Detik-detik saat Sonderkommando Elbe melaksanakan aksinya menghantam bomber Rusia
Salah satu pesawat andalan Leonidas Squadron dalam menjatuhkan musuhnya dengan cara nekad
Salah satu pesawat andalan Leonidas Squadron dalam menjatuhkan musuhnya dengan cara nekad
Ketika pasukan Sekutu merencanakan untuk melancarkan pendaratan di Normandia lewat Operation Overlord atau D-Day pada bulan Juni 1944, pasukan Nazi Jerman sebenarnya sudah bersiap menyambutnya. Seluruh warga Jerman termasuk Hitler sudah menyadari jika operasi itu berhasil maka keberadaan negeri Jerman pasti terancam. Untuk menggagalkan Operation Overlord, panglima Luftwaffe (Angkatan Udara Nazi Jerman) Herman Göring diam-diam membentuk unit serangan bunuh diri layaknya kamikaze. Pesawat yang digunakan untuk misi kamikaze Luftwaffe itu adalah Focke-Wulf Fw 190 yang dimuati bom seberat lebih dari 1.500 kg dan kemudian ditebarkan kepada targetnya.
Menerbangkan Fw 190 bermuatan bom seberat lebih dari 1.500 kg bukanlah perkara mudah. Selain berbahaya, bahkan untuk take off dan landing saja sangat sulit. Karena itu, tidak ada seorang pilot pun yang berani menerbangkannya. Hitler yang kemudian mengetahui proyek kamikaze Luftwaffe tersebut malah marah dan memerintahkan untuk menghentikannya. Bagi Hitler adalah tidak pantas para pemuda Jerman sampai menjalankan misi bunuh diri dengan hasil yang akan sia-sia belaka. Program kamikaze FW-190 pun berhenti, dan bahkan komandan yang bertanggungjawab dipindahkan ke pos yang lain! Namun ketika Operation Overlord yang dilancarkan Sekutu ternyata berhasil dan pergerakannya mulai menuju tanah Jerman para petinggi Nazi pun kaget. Hitler bahkan baru menyadari perlunya dibentuk kekuatan khusus untuk menghadang gerak maju pasukan Sekutu di front Eropa Barat.
Tiga Fanatik Nazi
Untuk mencegah hancurnya negeri Jerman, Hitler lalu memerintahkan militernya menciptakan mesin perang yang paling menghancurkan guna menahan gerak laju pasukan Sekutu tersebut. Perintah Hitler langsung disambut baik oleh tiga tokoh Nazi Jerman yang terkenal sangat fanatik terhadap Hitler dan setia tanpa reserve. Ketiga orang itu adalah Hanna Reitsch (pilot uji perempuan yang sangat populer dan pernah menjuarai berbagai perlombaan pesawat glider); Otto Skorzeny (jagoan strategi komando pasukan khusus yang beberapa kali sukses melaksanakan aksi-aksi berbahaya jauh ke pertahanan musuh); dan Hans-Joachim Herrmann atau lebih dikenal dengan nickname Hajo Herrmann (pilot pengebom yang sangat berpengalaman serta dikenal pula sebagai pilot tempur malam yang profesional).
Ketiga orang itu mengusulkan adanya pilot yang bertugas menyerang sasaran musuh dengan cara menabrakkan pesawatnya (suicide pilots). Ide pilot yang bertempur dengan semangat fanatik itu ternyata terinspirasi oleh serangan kamikaze yang telah dilakukan oleh pilot-pilot Jepang. Ketika dirunut dari latar belakang sejarahnya, kamikaze ternyata berkaitan erat dengan propaganda Nazi, totenritt atau death ride (perjalanan kematian). Dengan latar belakang seperti itu, ketiga tokoh tersebut kemudian menyampaikan idenya kepada Hitler.
