudah mendapati dirinya diserang dari atas oleh lebih banyak pesawat musuh! Bakat jeniusnya langsung tampak : Dia memacu pesawatnya untuk melakukan tukikan super tajam, untuk kembali ke atas hanya beberapa meter sebelum menyentuh air! Dengan cara ini, dia berhasil menghindarkan pesawatnya dari serangan gencar senapan mesin pesawat yang memburunya. “Setelah keluar dari tukikan tajam di atas air tersebut, aku langsung pergi, dan tak ada yang berani mengikutiku. Aku kembali ke pangkalanku di Leeuwarden,” kata Jochen kemudian.
Atas ‘pembunuhan’ pertamanya ini, ternyata Jochen sama sekali tidak menganggapnya sebagai sebuah kenikmatan, dan malah dia merasa sulit menerima kenyataan yang harus dihadapinya dalam pertempuran udara tersebut. Dalam surat untuk ibunya, tertanggal 24 Agustus, dia berkata :
“Hari ini aku menembak jatuh lawan pertamaku, dan aku tidak merasa senang karenanya. Aku terus berpikir bagaimana perasaan ibu dari pilot muda ini ketika dia menerima berita kematian anaknya, dan akulah yang menyebabkannya! Aku sedih, ibu... tak ada sedikitpun rasa bahagia di hatiku akan kemenangan ini.”
Dalam sorti keduanya, Jochen membukukan kemenangan keduanya, dan pada sorti kelima dia telah mencetak empat kemenangan! Ketika kembali dari misi pengawalan bomber tanggal 23 September 1940, mesinnya mengalami kerusakan setelah terlibat dalam pertempuran udara di atas Dover : dia berusaha memberitahu lewat radio akan posisinya tapi kemudian terpaksa bail-out (loncat) ke laut yang dingin. Jochen berusaha berenang selama tiga jam sebelum berhasil diselamatkan oleh Heinkel He 59 float plane yang berpangkalan di Schellingwoude. Jochen benar-benar hampir mati karena kelelahan dan juga dari pengaruh dinginnya samudera, sehingga dia segera dikirimkan ke rumah sakit tentara. Pada hari itu, I.(J)/LG 2 mengklaim tiga kemenangan dan kehilangan empat Bf 109.
Beberapa hari kemudian, Jochen akhirnya dianggap layak untuk naik pangkat, meskipun dengan pangkat barunya, dia tetap menjadi satu-satunya Fähnrich di seluruh Geschwader! Ini adalah penghinaan buat dirinya, karena dia selalu mendapat tekanan untuk mencetak prestasi di udara sementara nantinya yang akan mendapat segala pujian dan kehormatan adalah komandan skuadronnya!
Karena merasa frustasi, kebiasaan buruk Jochen muncul kembali, sifat pemberontaknya timbul.. tapi dengan cara yang luar biasa! Dalam salah satu dogfight dimana Jochen dan kameradnya harus menghadapi musuh yang berlipat dua, dia diperintahkan untuk mengalah dan kembali ke pangkalan. Tapi ketika melihat bahwa musuh mengincar pemimpin wingnya, Jochen keluar dari formasi pesawat lainnya yang mundur dan segera memburu pesawat tidak tahu diuntung tersebut untuk kemudian menembaknya jatuh! Ketika tiba di pangkalan, Jochen tidak mengharapkan apapun selain ucapan “bagus, Jochen”, tapi yang ada kemudian adalah dia dikritik habis karena tindakannya yang melanggar perintah, dan dilarang terbang selama tiga hari!
Tak lama kemudian, di awal Oktober 1940, setelah berhasil mengemas tujuh kemenangan bersama I.(Jagd)/LG 2, Jochen ditransfer ke 4./Jagdgeschwader 52. Disini dia berkesempatan terbang bersama jago-jago Luftwaffe yang sudah lebih dahulu terkenal seperti Johannes Steinhoff dan Gerhard Barkhorn. Di sini Jochen berhasil menambah empat pesawat sebagai daftar korbannya. Rumor kencang berhembus menyebutkan bahwa dia menyenangi musik jazz, gonta-ganti pacar, tidak menyenangi perannya sebagai wingman, dan bergaya hidup “playboy”. Karena itulah Steinhoff lalu ‘menyingkirkannya’ sebagai hukuman ke Jagdgeschwader 27 tanggal 24 Desember 1940. gruppenkomandeurnya yang baru adalah Eduard Neumann. Tidak seperti mantan-mantan komandannya, Neumann berhasil menangkap potensi besar yang dipendam anak muda pemberontak ini. Dalam salah satu wawancara, Neumann berkata, “Marseille hanya akan menjadi satu di antara dua pilihan : apakah dia akan menjadi masalah dengan sifatnya tersebut, atau akan menjadi pilot yang dahsyat!” Tak lama kemudian, Jagdgeschwader 27 mendapat penugasan ke tanah Afrika yang kering.
