Monumen tidak biasa untuk memperingati "kepahlawanan" Friedrich Lengfeld
Dalam surat kabar “The Arizona Republic” terbitan 22 Oktober 1995, Steve Wilson menulis artikel sebagai berikut :
Salah satu pertempuran paling panjang, paling berdarah-darah, tapi juga paling tidak mendapat perhatian dalam Perang Dunia II berlokasi di sebuah rimba belantara sangat lebat yang terdiri dari banyak pohon cemara di sepanjang perbatasan Jerman dengan Belanda. Tempat itu dinamakan dengan: hutan Hürtgen.
30.000 lebih prajurit Amerika terbunuh dan luka-luka dalam pertempuran dahsyat yang berlangsung selama enam bulan, dimulai dari bulan September 1944 sampai melewati musim dingin yang membekukan. Ribuan lagi ditarik dari garis depan karena kelelahan akibat bertempur tanpa henti dan juga karena stres. Di pihak Jerman sendiri, diperkirakan 12.000 orang prajurit telah menemui ajalnya. Begitu mengerikannya pertempuran di hutan ini, sehingga seorang Ernest Hemingway, yang waktu itu masih menjadi penulis artikel untuk majalah Collier, mengatakan, “Siapa saja yang keluar dari Hürtgenwald ini hidup-hidup, dia pastilah mempunyai malaikat pelindung di masing-masing bahunya.”
Salah satu prajurit yang berhasil selamat dari Pertempuran Hürtgen adalah pensiunan Mayor Jenderal John F. Ruggles dari Phoenix, 86 tahun. Saat itu dia adalah seorang Letnan Kolonel yang bertugas di Resimen Infanteri ke-22. pada peringatan ke-50 tahun Pertempuran Hürtgen tahun lalu (1994), Ruggles mengorganisasi para veteran resimennya untuk memasang sebuah monumen di hutan tersebut. Monumen yang ini sangat berbeda dari yang lainnya. Tak seperti plakat peringatan Perang Dunia II lainnya, yang ini tidak dibuat untuk menghormati prajurit kita. Monumen ini dibuat untuk menghormati kewiraan luar biasa dari seorang Letnan infanteri Jerman berumur 23 tahun. Ketika monumen ini didirikan, tak banyak liputan media yang mengarah pada Ruggles, dan dia memang tidak berniat untuk mempublikasikan apa yang telah dilakukannya. Tapi kemudian pikirannya berubah ketika seorang teman meyakinkannya bahwa alasan yang tersembunyi di balik pembuatan monumen tersebut layak untuk diketahui dan disebarluaskan. Minggu kemarin dia bersedia untuk membicarakannya pada kami.
Tanggal 12 November 1944, Leutnant Friedrich Lengfeld mengomandani sebuah kompi senapan Jerman yang terkepung oleh musuh. Seperti halnya unit-unit di kedua belah pihak, kompinya telah menderita korban yang besar sekali akibat dari pertempuran non-stop tanpa henti. Di pagi itu, suara seorang tentara Amerika yang terluka dengan jelas terdengar ketika dia berteriak-teriak meminta tolong di tengah-tengah ladang ranjau Jerman yang memisahkan posisi kedua belah pihak yang berseteru. “tolong aku! Tolong aku!” teriaknya dengan putus asa. Unit dari si prajurit yang terluka sendiri telah ditarik dari garis depan beberapa jam sebelumnya, dan saat itu tak ada satupun lokasi pasukan Amerika yang berada cukup dekat untuk mendengarnya. Lengfeld memerintahkan pasukannya agar menahan tembakan bila datang tentara Amerika yang menolong prajurit malang tersebut, tapi sampai beberapa waktu tak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya. Suara si prajurit tersebut makin melemah dari waktu ke waktu. “Tolong aku,” panggilnya, lagi dan lagi. Pada jam 10.30 pagi itu, Lengfeld dan pasukannya tak lagi mendengar suara di prajurit Amerika. Dia memutuskan untuk membentuk sebuah tim penolong, lengkap dengan rompi dan bendera palang merah. Lengfeld memimpin sendiri tim tersebut menuju lokasi si prajurit.
Dia tak pernah mencapainya. Ketika sedang berjalan dengan hati-hati mendekati si prajurit, kakinya menginjak salah satu ranjau. Ledakan yang mengantar pecahan-pecahan baja menghancurkan tubuhnya. Lengfeld luka parah, dan delapan jam kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Nasib si prajurit Amerika sendiri tak berhasil diketahui.
Kebanyakan dari cerita ini tidak pernah dipublikasikan dalam satu buku pun yang terbit di Amerika atau di Jerman. Cerita ini awalnya didasarkan pada kesaksian seorang saksi hidup bernama Hubert Gees, yang bertugas sebagai penghubung komunikasi Lengfeld dengan markas (sama seperti apa yang dilakukan oleh Adolf Hitler dalam Perang Dunia I). Ketika ditanyakan pendapatnya bulan Oktober kemarin mengenai pendirian monumen untuk menghormati mantan atasannya tersebut, Gees berkata, “Leutnant Lengfeld adalah salah satu prajurit terbaik di Hutan Hürtgen. Dia adalah tipe pemimpin yang patut dicontoh, yang tak pernah meminta kami untuk melakukan lebih dari apa yang dia sendiri mampu untuk melakukannya. Dia begitu dihargai oleh anak buahnya, dan kami semua percaya kepadanya.”
Ruggles meyakini bahwa apa yang telah dilakukan oleh Lengfeld lebih dari apa yang dibebankan oleh para atasannya kepadanya. “Tak ada lagi yang lebih dahsyat selain memberikan jiwamu satu-satunya demi menolong seseorang yang menjadi musuhmu dalam peperangan,” katanya. Monumen itu sekaligus berfungsi pula untuk ‘membersihkan’ manusia-manusia masa kini yang telah dicuci otak oleh propaganda Yahudi, yang menganggap bahwa seluruh “Nazi” sama buruknya dengan setan, dan tidak ada satupun kebaikan yang datang dari mereka. Dipercaya bahwa monumen yang terbuat dari perunggu tersebut merupakan satu-satunya monumen yang dibangun Amerika untuk menghormati seorang Jerman dan diletakkan di kompleks pemakaman militer Jerman!
Bagi Letnan muda tersebut, suara minta tolong di hari itu tidaklah dia anggap datang dari seorang musuh, tidak juga dari seorang Amerika atau orang asing. Dia datang dari seorang manusia yang membutuhkan pertolongan. Sesuatu dalam diri Lengfeld mendorongnya untuk berbuat sesuatu, suatu dorongan yang begitu kuatnya sehingga tak ada satupun, bahkan kegilaan perang sedahsyat apapun, yang mampu untuk mencegahnya. Dalam lebatnya hutan Jerman, dimana ribuan demi ribuan manusia menemui ajalnya, dorongan yang begitu mulianya itu kini dihargai dengan sepantasnya.
Terimakasih Herr Leutnant...
Sumber :
No comments:
Post a Comment