Sewaktu ide kamikaze itu disampaikan kepada Hitler, orang nomor satu Nazi yang sesungguhnya sudah sangat tertekan atas kekalahan terus menerus yang diderita pasukannya itu ternyata sekali lagi menunjukkan keengganannya. Tapi akhirnya Hitler setuju dan memberikan catatan agar jangan sampai para pilot kamikaze Luftwaffe diterjunkan ke medan perang tanpa melalui persetujuannya. Skuadron kamikaze pun kemudian dibentuk dan dinamai dengan nama Leonidas Squadron dan menjadi bagian dari unit khusus armada pengebom Luftwaffe, Kampfggrupe-200 (KG-200). Dalam sejarahnya Leonidas merupakan pejuang masa Yunani kuno dan merupakan Raja Sparta yang hidup pada masa 480 SM. Sebagai raja yang juga ahli strategi tempur, Leonidas yang hanya memiliki 300 prajurit berkualifikasi khusus dan berani mati berhasil menahan serbuan pasukan Persia yang jumlahnya ribuan. Semangat bertempur hingga mati itulah yang menjadi spirit bagi pilot-pilot Leonidas Squadron.
Untuk menjalankan misi kamikaze, Leonidas Squadron menggunakan pesawat Fieseler Fi-103 Reichenberg yang juga merupakan varian dari roket Jerman yang digunakan untuk menghantam London, Inggris, V1. Sebagai pesawat kamikaze atau rudal yang dikemudikan orang, Fi-103 dilengkapi kokpit dan kemudi (flight control). Latihan untuk menerbangkan Fi-103 pun dimulai. Tapi latihan yang berisiko tinggi itu justru menghasilkan petaka. Dua pilot sukarelawan yang melaksanakan test flight terhadap Fi-103 tewas. Akibatnya tak ada sukarelawan yang bersedia untuk menerbangkan Fi-103 yang sudah dirancang dan dijagokan sebagai pesawat kamikaze. Namun, Hanna Reitsch yang telah kenyang pengalaman melaksanakan test flight tanpa ragu-ragu mengajukan diri untuk menerbangkan Fi-103 dan sukses. Tak hanya itu, Hanna Reitsch juga langsung mendaftarkan diri sebagai pilot kamikaze bagi Leonidas Squadron. Wow!
Berkat Hanna Reitsch yang sukses menerbangkan F1-103 sekaligus langsung mendaftarkan diri sebagai pilot kamikaze, para pemuda Jerman yang semula ragu-ragu pun langsung terpengaruh. Lebih dari 70 pemuda Jerman secara sukarela mendaftarkan diri dan siap mati! Pelatihan sebagai pilot kamikaze pun mulai dilakukan dan diikuti oleh produksi pesawat Fi-103 hingga mencapai 24 unit. Tapi dalam latihan terbang kamikaze para pilot Leonidas Squadron tidak didoktrin untuk menabrakkan diri ke target musuh melainkan diupayakan segera melaksanakan bail out begitu Fi-103 yang diterbangkan arah terbangnya sudah secara akurat menuju sasaran musuh.
Dalam praktiknya, bail out dalam kecepatan tinggi itu sebenarnya sulit dilakukan dan kemungkinannya kecil bagi pilot yang melompat untuk berhasil selamat. Yang jelas apa yang diajarkan kepada para pilot Leonidas Squadron memang berbeda dibandingkan dengan doktrin kamikaze Jepang. Para pilot kamikaze Jepang secara spiritual meyakini kematiannya sebagai tindakan heroik dan wujud kesetiaannya terhadap Kaisar, sedangkan bagi Nazi Jerman misi kamikaze yang akan dilancarkan oleh Leonidas Squadron sebagai tindakan sia-sia karena berakibat pada berkurangnya jumlah pilot Luftwaffe secera drastis. Selain itu, misi kamikaze yang hanya berdasar pada semangat fanatik plus terkesan putus asa (juga sama sekali tidak ada unsur spiritualnya) jelas akan merupakan tindakan yang dianggap konyol! Karena para pejabat Luftwaffe dan Hitler sendiri masih merasa jatuh kasihan, para calon pilot kamikaze Leonidas Squadron akhirnya tidak pernah dizinkan untuk terjun ke medan perang.