Tapi sebelumnya, unit Jochen terlibat sebentar dalam invasi ke Yugoslavia, dikirim ke Zagreb tanggal 10 April 1941 sebelum akhirnya dipindahkan ke Afrika Utara. Tanggal 20 April, dalam perjalanan ke Tripoli dari pangkalannya di front, pesawat Bf 109 Jochen mengalami masalah mesin dan harus mendarat darurat di padang pasir, hanya semenjana dari tujuannya. Rekan skuadronnya kemudian meninggalkan dia setelah yakin bahwa Jochen telah mendarat dengan selamat. Jochen lalu meneruskan perjalanannya, pertama dengan menumpang truk milik pasukan Italia dan kemudian, setelah tahu bahwa truk itu berjalan begitu lambat, dia mencoba mencari peruntungan di pangkalan udara terdekat, melihat kalau-kalau ada pesawat yang bisa dipinjam. Dan usahanya berbuah kesia-siaan. Akhirnya Jochen dapat bertemu dengan Jenderal bagian pengadaan suplai dalam perjalanan mereka ke front, dan meyakinkan dia bahwa dirinya sangat dibutuhkan dalam operasi militer di hari esoknya. Karakter Jochen berhasil memikat sang jenderal, bahkan dia langsung memberikan mobil Opel Admiral lengkap dengan supirnya sembari mengucapkan kata perpisahan, “Kau dapat membayarku dengan meraih 50 kemenangan, Marseille!” Akhirnya Jochen dapat bergabung kembali dengan skuadronnya tanggal 21 April.
Dia mencetak dua kemenangan lagi tanggal 23 April dan 28 April, yang merupakan kemenangan pertamanya di Afrika Utara. Tapi tanggal 23 April, Jochen sendiri sempat ditembak jatuh oleh musuh dalam sorti ketiganya hari itu. Penembaknya adalah Sous-Lieutenant James Denis, pilot Free French dari skuadron RAF no.73 (8,5 kemenangan), yang mempiloti pesawat Hawker Hurricane. Bf 109 Jochen mendapat 30 lubang tembakan di bagian kokpit, dan tiga atau empat di antaranya telah memporakporandakan kanopi. Kalau saja Jochen tidak keburu membalikkan pesawatnya, sudah pasti riwayatnya akan tamat saat itu juga! Untunglah, Jochen berhasil mendaratkan pesawatnya yang sudah tak karuan. Hanya dalam jangka waktu sebulan kemudian, 21 Mei 1941, Jochen kembali ditembak jatuh... oleh pilot yang sama! Dalam kejadian itu sebenarnya Jochen dalam posisi yang menguntungkan ketika dia menembak, tapi tembakannya malah meleset. Dalam dogfight yang kemudian terjadi, kembali Denis mengalahkan lawannya, sang calon raja udara Afrika. Setelah perang, Denis menjelaskan pertempuran keduanya dengan Hans-Joachim Marseille :
“Ketika dia datang mendekati target, aku menukik dengan tajam dan menyadari bahwa wingmanku mengikutiku dengan gugup. Pompei adalah pilot yang bagus, hanya saja dia tidak pernah dilatih sebagai pilot tempur. Aku menyaksikan dengan khawatir bagaimana dia mengikuti di belakangku dengan jarak yang semakin jauh, dan aku berkali-kali menoleh ke belakang. Seperti yang telah kuduga, dia lalu tertembak, dan pesawat yang menembaknya langsung memburuku. Aku berpura-pura tidak melihatnya datang, meskipun tak pernah berhenti memperhatikannya. Ketika dia semakin dekat dan berada dalam jarak tembakanku, aku langsung membalikkan pesawat secara gila-gilaan ke arah kiri. Karena aku memacu pesawatku dengan kecepatan tinggi, pesawat Hurricaneku (V7859) bereaksi dengan kasar. Aku sempat melihat berondongan tembakan di arah kananku, dan si Me 109 tersebut tak dapat melambatkan pesawatnya sehingga kini gantian dia yang berada di depanku. Kami langsung ber-dogfight ria, dimana pesawat Hurricaneku mempunyai kemampuan manuver lebih bagus dibandingkan dengan pesawatnya. Pada saat itu pesawatku terbang ke atas secara vertikal, bergantung pada propelernya, ketika aku melihat Me 109 di arah matahari. Aku langsung menghujaninya dengan tembakan, dan jarak kami begitu dekat sehingga hampir saja bertabrakan. Aku memperhatikan bahwa peluruku telah mengenai badan pesawatnya.”
Neumann (kini telah naik pangkat menjadi Geschwaderkommodore tanggal 10 Juni 1942) mendorong Jochen untuk meningkatkan terus kemampuannya yang belum terasah. Pada saat ini, Jochen telah ‘berhasil’ membuat empat pesawat Bf 109 yang dipilotinya rusak atau terpaksa mendarat darurat, termasuk pesawat yang telah dimodifikasi untuk menghadapi cuaca gurun yang dia pakai tanggal 23 April 1941!
Jumlah kemenangan yang diraih Jochen bertambah dengan lambatnya, bahkan dia melewati bulan Juni sampai Agustus tanpa menembak jatuh satupun pesawat lawan! Dia semakin frustasi setelah sebuah kerusakan membuatnya terpaksa mendarat daruratkan pesawatnya dalam dua kesempatan : pertama tanggal 14 Juni 1941, dan kemudian selanjutnya sewaktu dia tertembak oleh tembakan anti-pesawat dalam serangan di atas Tobruk.
Taktiknya yang selalu menukik menyerbu formasi musuh selalu membuatnya ditembaki dari segala jurusan, yang mengakibatkan pesawatnya pulang dengan membawa kerusakan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi! Eduard Neumann mulai kehilangan kesabarannya. Gilanya, Jochen berpegang teguh pada taktik ‘bunuh dirinya’ tersebut dan malah membuat latihan yang dirancangnya sendiri untuk meningkatkan daya tempurnya, baik secara fisik dan juga secara strategi. Latihan ini membuahkan hasil. Bukan saja kewaspadaannya meningkat dengan drastis, tapi juga kemampuannya menembak tepat, kontrol atas pesawat sehingga seakan pesawat itu tubuhnya, dan juga taktik penyerangannya yang lain dari yang lain, yang memanfaatkan efek tembakan membelok (edaaaaaaan!!) sekaligus berusaha selalu menembak musuhnya dari pinggir dan bukannya dari belakang seperti yang telah diindoktrinasi para instruktur Luftwaffe! Seringkali Jochen mengasah taktiknya ini dalam perjalanan pulang dari misi tempur bersama teman-temannya sesama pilot, dan tak lama kemudian, seluruh Jagdgeschwader telah mengetahui bahwa kini mereka telah memiliki seorang master tembakan membelok, yang tak dimiliki oleh unit Luftwaffe manapun, bahkan mungkin satu-satunya di dunia!
