Untuk album foto Flakscheinwerfergerät (lampu sorot Jerman) bisa dilihat DISINI!
Oleh : Alif Rafik Khan
Lampu sorot Jerman dalam Perang Dunia II digunakan untuk mendeteksi dan melacak pesawat terbang musuh di waktu malam. Terdapat tiga ukuran yang digunakan: 60, 150, dan 200 sentimeter. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, usaha pengembangan lampu sorot yang dilakukan Jerman otomatis terhenti karena adanya larangan yang dituangkan dalam Perjanjian Versailles (meskipun dilanjutkan kembali dari tahun 1927). Menjelang perang tahun 1939, lampu sorot biasanya dikombinasikan dengan penjejak arah akustik (penyerap bunyi). Alat penjejak arah akan memandu lampu sorot ke bagian yang paling memungkinkan di angkasa, dimana si lampu akan terus bergerak sampai mereka menemukan targetnya. Di masa perang, fungsi penjejak arah ini digantikan oleh radar yang lebih akurat. Lampu sorot sendiri biasanya mengandalkan lampu busur karbon yang berkekuatan sangat besar.
Lampu busur ini dikembangkan dari akhir tahun 1930-an dengan mengandalkan sebuah cermin reflektor parabola yang berdiameter 60cm dan ditenagai oleh generator berkekuatan 8 kilowatt. Outputnya berkisar di sekitar 135 juta kandela (cahaya lilin), dan dia mempunyai jarak-jangkau deteksi target sekitar 5 kilometer yang berputar di ketinggian 1.500 meter. Bila lampunya dipencarkan dan tidak berfokus, maka deteksinya berkurang menjadi 3,2 kilometer. Dibutuhkan awak sebanyak tiga orang untuk mengoperasikannya, serta sebuah trailer 51 khusus bergandar tunggal untuk memindah-mindahkannya.
Strategi standar adalah dengan menyapukan lampu sorot dengan pola huruf S di sekitar wilayah yang diperkirakan akan dilalui oleh target. Saat itu cahayanya masih dipendarkan, tapi kemudian mulai difokuskan setelah target ketemu.
Lampu sorot 60cm ternyata tidak cukup mampu untuk mencapai gerombolan pesawat pembom Sekutu di akhir-akhir perang, sehingga akhirnya “ditemani” oleh senjata anti serangan udara (Flak) aras rendah berukuran 20mm dan 37mm.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, alat satu ini mendapat pengembangan serius mulai dari akhir tahun 1930-an. Lampu Sorot Flak-34 dan 37 menggunakan cermin reflektor parabola yang berdiameter 150cm dan ber-output 990 juta kandela. Sistemnya ditenagai oleh generator 24 kilowatt yang berbasis pada sebuah mesin 8 silinder berkekuatan 51 tenagakuda (38 kW) yang mengeluarkan arus listrik 200 ampere pada 110 volt. Lampu sorot ini tersambung pada sebuah generator oleh kabel sepanjang 200 meter. Sistemnya sendiri mempunyai jarak-jangkau deteksi sekitar 8 kilometer untuk target yang berada di ketinggian 4.000 dan 5.000 meter. Dia dapat dipindah-pindahkan dengan menggunakan dua set unit Trailer Khusus 104, satu untuk lampu dan satunya lagi untuk generator. Diperlukan awak sejumlah tujuh orang untuk mengoperasikannya.
Lampu sorot dapat diputar sampai 360 derajat dan ditinggikan secara vertikal sampai 12 derajat.
Strategi perang untuk penempatan lampu sorot di masa awal adalah dengan memposisikannya di depan senjata Flak di tempat yang dinamakan sebagai “wilayah persiapan”. Antara satu lampu dengan lampu lainnya terpisah oleh jarak 5 kilometer dan mempunyai pola grid (kotak-kotak). Pencari arah suara ditempatkan bersanding dengan lampu untuk membantu mencari target, dan kemudian penggunaannya digantikan oleh sistem radar.
61 bantalan khusus lipat empat 150 centimeter diproduksi dalam usahanya untuk memperjauh jangkauan lampu sorot 150 centimeter, meskipun usaha ini kemudian terbukti kurang berhasil.
Dalam upaya untuk mencapai pesawat pembom yang kini terbang semakin tinggi, maka diperlukan lampu sorot yang berkekuatan jauh lebih besar dari sebelumnya. Pada tahun 1943, lampu sorot Scheinwerfer-43 200 centimeter pertama dengan kekuatan 2,7 milyar Hefner tenaga lilin (2,4 gigakandela) mulai dibagikan kepada para pasukan. Ditenagai oleh generator berkekuatan 120 kilowatt, lampu-lampu ini mampu mendeteksi target dengan jangkauan sampai sejauh 13 kilometer!
Biasanya, satu lampu sorot 200cm ditempatkan bersanding dengan tiga lampu sorot 150cm. Lampu sorot 200cm ditempatkan di bagian tengah dari sebuah segitiga yang dibentuk oleh tiga lampu sorot 150cm. Lampu sorot yang lebih kecil ditempatkan dalam jarak sekitar 2,5km dari lampu sorot “master” pusat yang lebih besar. Lampu sorot master bertugas mencari targetnya, dan lampu 150cm akan memindainya apabila ketemu sehingga membentuk sebuah triangulasi cahaya yang solid. Pengakuan para awak pesawat terbang Sekutu yang “kecipratan” formasi lampu semacam ini cukuplah untuk menggambarkan keefektifannya: “Kami bagaikan bintang panggung yang disorot cahaya bagaikan siang sementara di sekitarnya gelap. Bila satu cahaya ini mengenaimu, maka yang lainnya akan segera ikut merubung, dan bisa dipastikan tak lama kemudian senjata Flak Jerman akan mulai beraksi!”
Beberapa lampu sorot 110cm yang sudah kuno, serta lampu sorot 200cm dan 240cm hasil rampasan dari Prancis juga ikut digunakan.
Pada bulan September 1940, di luar dari unit-unit yang ditempatkan di fasilitas angkatan laut, Jerman mempunyai 2.540 lampu sorot (60cm dan 150cm). Tak lama kemudian jumlahnya meningkat dengan pesat seiring dengan berjalannya perang dan makin intensnya pemboman Sekutu atas Jerman. pada bulan Februari 1944, Staff Jenderal Intendan Luftwaffe melaporkan bahwa stok lampu sorot yang mereka punyai adalah sebagai berikut:
Tipe | Dapat dipindahkan | Tetap | Total |
Lampu sorot Flak 60cm | 5582 | 794 | 6376 |
Lampu sorot Flak 150cm | 5675 | 1636 | 7311 |
Lampu sorot Flak lipat empat 150cm | - | 61 | 61 |
Lampu sorot Flak 200cm | - | - | 2262 |
Total | 11257 | 2491 | 13748 |
Sumber :
www.en.wikipedia.org
www.lonesentry.com
No comments:
Post a Comment