Skuadron Kamikaze Baru
Ketika posisi Nazi Jerman betul-betul terdesak oleh kekuatan Sekutu, khususnya oleh ribuan pesawat pengebom yang terus-menerus menyerang daratan Jerman, semangat untuk membangkitkan serangan kamikaze muncul lagi. Merasa ada kesempatan, Hajo Herrmann yang dulu bersama dua rekannya pernah membentuk Leonidas Squadron lalu menemui komandan pilot buru sergap (Head of The Fighter Command) Luftwaffe, Generalleutnant Adolf Galland. Di hadapan Generalleutnant Galland, Hajo Herman kemudian memaparkan rencananya untuk membangun lagi skuadron kamikaze. Tapi ide Hajo Herrman ini langsung ditolak mentah-mentah oleh Galland karena misi kamikaze untuk menyergap pesawat pengebom Sekutu yang dikawal ketat ratusan pesawat tempur akan sangat sulit dilakukan. Galland sendiri meragukan kemampuan dan pemahaman Hajo Herrman dalam teknis buru sergap pesawat tempur mengingat pilot yang terkenal nekat itu lebih banyak menerbangkan pesawat pengebom. Hajo Herrman yang kecewa berat lalu menemui panglima Luftwaffe Reichsmarschall Herman Göring yang pernah menjadi mentornya di unit pengebom Luftwaffe.
Sebelum Hajo Herrman menghadap Galland dan Göring, dua petinggi Luftwaffe ini sebenarnya bak musuh dalam selimut. Sebagai Marsekal yang dibesarkan oleh unit pengebom Göring merasa dirugikan oleh dominasi pesawat tempur yang berakibat pada dihentikannya produksi pesawat pengebom. Sebaliknya produksi pesawat tempur terus ditingkatkan bahkan para teknisi pesawat pengebom dipindahkan ke pabrik pemproduksi pesawat tempur! Sekarang, ketika posisi Nazi Jerman makin terdesak, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Göring untuk menjatuhkan semua penyebab kehancuran Luftwaffe kepada penanggung jawab komandan tertinggi pilot tempur Luftwaffe. Dalam kondisi di ambang kehancuran itu Galland memang tidak bisa berbuat banyak dan jika Hajo Herrmann menemui Göring dengan rencana membentuk skuadron kamikaze, ada kemungkinan rencana itu akan dikabulkan.
Sewaktu Hajo Herrman mengajukan rencana tentang pembentukan skadron kamikaze kepada Göring, orang ketiga di tubuh Nazi Jerman itu sangat terperanjat karena pilot-pilot Lutfwaffe tidak pernah didoktrin untuk melancarkan serangan bunuh diri. Selain itu ada faktor lain yang juga makin membuat Göring pesimis karena infrastruktur Luftwaffe sudah lemah dan pilot yang bersedia menjadi pilot kamikaze belum jelas. Ide pilot kamikaze bahkan membuat perasaan Göring tidak enak karena cara kamikaze itu seolah mencerminkan dirinya tidak memiliki strategi lain yang lebih baik. Tapi ternyata tak ada pilihan lain bagi Göring yang pada awal serbuan Sekutu di Normandia pernah membentuk Skuadron Bunuh Diri. Untuk menjawab ya atau tidak, Goering memutuskan dia harus menemui Hitler terlebih dahulu. Marsekal Göring sebenarnya ragu karena Hitler pernah marah besar pada Skadron Kamikaze FW-190 yang pernah dibentuknya.