Akhirnya, tanggal 24 September 1941, latihan habis-habisan yang ditekuninya membuahkan hasil, dengan kemenangan lebih dari satu pesawat yang diraihnya hanya dalam satu hari. Hari itu, dia menembak jatuh empat Hurricane dari skuadron South African Air Force (SAAF) No.1. pada pertengahan Desember skornya telah beranjak menjadi 25, dan karenanya Jochen dianugerahi Salib Jerman (German Cross atau Deutsches Kreuz). Staffelnya dirotasi ke Jerman bulan November/Desember 1941 untuk pengkonversian pesawat menjadi Bf 109F-4/Trop, varian yang dijuluki sebagai Experten (pakar) “gunung”.
Jochen tak pernah berhenti untuk meningkatkan kemampuannya. Dia bekerja keras untuk menguatkan kaki dan otot abdominalnya, untuk membantunya mentoleransi kekuatan gravitasi (g) super ekstrim yang mungkin dihadapinya dalam pertempuran udara. Jochen juga meminum susu dalam jumlah yang lebih dari normal dan menolak memakai kacamata dengan tujuan untuk mengimprovisasi penglihatannya!
Sekedar informasi, untuk menghadapi serangan pesawat tempur Jerman, para pilot Sekutu mempunyai taktik andalan bernama “Lufbery Circles” (dimana setiap ekor pesawat dilindungi oleh pesawat lain di belakangnya). Taktik ini sangat efektif dan berbahaya karena siapa saja yang mencoba untuk menyerang formasi ini, maka dia akan menghadapi resiko masuk dalam pengamatan penuh musuh. Lalu bagaimana dengan Jochen sendiri? Ini adalah taktik favoritnya! Dia akan menukik dengan kecepatan penuh pada formasi ini baik dari atas atau bawah, lalu berbalik kembali secara ekstrim untuk kemudian memberondongkan tembakan ketika sedang membelok yang merupakan ciri khasnya selama dua detik untuk menghancurkan pesawat lawan.
Serangan Jochen yang semacam itu dianggap oleh pilot lain sebagai hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, tapi dengan ketepatan menembaknya yang amit-amit membuat dia mudah saja untuk mendekati secara cepat tanpa perlu melambatkan pesawatnya sehingga membuatnya selalu lolos dari tembakan balik pesawat musuh yang berada di setiap sisi pesawat targetnya. Tambahan lagi, penglihatan Jochen yang sangat awas membuatnya selalu melihat musuh terlebih dahulu dibandingkan dengan lawannya, memungkinkannya untuk mengambil tindakan yang diperlukan dan menempatkannya selalu dalam posisi menyerang!
Dalam pertempuran, cara Jochen yang tidak ortodok ini membuatnya selalu memilih untuk beroperasi dalam unit kecil leader/wingman, dimana dia berkeyakinan bahwa ini merupakan cara yang paling aman dan efektif untuk bertempur dalam kondisi penglihatan penuh yang biasa terdapat di langit Afrika Utara. Gilanya lagi, berapapun jumlah musuhnya, Jochen selalu memilih untuk “bekerja” sendiri bertempur menghambur ke musuh sementara membiarkan wingmannya dalam posisi yang aman sehingga dia tidak perlu bertindak terlalu hati-hati supaya tidak terjadi salah tembak! Saraaaaaappp!!!!
Ketika sedang terlibat dalam suatu dogfight, terutama ketika sedang menyerang pesawat Sekutu dalam formasi Lufbery Circle, Jochen seringkali memilih untuk secara dramatis menarik katup penutup dan bahkan merendahkan sirip sayapnya demi untuk mengurangi kecepatan dan memperpendek radius putarnya, daripada harus tetap dalam kecepatan penuh seperti prosedur bagi pilot-pilot lainnya. Emil Clade berkata bahwa tak ada pilot lain yang mampu melakukan hal ini seefektif Jochen, karena mereka lebih memilih untuk menukik dalam kecepatan tinggi ke musuh yang bersendirian untuk mencegah mereka dari kemungkinan diserang balik. Mengenai taktik Jochen yang unik tersebut, Clade berkata :
“Marseille mengembangkan sendiri taktik istimewanya tersebut, yang sangat berbeda dengan metode pilot lainnya. (ketika sedang menyerang Lufbery Circle) dia akan terbang sangat lambat, bahkan sampai pada titik dimana dia harus mengeluarkan roda pendaratnya demi untuk mencegah pesawat jatuh! Ini karena, tentu saja, dia harus terbang dalam kurva (berbalik) lebih rapat dibandingkan dengan lingkaran defensif di atasnya. Dia dan pesawatnya bagaikan satu kesatuan, dan dia mengendalikannya seakan-akan tak ada pilot lain yang mampu untuk melakukannya!”
