Oleh : Alif Rafik Khan
Kalau saya bertanya pada anda: unit apakah yang paling fanatik dari Third Reich, yang tetap gigih bertempur melawan Pasukan Sekutu bahkan setelah bertahun-tahun Jerman menyerah kalah? Saya yakin, kebanyakan dari anda pasti menjawab: Leibstandarte! Fallschirmjäger! Gebirgsjäger! Kommando Skorzeny! U-boat! Satpol PP!
Semua jawaban salah (apalagi yang terakhir!). yang jelas, mereka bahkan bukan orang Jerman melainkan sukarelawan asal Latvia! DUARRR!!!
Tidak percaya? Inilah kisahnya, diambil dari buku novel karya Freddy S. berjudul “Perawan Beranak Empat” :
Di akhir Perang Dunia II, sekitar 4.500 orang bekas anggota Divisi ke-19 SS Latvia memilih untuk tidak ikut menyerah bersama rekan-rekan Jerman mereka yang terperangkap oleh pasukan Rusia di Kantong Kurland. Mereka malah kabur ke hutan dan menggalakkan perang gerilya melawan Pasukan Pendudukan Soviet di Latvia yang berlangsung selama bertahun-tahun, dan baru berakhir di tahun 1956! Meskipun sebagian terbesar dari partisan anti-Komunis ini adalah orang-orang Latvia, tapi diduga keras bahwa beberapa tentara Jerman ikut bergabung dan bertempur bersama mereka.
Para gerilyawan ini dikenal oleh penduduk lokal dengan nama Partisan Nasional (untuk membedakan mereka dengan Partisan Soviet yang bertempur melawan Jerman). Secara umum, mereka tidak lagi terikat ketat dengan peraturan unit mereka sebelumnya, Waffen-SS. Perang gerilya membutuhkan pendekatan yang fleksibel dan tidak sekaku perang konvensional. Para Partisan Nasional ini juga kemudian bertambah jumlah anggotanya setelah banyak warga sipil yang ikut bergabung. Pada tahun-tahun awal perang gerilya, kebanyakan dari mereka masih mengenakan seragam SS (yang tergantung pula dari tugas yang dijalani). Ini karena kondisi perang yang membuat mereka harus tetap bersembunyi di hutan tanpa berbaur dengan penduduk setempat sehingga membuat mereka tidak punya kewajiban harus mengenakan pakaian sipil. Diperkirakan sekitar 10.000 orang (pria dan wanita) bergabung dengan para Partisan ini, sementara 20.000 orang lainnya merupakan pendukung aktif yang menyediakan makanan, informasi, perlindungan, dan lain-lain.
Salah satu kisah yang menarik datang dari Ritterkreuzträger (peraih Ritterkreuz) dan mantan SS-Unterscharführer Alfred Riekstins dari SS-Waffen Füsilier Bataillon 19. Dia tewas di pinggir hutan Frauenburg, Latvia, pada tahun 1952. Dia berhasil lolos dari Kantong Kurland dengan menggunakan perahu tanggal 9 Mei 1945, dan mampu mencapai Swedia dimana dia kemudian bertempat tinggal. Pada awal tahun 1950-an dia direkrut oleh badan intelijen Inggris, dan di tahun 1951 menghilang dari rumahnya di Goteborg, untuk menjalani pelatihan di Bavaria. Pada tanggal 30 Agustus 1952 Riekstins diterjunkan dengan menggunakan parasut di Kurland bersama dengan dua orang agen lainnya (salah satu di antaranya tersesat setelah mendarat jauh dari tempat yang telah ditetapkan). Sialnya, mereka kemudian dikhianati oleh agen ganda terkenal Kim Philby sehingga MGB USSR (cikal bakal KGB) langsung melakukan operasi pencarian terhadap mereka. Ketiga orang ini kemudian terkepung tanggal 11 September 1952. kedua orang rekan Riekstins menyerah, sedangkan Riekstins lebih memilih untuk bertempur sampai kehabisan peluru dan membunuh 6-7 orang dari pengepungnya. Dia kemudian bunuh diri dengan menelan kapsul sianida daripada harus menyerah. Sampai saat ini makamnya tidak diketahui, apakah di Frauenbeurg atau mungkin di tempat lain yang berdekatan.