Kali ini Hitler ternyata menyetujui dibentuknya skadron kamikaze! Meskipun dengan perasaan berat hati dan pesimis apakah bisa memperoleh pilot yang mau melaksanakan misi kamikaze, Göring akhirnya memaksakan diri untuk membentuk skuadron bunuh diri. Göring pun mulai melaksanakan seleksi terhadap calon pilot kamikaze yang minimal memiliki pengalaman 50 jam terbang. Pendaftaran untuk menerima sukarelawan kamikaze pun dibuka tepatnya pada bulan Maret 1945. Di luar dugaan sukarelawan yang mendaftar ternyata mencapai jumlah 2.000 orang! Jumlah ini sangat mengagetkan Göring karena kini di hadapannya berdiri ribuan orang yang siap memberikan nyawanya demi negeri Jerman! Yang membuat berat sebenarnya hal lain yang berkaitan dengan keluarga. Salah seorang keponakan yang disayanginya yang bernama Werner G. Göring (yang dilahirkan dan dibesarkan di Amerika) kini menjadi salah seorang pilot pembom Sekutu yang tergabung dalam 303rd Bombardment Group. Jika pesawat bomber yang dipiloti oleh Werner berhasil dijatuhkan oleh kamikaze Nazi maka sang Reichsmarschall akan kehilangan keponakan yang disayanginya tersebut (meskipun membela musuh Jerman!).
Dengan jumlah calon pilot kamikaze yang mencapai angka ribuan Göring pun meminta Luftwaffe agar menyiapkan sedikitnya 1.500 unit pesawat tempur. Tapi jumlah seperti itu mustahil dipenuhi karena semua kekuatan udara yang dimiliki oleh Luftwaffe di semua front tinggal 800 pesawat, itu pun dengan suku cadang dan bahan bakar yang kurang memadai. Akhirnya hanya tersedia 180 pesawat bagi unit kamikaze dan rata-rata merupakan pesawat tua yang selama ini tidak lagi dioperasikan oleh Luftwaffe yaitu Me 109G-10, G-14, dan K-4.
Untuk melindungi pesawat-pesawatkamikaze itu dikerahkan pesawat tipe Messerschmitt Me 262 dan Fw-190 meskipun dengan jumlah yang sangat terbatas. Karena waktu untuk melaksanakan misi kamikaze tinggal sedikit, 24 pilot Kamikaze yang hanya menjalani latihan selama dua minggu selanjutnya diperintahkan untuk segera menyerang pesawat-pesawat pengebom AS.
Sebelum para pilot kamikaze diperintahkan terbang, Göring memberi pesan agar misi mereka bukan murni kamikaze. Caranya adalah terbang di ketinggian lalu menyergap bomber AS dari atas sambil menghujani tembakan. Jika pesawat bomber yang disergap masih tetap terbang selanjutnya pesawat penyergap diarahkan ke bomber dan menempel sedekat mungkin pada posisi rear gun bomber. Lalu dengan menggunakan baling-balingnya para pilot Nazi diperintahkan untuk memotong sayap bomber yang sekaligus merupakan tempat mesin dan bahan bakar. Dalam kondisi sayap terpotong, bomber AS dipastikan oleng dan jatuh.
Cara itu meskipun sulit dilakukan tapi bisa memberi kesempatan kepada pilot Nazi untuk bail out jika pesawatnya turut mengalami kerusakan atau tertembak. Sementara dua sasaran lain yang disarankan Göring untuk menjatuhkan bomber AS adalah menggesek sayap ekor yang merupakan pengontrol ketinggian dan penggerak utama rudder pesawat. Cara ini dianggap paling aman kendati pesawat kamikaze Nazi mudah tertembak senapan mesin bomber. Sedangkan cara ketiga adalah menghantamkan langsung pesawat ke kokpit bomber dengan peluang untuk bail out sangat kecil. Cara ketiga bisa dikatakan merupakan kamikaze murni karena baik pesawat bomber maupun kamikaze Nazi akan sama-sama hancur lebur.
Kendati dalam kondisi makin terdesak dan waktu yang makin menipis, Göring masih sempat membentuk tiga Wing Kamikaze dengan jumlah pesawat Bf 109 sebanyak 60 unit. Pesawat jenis Bf 109 sengaja dipilih untuk melancarkan serangan kamikaze ala Nazi itu karena selain memiliki dua senapan mesin khusus, fuselage dan bilah baling-balingnya terbuat dari baja. Tiga Wing kamikaze yang dinamai Sonderkommando Elbe itu akan bertugas menyergap konvoi bomber AS yang akan melaksanakan bombardemen di atas Berlin. Komandan Sonderkommando Elbe, adalah Major Otto Koehnke yang juga rekan akrab Göring sejak tahun 1940.