Friedrich Körner (36 kemenangan) juga mengatakan bahwa hal ini sangat bertolak belakang dengan kelaziman :
“Menembak dalam kurva (tembakan membelok) adalah hal paling sulit yang dapat dilakukan seorang pilot. Musuh terbang dalam lingkaran defensif, yang berarti bahwa mereka sudah berada dalam suatu kurva sehingga setiap pesawat yang menyerang formasi semacam itu mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa dia akan diserang oleh seluruh formasi! Dengan menarik pesawatnya berputar ke sebelah kanan, radius kurvanya haruslah lebih kecil dari biasanya, meskipun bila melakukan ini maka dalam banyak kasus dia akan mendapati target menghilang di balik sayapnya, sehingga dia harus mengandalkan instingnya.”
Kesuksesannya sebagai pilot tempur membuatnya menapaki jenjang promosi dalam waktu yang singkat sekaligus mengajarnya untuk lebih bersikap sebagai seorang pimpinan (perwira). Tanggal 1 Mei 1942 di usianya yang baru 22 tahun, Jochen telah menjadi seorang Oberleutnant (Letnan Satu) diikuti dengan pengangkatannya sebagai Staffelkapitän dari 3./JG 27 tanggal 8 Juni 1942, dan dengan ini dia telah menggantikan Oberleutnant Gerhard Homuth yang mengambil alih komando I./JG 27.
Dalam percakapannya dengan temannya Hans-Arnold Stahlschmidt, Jochen memberi sedikit keterangan tentang metodenya, dan juga apa yang ada di benaknya tentang pertempuran udara :
“Aku mempelajari setiap pertempuran seperti yang seharusnya aku lakukan. Aku mendapati diriku di tengah-tengah formasi musuh, menembak dari segala posisi dan tidak membiarkan diriku terperangkap. Pesawat yang kita tunggangi merupakan elemen dasar, Stahlschmidt, yang harus benar-benar kita kuasai. Kamu harus dapat menembak dari segala posisi. Dari putaran kanan atau kiri, diluar lingkaran, di belakang, di mana saja! Hanya dengan cara ini kau dapat mengembangkan taktikmu sendiri. Seranglah musuh dalam cara dimana dia tidak dapat mengantisipasi gerakanmu dalam suatu pertempuran, serangkaian gerakan yang tak dapat diprediksi dan tak pernah sama. Apapun kondisi yang kamu hadapi, usahakan kamu telah mengetahui apa yang akan kamu lakukan. Hanya dengan cara itulah maka kamu dapat dengan percaya diri menyerbu ke tengah-tengah formasi pesawat musuh, menghancurkannya dari dalam, dan muncul dari sana tanpa tersentuh!”
Metode serangannya yang tak tertandingi dan terus dia sempurnakan tersebut, berujung pada hasil yang sangat efektif dan mematikan. Sudah bukan hal yang aneh kalau Jochen memperoleh lebih dari satu kemenangan dalam satu serangan. Tanggal 3 Juni 1942, Jochen sendirian menyerbu formasi 16 (!) pesawat Curtiss P-40 dari skuadron SAAF no.5, dan menembak jatuh enam pesawat, lima di antaranya dibukukannya hanya dalam waktu enam menit! Belum cukup? Di antara korbannya tersebut termasuk tiga jago udara : Robin Pare (6 kemenangan), Douglas Golding (6,5) dan Andre Botha (5)! Wingmannya, Rainer Pöttgen yang mempunyai nama panggilan Fliegendes Zählwerk (Mesin Terbang Hitung) hanya dapat menatap dengan kekaguman luar biasa ketika melihat Jochen mengobrak-abrik formasi musuh, berputar, menukik, menembak dalam kurva, untuk kemudian menyerang lagi! Dia berkata :
“Semua musuh dihancurkan Marseille dengan tembakan belok yang merupakan ciri khasnya. Sesaat setelah dia menembak, dia hanya butuh waktu sedetik untuk kemudian menentukan mana yang akan jadi korban selanjutnya. Pola serangannya dimulai dari bagian depan, hidung mesin, untuk kemudian secara konstan berakhir di kokpit. Bagaimana dia dapat melakukan hal yang begitu sulitnya, bahkan dia sendiri tak dapat menjelaskannya! Di setiap dogfight dia akan menekan katup (mengerem) dalam-dalam, yang memungkinkannya berbalik dalam kurva yang sempit. Pengeluaran amunisinya dalam pertempuran ini adalah 360 round (60 per-kemenangan)!”
Setelah kemenangan ke-100 yang berhasil diraihnya tanggal 17 Juni 1942, Jochen kembali ke Jerman setelah mendapat cuti dua bulan. Tanggal 6 Agustus dia kembali ke Afrika Utara, kali ini ditemani oleh tunangannya yang baru, Hanne-Lies Küpper. Tanggal 13 Agustus dia bertemu dengan Benito Mussolini di Roma dan dianugerahi medali tertinggi Italia untuk keberanian : Medaglia d’Oro.
Dengan meninggalkan tunangannya di Roma, Jochen kembali pada tugas utamanya sebagai pilot tempur tanggal 23 Agustus. Tanggal 1 September akan selalu dicatat sebagai hari tersukses Jochen, dimana dia berhasil menghancurkan tidak kurang dari 17 pesawat musuh, sementara di bulan itu sendiri merupakan bulannya yang paling produktif : 54 kemenangan diraihnya! Di antara 17 pesawat yang dikirimnya ke bumi, delapan di antaranya dihantamnya hanya dalam waktu 10 menit! Atas prestasinya yang bujug buneng ini, Jochen diberi hadiah oleh skuadron Regia Aeronautica Italia, sebuah Volkswagen Kübelwagen tipe 82, yang telah dicat dengan tulisan “Otto” (bahasa Italia yang berarti delapan). Prestasi ini dicatat dengan geram oleh Sekutu sebagai kehilangan terbesar yang dialaminya sepanjang sejarah dalam satu hari oleh satu pilot! Hanya satu pilot lain yang mampu melampaui catatan Jochen tersebut, dia adalah Emil “Bully (penggertak)” Lang, yang melakukannya di front timur melawan pilot-pilot Uni Soviet yang lebih inferior.