Frauenburg sendiri telah menjadi sasaran utama serangan Tentara Merah dalam pertempuran sengit di akhir tahun 1944 dan awal 1945 dalam usaha mereka untuk merebut jembatan utama Kurland yang dikuasai Jerman. Setelah pasukan inti Jerman menyerah, Riekstins (dia adalah salah satu dari 12 orang peraih Ritterkreuz asal Latvia) tetap melanjutkan perjuangannya, dan gigih keluar-masuk hutan demi memerangi pasukan pendudukan Soviet sampai 14 tahun lamanya setelah penyerahan tanpa syarat Jerman! Ini merupakan perlambang dari sengitnya perlawanan defensif Jerman di Kurland dan determinasi para prajurit yang menjalaninya. Di akhir Perang Dunia II, Heeresgruppe Kurland berhasil bertahan selama delapan bulan lamanya melawan serangan massal yang terus menerus dari musuh yang berkekuatan berkali-kali lipat, dan baru menyerah setelah Jerman sendiri menyerah tanggal 8 Mei 1945! Pita lengan KURLAND, penghargaan terakhir dari jenisnya, diproduksi dan didistribusikan untuk memperingati para prajurit yang berjibaku dalam salah satu pertempuran paling brutal dalam Perang Dunia II, yang sayangnya tidak banyak diketahui dan “tertutup” oleh pertempuran-pertempuran lain semacam Market Garden atau Pertempuran Bulge.
Kembali kepada cerita tentang Partisan Nasional Latvia. Ada beberapa alasan kenapa perlawanan mereka berakhir di tahun 1956. Kemundurannya sendiri dimulai dari sejak tahun 1949 ketika pada tanggal 25 Maret Otoritas Soviet memerintahkan deportasi 41.811 orang Latvia ke Siberia. Mereka berharap bahwa deportasi ini dapat mengurangi jumlah orang-orang yang bergabung dengan Partisan secara signifikan. Dengan hilangnya pendukung utama mereka, para gerilyawan yang bertempur di hutan-hutan menjadi kesulitan untuk bertahan hidup, belum lagi semakin gencarnya patroli dan sweeping yang dilakukan oleh Rusia. Kematian si sadis Stalin pada tanggal 5 Maret 1953 (perhatikan angka uniknya: 5-3-53!) semakin meyakinkan para partisan ini untuk menyerah. Mereka menggunakan istilah ini sebagai “melegalisasi diri”.
Pada tanggal 8 Januari 1957, Deputi Komandan KGB di Latvia, Kolonel Velikanov, secara resmi mengumumkan di depan Ketua Dewan Menteri SSR Latvia bahwa di periode musim gugur 1944 s/d Desember 1956, tercatat 2.407 partisan (atau “bandit” seperti yang disebut dalam laporannya) telah terbunuh atau bunuh diri, 4.370 ditangkap dan dihukum, serta 3.973 melegalisasi diri (menyerah).
Kelihatannya angka-angka ini tidaklah besar, tapi bila kita membandingkan proporsinya dengan jumlah penduduk Latvia secara keseluruhan, maka bila ini terjadi di Inggris saat ini berarti 300.000 orang menjadi gerilyawan dan 1.200.000 orang dideportasi!
Sebenarnya, ada pula beberapa kejadian serupa dimana unit-unit tentara Jerman tidak meletakkan senjata setelah penyerahan bulan Mei tahun 1945. Dalam bukunya yang berjudul “Werwolf, The History of the National Socialist Guerilla Movement 1944-46” (University of Toronto Press, ISBN 0-8020-0862-3), Perry Biddiscombe membuat daftar contoh-contoh kejadian serangan terhadap pasukan Sekutu yang terjadi pasca-perang, terutama di Harzgebirge, Silesia (wilayah Oppeln/Gogolin), Bavaria dan Austria. Bahkan beberapa kelompok SS tidak “turun gunung” dari persembunyian mereka di pegunungan sampai dengan akhir tahun 1951, dan bergantung hidup dari sumber daya alam yang ada sekaligus simpati penduduk setempat. Beberapa kali sempat terjadi kontak senjata antara orang-orang yang pantang menyerah ini dengan pasukan pendudukan Sekutu.
No comments:
Post a Comment