Koehnke pernah berjaya di front Rusia dengan keberhasilan menghancurkan 12 kereta api logistik sehingga berhak menyandang Ritterkreuz. Tapi Koehnke sempat mengalami kecelakaan serius sehingga kehilangan salah satu kakinya dan dibebastugaskan sebagai pilot tempur. Kini dengan salah satu kaki palsunya dan menyandang Ritterkreuz, Koehnke kembali bertugas bukan untuk meraih prestasi melainkan untuk menyerahkan nyawanya! Dengan melihat kenyataan bahwa komandan Sonderkommando Elbe bukan lagi orang yang utuh tubuhnya, Göring akhirnya mengambil alih komando.
Setelah melakukan persiapan termasuk memimpin briefing bagi para pilot tentang misi terakhir yang akan dijalankan, perintah untuk mencegat armada bomber AS pun tiba. Pada 7 April 1945 sebanyak 1.260 bomber (B-17 dan B-24 Liberator) AS yang dikawal 780 pesawat tempur jenis Mustang dan Thunderbolt yang berpangkalan di front Eropa Barat bergerak serentak untuk membombardir daratan Jerman. Konvoi ribuan pesawat tempur AS pembawa maut itu diamati secara cermat oleh Göring melalui radar. Ketika ribuan pesawat tempur AS itu mulai memasuki wilayah Belanda dan untuk selanjutnya memasuki ruang udara Jerman, Göring memerintahkan pilot-pilot kamikazenya untuk stand by.
Ketegangan dan kemasygulan pun menyelimuti wajah Göring karena kekuatan pesawat-pesawat kamikazenya jauh dari memadai. Hanya tersedia 120 pesawat dengan bahan bakar pas-pasan dan sejumlah pilot bahkan tampak kebingungan karena tak mendapatkan pesawat. Walaupun sudah menjalani briefing, strategi dan organisasi tempur untuk menyergap bomber-bomber AS belum jelas sehingga koordinasi dan komando di lapangan turut kacau. Tapi meskipun dalam kondisi yang masih kacau dan kurang koordinasi, tak ada pilihan lain bagi Göring untuk memberikan perintah terbang bagi para pilot kamikaze ketika pesawat-pesawat AS mulai memasuki ruang udara Jerman.
Tepat pukul 11.15 Göring menembakkan pistol suarnya sebagai tanda dimulainya penyergapan terhadap pesawat-pesawat bomber AS. Pesawat-pesawat kamikaze Nazi Jerman yang dipimpin oleh Hajo Herrmann dan dikawal oleh 59 buah Me 262 dan Fw 190 pun melesat ke udara yang saat itu sedang mendung sehingga menjadi penghalang yang serius bagi pilot-pilot Nazi dalam menentukan sasarannya.
Ketika pesawat-pesawat kamikaze Nazi Jerman tengah berada di udara, masih ada jarak sekitar 100 km untuk bertemu dengan armada bomber dan pesawat tempur AS. Semua pilot kamikaze Nazi memusatkan perhatiannya ke cakrawala untuk mencari-cari datangnya armada bomber AS. Untuk memompa semangat bagi para pilot yang hari itu kemungkinan besar akan kehilangan nyawanya, radio pesawat mengumandangkan lagu-lagu patriotik dan lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh seorang biduanita.
Tapi pada kenyataannya untuk menemukan bomber AS yang jumlahnya ribuan ternyata tak mudah. Sejumlah pilot yang kurang pengalaman bahkan kehilangan navigasi, kehabisan bahan bakar dan terpaksa bail out. Sejumlah pilot lain bahkan bertemu dengan armada Mustang dan ditembak jatuh sebelum sempat beraksi. Kendati pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman bisa terbang lebih tinggi tapi jejak asap mesinnya (contrail) bisa dideteksi pesawat-pesawat tempur AS sehingga mudah dijadikan sasaran tembak. Dalam waktu dua menit dua Bf-109 berhasil ditembak jatuh Mustang sehingga menimbulkan kepanikan bagi yang lainnya.