Jochen terus mencatat kemenangan berlipatnya di bulan September, termasuk tujuh tanggal 15 September. Antara 16-25 September Jochen gagal menambah daftar korbannya dikarenakan dia harus istirahat setelah mengalami patah tangan ketika mendarat darurat dalam misi tanggal 15 September. Sebagai akibatnya, Jochen mendapat larangan terbang dari Eduard Neumann. Dalam peristiwa itu, Jochen meminjam pesawat Macchi C.205 dari skuadron 4°Stormo, 96a Squadriglia Italia yang bertetangga untuk dicobanya terbang. Pesawat itu sendiri merupakan “tunggangan” pribadi jago Italia Lt. Emanuele Annoni. Jochen telah menyebabkannya rusak ketika mendarat. Insiden tersebut memperlihatkan bahwa Jochen masih mempunyai kekurangan, utamanya saat mendarat. Werner Schroer berkata :
“Dalam hal tinggal landas dan mendarat, setidaknya, Jochen berada di bawah standar skuadron. Suatu kali dia pernah meminjam Macchi 205 baru dari skuadron Italia yang bertetangga, dan dia merusaknya saat mendarat. Hal ini menyebabkan timbulnya pandangan buruk atas dirinya sebagai seorang pilot.”
Jochen hampir saja melampaui catatan 59 kemenangan dalam lima minggu yang diraih Hans-Arnold Stahlschmidt. Sayangnya, keunggulan jumlah pesawat dan pilot yang dimiliki Sekutu berarti pula bertambahnya tingkat ketegangan dan kelelahan (stres) yang harus dihadapi oleh pilot-pilot Jerman. Pada saat itu kekuatan pesawat tempur Jerman adalah 112 (65 operasional) pesawat melawan Inggris yang kini setidaknya berkekuatan 800 pesawat! Jochen mulai dilanda kelelahan yang sangat secara fisik, dimana setiap hari dia harus menghadapi musuh yang berlipat tiga, empat, bahkan sampai sepuluh jumlahnya. Jochen adalah juga seorang manusia yang mempunyai daya tahan terbatas, dan akhirnya tanggal 26 September dia dikabarkan dalam kondisi hampir pingsan setelah menjalani pertempuran udara selama 15 menit melawan formasi pesawat Spitfire, dimana pada hari itu dia mencatat tujuh kemenangan.
Dalam karirnya sendiri, Jochen setidaknya menerbangkan tujuh pesawat Bf 109 E-7 :
Werk Nummer (W.Nr) 3579, menderita kerusakan 50% tanggal 2 September 1940 dalam pertempuran udara dan mendarat darurat dekat Calais-Marck,
W.Nr 5597, menderita kerusakan 75% tanggal 11 September 1940 dalam pertempuran udara dan mendarat darurat dekat Wissant,
W.Nr 5094, menderita kerusakan 100% tanggal 23 September 1940 dimana dia terpaksa bail-out setelah pertempuran dekat Dover,
W.Nr 4091, menderita kerusakan 35% tanggal 28 September 1940 Jochen mendarat darurat setelah kegagalan mesin dekat Théville,
W.Nr 1259, menderita kerusakan 80% tanggal 20 April 1941 Jochen mendarat darurat setelah kegagalan mesin dekat Cahela,
W.Nr 5160, menderita kerusakan 100% tanggal 23 April 1941 dalam pertempuran udara dan mendarat darurat dekat Tobruk,
W.Nr 1567, menderita kerusakan 40% tanggal 21 Mei 1941 dalam pertempuran udara dan mendarat darurat dekat Tobruk.
Jochen menerbangkan empat pesawat Bf 109F-4/Z Tropis :
Werk Nummer (W.Nr) 12593, dimana jumlah kemenangannya menanjak sampai 50 buah tanggal 23 Februari 1942,
W.Nr. 10059, yang mempunyai baris 68 kemenangan pada sirip ekornya. Tanggal 15 September 1942 pesawat ini kehilangan sayap dalam tabrakan udara ketika pilotnya saat itu, Leutnant Friedrich Hoffmann dari 3./JG 27 bertabrakan dengan Bf 109 yang dipiloti Unteroffizier Heinrich Pein dari 5./JG 27. Unteroffizier Pein tewas setelah pesawatnya jatuh, sementara Leutnant Hoffmann berhasil keluar dari pesawat hanya untuk meninggal lima minggu kemudian akibat luka yang dideritanya,
W.Nr. 10137, dengan nomor "70" dalam rangkaian bunga dan baris 31 kemenangan di ekor pesawat,
Pesawatnya yang terakhir, F-4/Trop, W.Nr. 8673 yang dilengkapi dengan batang pelindung horizontal -F varian awal di bagian belakang badan pesawat yang di las bersama dengan lapisan bawah badan belakang, bersambung dengan sirip/ekor dan stabilizer/pengangkat di bagian badan di depannya, di cat dengan angka 14 berwarna kuning-hitam, dan di ekornya terdapat angka “100” dalam rangkaian bunga, diletakkan di atas 51 bar kemenangan.