Namun kali ini para pilot tempur dan pengebom AS melihat teknik baru saat pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman menyerang. Ketika dua Bf 109 menyerang pengebom dan dikawal oleh Me 262 dan langsung dicegat oleh Mustang terjadi pemandangan tak lazim: Salah satu Bf 109 tiba-tiba menghujamkan diri ke salah bomber AS tepat di salah satu sayapnya disusul oleh pilot yang bail out. Bomber Liberator pun oleng dan terus menukik menghujam ke tanah Melihat cara menyerang pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman yang nekat dan sulit dicegah itu, para pilot AS sadar bahwa pilot-pilot Nazi Jerman sedang mempraktikkan cara bertempur di udara yang baru yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya!
Sementara bagi Mustang juga sulit untuk menembak karena bisa mengenai teman sendiri. Salah satu korban serangan kamikaze Jerman adalah bomber yang dipiloti oleh Kolonel John Herboth dari 389 Bomber Group. Saat itu Bf 109 yang dipiloti Sersan Heinrich Rosner berhasil menggasak salah satu sayap bomber Kolonel Herboth Dalam kondisi Liberator yang terbang oleng, Herboth berusaha menstabilkan pesawatnya. Tapi gagal. Bomber Herboth yang terjun bebas bahkan menghantam bomber lain yang dipiloti oleh Letkol Kunkel hingga kemudian membuat keduanya meledak terbakar. Sementara itu, Rosner ternyata berhasil bail out sambil menyaksikan dua bomber yang menjadi korban kamikazenya meluncur jatuh menghujam tanah.
Lewat tengah hari (12.30) bentrokan antara pesawat-pesawat AS dan kamikaze Nazi berlangsung makin seru. Pilot-pilot kamikaze yang bertempur dengan rasa frustrasi karena menghadapi musuh yang terlalu banyak juga makin menunjukkan kenekatannya. Satu lagi Bf 109 berhasil menggasakkan diri ke Liberator sehingga langsung terbakar dan menukik jatuh. Satu Bf 109 yang terus dihujani tembakan dari Liberator hingga bodi pesawatnya penuh lubang bahkan berhasil mendekati Liberator lainnya dan menggasakkan diri tepat di kokpit. Ledakan hebat disusul kokpit yang menganga rontok mengakibatkan Liberator meledak terbakar dan meluncur jatuh. Para pilot Liberator yang menyaksikan pesawat jatuh masih berharap ada parasut mengembang dari rekan yang selamat.
Aksi nekat kamikaze Nazi Jerman diwarnai aksi dua rekan akrab yang sama-sama bersepakat untuk menabrakkan diri pada satu bomber dan mati bersama. Tapi salah satu pilot berhasil bail out dan mendarat selamat meskipun terdapat 19 lubang peluru di parasut dan jaketnya! Kisah-kisah heroik di tengah aksi nekat kamikaze Nazi Jerman terus saja berlangsung. Tapi hingga menjelang sore hari dan seluruh pesawat bomber AS dan pelindungnya akhirnya kembali lagi ke pangkalan, perlawanan kamikaze Nazi ternyata tidak menimbulkan efek yang berarti. Dan 120 pilot Rammkommando Elbe yang dikerahkan untuk melancarkan serangan kamikaze hanya tersisa 15 pilot yang hidup. Sedangkan bomber AS yang berhasil dijatuhkan hanya sekitar 13 unit. Jumlah yang sangat kecil mengingat bomber yang dikerahkan mencapai ribuan unit. Namun demikian kendati aksi kamikaze Nazi Jerman itu tidak mampu mengguncang kekuatan udara Sekutu mereka tetap dikenang dan dihargai. Luftwaffe kemudian membuat monumen khusus untuk mengenang para pilot muda yang gugur dan telah berbakti kepada negaranya hingga tetes darah terakhir tersebut.
Sumber :
www.foroperu.org
www.mission4today.com
www.sejarahperang.wordpress.com
No comments:
Post a Comment