Dua misi dilakukannya tanggal 26 September 1942 dengan menggunakan Bf 109G-2/Trops, dimana salah satunya Jochen berhasil menembak jatuh tujuh pesawat musuh. Yang pertama di antara keenam unit pesawat ini dipakai untuk menggantikan Bf 109F Gruppe. Semuanya telah diserahkan ke Staffel Jochen. Sebelumnya Jochen telah diberi peringatan untuk tidak memakai pesawat baru ini karena masih dalam tahap percobaan sehingga sering mengalami kegagalan mesin, tapi seperti biasanya seorang Hans-Joachim Marseille, dia tidak mengacuhkannya. Butuh seorang Generalfeldmarschall Albert Kesselring yang memintanya secara pribadi sehingga akhirnya Jochen mematuhi perintah tersebut! Takdir menentukan bahwa salah satu di antara pesawat ini, WK-Nr.14256 (mesin : Daimler-Benz DB 605 A-1, W.Nr.77 411) adalah pesawat terakhir yang dipiloti Jochen...
Selama tiga hari berikutnya, Staffel Jochen beristirahat dari tugas udara. Tanggal 28 September Jochen menerima telepon dari Generalfeldmarschall Erwin Rommel yang memintanya untuk ikut bersamanya ke Berlin. Rencananya, Hitler akan berpidato di Sportpalast Berlin tanggal 30 September, dan Rommel bersama Jochen merupakan salah satu undangannya. Jochen secara sopan menolak ajakan ini, dengan alasan bahwa dia dibutuhkan di front dan sebelumnya sudah mengambil cuti selama tiga bulan tahun itu. Jochen juga mengatakan bahwa dia berkeinginan untuk mengambil cuti selanjutnya di hari Natal, sekaligus menikahi tunangannya Hanne-Lies Küpper.
Tanggal 30 September 1942 Jochen memimpin Staffelnya dalam suatu misi pengawalan Stuka. Dalam misi ini mereka tidak bertemu dengan musuh. Ketika dalam perjalanan pulang ke pangkalan, kokpit pesawat Bf 109G-2/Tropnya mulai dipenuhi oleh asap. Tak dapat melihat dan hampir tercekik oleh asap, Jochen dibimbing untuk kembali ke wilayah kekuasaan Jerman oleh wingmannya, Jost Schlang dan Leutnant Rainer Pöttgen. Ketika akhirnya sampai ke wilayah sendiri, pesawat “Yellow 14” mulai kehilangan tenaga dan terbang semakin rendah dan rendah. 10 menit berlalu, Pöttgen memberitahu bahwa mereka telah melewati masjid putih Sidi Abdel Rahman, dan karenanya telah sampai di wilayah sendiri. Pada saat ini, Jochen bertekad untuk keluar dari pesawatnya yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk terbang. Kata-kata terakhir yang diucapkan pada kameradnya adalah, “aku harus keluar sekarang, aku tak tahan lagi!”
Di pangkalan, semua tegang. Eduard Neumann secara pribadi menuntun Jochen dari pos komandonya. Dia berkata :
“Aku saat itu sedang berada di pos komando dan mendengar komunikasi radio antara Jochen dan wingmannya. Aku langsung menyadari bahwa ada masalah yang timbul. Aku tahu bahwa mereka masih dalam penerbangan dan wingmannya berusaha mati-matian membimbing Marseille kembali ke wilayah kita. Pesawatnya sendiri telah dipenuhi oleh asap.”
Staffel Jochen terbang dalam formasi rapat di sekelilingnya, dan langsung menjauh untuk memberi kesempatan dia bermanuver. Jochen langsung menggulung pesawatnya ke belakang, yang merupakan prosedur standar untuk bail out. Tapi asap yang tebal ditambah penglihatan yang terbatas membuat dia gagal menyadari bahwa pesawatnya kini dalam posisi menukik ke bawah (sudut 70-80 derajat) dan sekarang berada dalam kecepatan yang tinggi (sekitar 400 mph). Dia berusaha melepaskan dirinya dari kokpit dan keluar, hanya untuk terbawa oleh gravitasi sehingga dada kirinya menabrak stabiliser vertikal pesawatnya sendiri, yang kemudian membunuhnya secara instan atau membuatnya kehilangan kesadaran sehingga membuatnya tak dapat mengembangkan parasutnya. Dia jatuh dalam posisi vertikal, langsung menimpa gurun pasir tujuh kilometer sebelah selatan Sidi Abdel Rahman. Seperti yang diketahui, sebuah lobang sebesar 40 cm (16 inci) yang dipasang di parasutnya telah terbuka, dan kanopinya pun telah dilepaskan. Tapi berdasarkan pemeriksaan lanjutan, tangkai pelepasan parasutnya masih dalam posisi “safe”, yang menunjukkan bahwa bahkan tak ada usaha dari Jochen untuk membukanya! Ketika memeriksa jenazah Jochen, Oberarzt Dr. Bick yang merupakan dokter Panzergrenadierregiment 115 menemukan bahwa jam tangan Jochen berhenti tepat di angka 11.42 siang. Resimen Dr. Bick sendiri ditempatkan tak jauh di belakang pertahanan beranjau front terdekat, dan merupakan orang pertama yang tiba di tempat jatuhnya Jochen. Dia sendiri menyaksikan langsung peristiwa jatuhnya jago Luftwaffe ini.
Dalam laporan otopsinya, Dr. Bick mengatakan :
“Sang pilot berbaring tertelungkup seakan sedang tidur. Tangannya tersembunyi di bawah badannya. Ketika aku melihatnya lebih dekat, aku melihat genangan darah yang bersumber dari tengkorak kepalanya yang pecah : sebagian otaknya keluar. Aku membalikkan badannya sehingga dia kini dalam posisi telentang, dan membuka ritsleting jaket terbangnya, dengan kaget melihat bahwa manusia ini pastilah bukan pilot biasa karena ada medali Schwerter (Pedang atau Swords) di lehernya (meskipun sebenarnya Jochen telah dianugerahi medali tertinggi Brillanten, Berlian, tapi dia belum menerimanya langsung dari Hitler karena keburu tewas), dan aku langsung tahu siapa dia. Buku gajinya yang ada di dalam pakaiannya juga memberitahukanku identitasnya.”
Oberleutnant Ludwig Franzisket ditugaskan untuk menjemput jenazah Jochen dari tempat kejadian. Hans-Joachim Marseille lalu dibaringkan di Staffelnya, dan sepanjang hari itu rekan-rekan seperjuangannya berdatangan untuk menyampaikan penghormatan mereka atas sang “Bintang Afrika”. Sebagai pernghargaan, mereka memutar lagu “Rhumba Azul” yang merupakan favorit Jochen, diputar dan diputar lagi sampai berakhirnya hari. Pemakaman Jochen sendiri berlangsung tanggal 1 Oktober 1942 di Kuburan Pahlawan Derna dengan dihadiri oleh Generalfeldmarschall Albert Kesselring dan Eduard Neumann yang menyampaikan kata-kata eulogi.
Entri terakhir di buku terbang Jochen ditulis oleh Eduard Neumann yang berbunyi : “Durasi terbang 54 menit, waktu pendaratan ‘salib hitam’. Terjun dengan parasut 7 kilometer (4,3 mil) selatan Sidi Abdel Rahman. Catatan : Kerusakan mesin. Penerbangan 1-482. terlibat dalam 388 pertempuran udara dengan 158 kemenangan : Dicatat di lapangan tanggal 30 September 1942”.
Penelitian atas kecelakaan tersebut segera dilakukan. Laporan komisi (Aktenzeichen 52, Br.B.Nr.270/42) menyimpulkan bahwa jatuhnya pesawat dikarenakan oleh salah perhitungan di roda gigi (persneling), yang menyebabkan kebocoran oli. Hal ini kemudian membuat terlepasnya beberapa gigi dari roda pacu sehingga menimbulkan percikan api dan asap. Kemungkinan sabotase manusia tidak ada. Pesawat W. Nr. 14256 diberangkatkan ke unit via Bari, Italia. Misi yang berujung pada hancurnya pesawat tersebut adalah misi pertama dari pesawat itu.
Banyak dari jago Luftwaffe lainnya seperti Adolf Galland dan Erich Hartmann yang mengakui bahwa Hans-Joachim Marseille adalah pilot terbaik yang pernah dilahirkan ke muka bumi, dan akan tetap begitu sepanjang waktu. Günther Rall berkata, “Marseille adalah pilot yang luar biasa dan penembak yang sangat jitu. Bahkan aku pikir dialah penembak terbaik di Luftwaffe.”
Kematian Jochen sendiri menyebabkan keruntuhan moral di seluruh Geschwader. Tak heran, hanya dalam jangka waktu satu bulan, JG 27 dipindahkan dari Afrika, semata karena hal ini! Selain itu, kematian dua orang jago Jerman lainnya, Günter Steinhausen dan Hans-Arnold Stahlschmidt (sahabat Jochen) tiga minggu sebelumnya menjadi pemicu lain. Hal ini menunjukkan bahwa Geschwader 27 sangat tergantung pada Jochen, sesuatu yang sebenarnya tidak boleh terjadi dan seakan menjadi salah Jochen, meskipun memang tak dapat dihindari bila kita melihat gaya bertarung Jochen yang unik. Semakin sukses dia dalam pertempuran, semakin dia menjadi andalan seluruh skuadron dalam menghadapi armada pesawat Sekutu yang mempunyai kekuatan berlipat ganda. Karena itu kematian Jochen memberi pukulan telak dan menghancurkan pada unitnya, sesuatu yang tak dapat mereka tanggung. Tak akan ada lagi seorang Jochen yang menyerbu seluruh formasi musuh hanya seorang diri, tak akan ada lagi seorang Jochen yang menjadi penyala semangat bahwa di Afrika kekuatan udara Jerman masih diperhitungkan, tak akan ada lagi pilot luar biasa yang tiap pulang ke pangkalan mengepakkan sayap pesawatnya berkali-kali sebagai tanda bahwa dia telah meraih kemenangan berlipat hari itu. Tak akan ada lagi...
Sejarawan Hans Ring dan Christopher Shores juga memberi fakta pendukung bahwa promosi yang sangat cepat dari Jochen semata-mata karena prestasi luar biasa yang telah diraihnya dan bukan selainnya. Bagi pilot lain, jangankan memperoleh kemenangan ganda, menjadi seorang experten pun menjadi hal yang teramat sulit untuk diraih, demi menghadapi kondisi dan jumlah musuh yang jauh lebih baik dan lebih banyak (tidak seperti di front Rusia dimana para pilot tempur Jerman menghadapi musuh yang lebih inferior, baik dalam kualitas pilotnya maupun dalam perbandingan pesawat yang dipakai). Mereka kebanyakan hanya menjadi pendukung dan penonton saat “sang maestro menunjukkan bagaimana caranya menghabisi musuh” dan bahkan “bertahan dari menyerang sambil tak lupa secara konstan menambah jumlah kemenangannya”. Sebagai akibatnya, tak ada pilot ‘hebat’ lain yang akan melanjutkan tongkat kepemimpinan Jochen apabila dia tak ada atau terbunuh. Eduard Neumann menjelaskan :
Tambahan Fakta :
• Hans-Joachim Marseille tampil empat kali dalam Deutsche Wochenschau. Pertama kalinya tanggal 17 Februari 1942 ketika Oberst Galland, General der Jagdflieger, mengunjungi pangkalan udara Jerman di gurun. Kedua kalinya tanggal 1 Juli 1942 ketika Jochen dalam perjalanan ke Rastenburg untuk menerima Schwerter dari Adolf Hitler. Ketiga kalinya pada hari Rabu tanggal 9 September 1942 ketika diumumkan bahwa Jochen telah meraih 17 kemenangan dalam satu hari (1 September 1942) dan karenanya dia langsung dianugerahi medali tertinggi, Brillanten. Penampilan terakhirnya adalah pada hari Rabu juga tanggal 30 September 1942 yang memperlihatkan kunjungan Jochen kepada Erwin Rommel dimana disana Rommel memberi selamat kepadanya karena telah menjadi Hauptmann (Kapten) termuda di seluruh angkatan bersenjata Jerman!
• Sebuah piramid kecil didirikan oleh seorang arsitek Italia atas pesanan dari Deutcshe Afrikakorps di tempat jatuhnya Jochen, tak lama setelah peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tapi seiring dengan berlalunya waktu, monumen tersebut menjadi rusak. Tanggal 22 Oktober 1989, Eduard Neumann dan para veteran JG 27 yang masih hidup bekerjasama dengan pemerintah Mesir untuk membangun kembali piramid yang baru yang masih berdiri sampai sekarang.
• Dalam minggu-minggu pertama setelah tewasnya Jochen, moral bertempur para pilot JG 27 begitu rendahnya sampai-sampai Oberleutnant Fritz Dettmann meminta Eduard Neumann untuk menamai 3./JG 27 menjadi “Staffel Marseille”.
• Di batu nisannya terpancang kata-kata : Tak Terkalahkan. Setelah perang usai, sisa-sisa kerangka Jochen dipindahkan dari Derna ke Pemakaman para prajurit Jerman di Tobruk. Disanalah ibu Jochen yang sangat dicintainya berziarah pada tahun 1954. sisa dari jenazahnya sendiri kini tersimpan dalam peti mati kecil dari tanah liat (sarkofagus) bernomor 4133.
• Pada tahun 1957, dibuat sebuah film Jerman berjudul Der Stern Von Afrika (Bintang Afrika). Joachim Hansen berperan sebagai Hans-Joachim Marseille.
• Pada tanggal 24 Oktober 1975, sebuah barak Uetersen-Appen dari Bundesluftwaffe dinamai sebagai “Barak Marseille”.
• Sayap ekor pesawat Messerschmitt Bf 109F-4/Trop (W.-Nr. 8673) dari Jochen yang memajang baris 158 kemenangan yang telah diraihnya, kini dipamerkan di Luftwaffenmuseum der Bundeswehr di Berlin Gatow. Sebelumnya benda tersebut diberikan oleh Hermann Göring kepada keluarga Jochen sebagai penghormatan dan kemudian disumbangkan ke musium tahun 1970-an.
• 25 tahun setelah kematiannya, para pilot tempur veteran dari Perang Dunia II berkumpul untuk menghormati Jochen di “International Fighter Pilots Meeting” yang berlangsung tanggal 7-8 Oktober 1967 di Fürstenfeldbruck. Dalam acara ini hadir para pilot dari enam negara yang berlainan, termasuk Erich Hartmann, Robert Stanford Tuck, Adolf Galland, Günther Rall dan Mike Martin, yang pesawatnya ditembak jatuh oleh Jochen tanggal 3 Juni 1942. tamu kehormatan dalam pertemuan ini adalah ibu dari Jochen, Frau Charlotte Reuter-Marseille dan mantan tunangannya Hanne-Lies.
• Reuni ke-16 Deutsche Afrikakorps berlangsung di Stuttgart tanggal 1-2 September 1984. Dalam pertemuan itu, Bundesregierung Jerman mengundang seorang tamu yang sangat istimewa, kopral Matthew P. Letuku dari Afrika Selatan. Matthew, alias Mathias (nama yang lebih dikenal oleh para prajurit JG 27) adalah seorang tentara Persemakmuran yang tertawan oleh Jerman tanggal 21 Juni 1941 di benteng Tobruk. Kemudian dia malah dipekerjakan sebagai supir di 3. Staffel, dan bahkan kemudian menjadi sahabat dekat Jochen sekaligus jadi pembantu lokal dalam tugasnya di Afrika!
• Sebuah peristiwa yang sangat kontroversial (tapi tak diketahui jelas kebenarannya) telah terjadi tak lama setelah Jochen menerima medali Schwerter. Diisukan bahwa sang Oberleutnant muda tersebut mendengar kabar akan adanya Solusi Final Bangsa Yahudi (Holocaust) sewaktu dia sedang mengambil cuti di Jerman. Begitu terkejut akan kabar ini, dia tak segera kembali pulang ke Afrika melainkan ‘bersembunyi’ di Italia. Hanya setelah Gestapo mengetahui keberadaannya dan memaksa dia untuk kembali ke kesatuannya di gurun, barulah dia berangkat untuk bertempur. Meskipun cerita ini masih samar-samar, tapi telah disertakan dalam film Der Stern Von Afrika produksi tahun 1957, dan kebenarannya tak pernah lagi dipertanyakan!
Sumber :
• www.en.wikipedia.org
• www.afrikakorps.org
No comments:
Post a Comment